
UTOPIA POLITIK ISIS
Mimpi besar Islamic State Iraq and Syria (ISIS) untuk mendirikan Khilafah Islamiyah telah terkubur bersamaan kekalahan pertahanan terakhir nya direbut oleh Pasukan Democrat Suriah (SDF) yang didukung AS ( Kompas.com, 23 Maret 2019). Pemberontak ISIS kini terdesak dan berada di Tenda-Tenda pengungsian. Para simpatisan yang telah kehilangan kewarganegaraan ingin kembali ke Negara asal. Mimpi indah hidup di sebuah Negara Islam Khilafah Islamiyah hanya Utopia yang tidak pernah terwujud.
Pada awalnya, ISIS merupakan kelompok cabang dari Al-Qaeda yang pada tahun 2016 bernama Islam Irak, dan dipimpin figur kunci Al-Qaeda. Pada 2010, Abu Bakar Al-Baghdadi dinobatkan sebagai ketua ISI. Dua tahun kemudian, dia mendapat mandat membentuk sayap ISI di Suriah yang tengah dilanda konflik sipil. Anggota dari cabang itu, dikenal dengan Jabhat Al-Nusra, kemudian melebur ke dalam ISI, yang kemudian dikenal sebagai ISIS, dan dengan cepat memantapkan posisinya di Irak dan Suriah. Pada 2014 bertempat di Masjid Nuri Mosul, Baghdad mendeklasrasikan berdirinya “kekhilafahan” ISIS yang mencakup Irak dan Suriah.
ISIS sebagai gerakan politik trans-nasional dalam menggalang kekuatan dengan melakukan perekrutan melalui Internet. Perekrutan Relawan dengan mimpi-mimpi indah sebagai kehidupan model Islam pada zaman Rasulullah SAW benar-benar mempengaruhi imajinasi sebagian muslim untuk bergabung menjadi tentara ISIS. Media Internet dengan dibantu para simpatisan sebagai agen politik yang tersebar di berbagai Negara yang bergerak secara terorganisir menyebabkan mudah untuk bisa bergabung dan menjadi anggota ISIS. Namun karena bersifat illegal, maka data resmi setiap Negara pun yang tergabung ISIS tidak bisa dideteksi secara valid.
Beberapa hari ini Media Massa, Media Sosial atau Media Elektronika lainya menyajikan informasi simpatisan ISIS yang ingin kembali ke Indonesia. Ada sekitar 680 orang. Data ini yang sudah masuk verifikasi. Bisa jadi lebih dari 1000-an yang bergabung sejak berdirinya ISIS pada tahun 2014. Dari beberapa Media Televisi seperti TV One, Kompas TV dan Metro TV menampilkan wawancara dengan simpatisan ISIS. Hasilnya bisa disimpulkan bahwa mereka merasa tertipu dengan janji-janji manis berupa fasilitas kehidupan dunia yang mewah, dan pelaksanaan kehidupan yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw. Justru, faktanya sebaliknya. Mereka harus mengorbankan harta dan nyawa untuk memperjuangkan cita-cita para pemberontak yang berkedok Jihad fi Sabilillah di Suriah.
Keinginan 680-an simpatisan ISIS yang ingin kembali menimbulkan pro dan kontra baik di kalangan elit politik, pemerintah ataupun juga masyarakat Indonesia. Pengamat politik Al-Chaidar berpendapat bahwa sebaiknya pemerintah menerima kepulangan mereka dengan memperlakukan sebagaimana warga Negara Indonesia pada umumnya. Sebab cara ini agar mereka tidak lagi melakukan perilaku yang menyimpang. Namun jika tidak bisa diterima, ini menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu akan menjadi teroris lebih ganas lagi menyerang Indonesia. Hal yang sama pendapat dari Mardani Ali Sera politikus PKS bahwa kewajiban pemerintah untuk menerima 600 warga yang terpapar ISIS (Media Indonesia,06/02/2020).
Namun tidak sedikit menyangsikan komitmen mereka mengakui Indonesia sebagai Bangsa dan Negara. Menghilangkan doktrin atas paham bahwa Indonesia sebagai Negara Toghut dan Demokrasi sebagai sistem politik kufur dari Barat tidak mudah sebagaimana mengembalikan telapak tangan. Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia (UI) Ridwan Habib meningatkan Pemerintah agar berhati-hati dalam menangani ratusan Warga Negera Indonesia (WNI) eks simpatisan ISIS. Ia menyebut ada kemungkinan mereka berbohong soal radikalnya. Sebab ISIS punya doktrin Taqiyah, atau berpura-pura ( CNN, Senin,10/02/2020). Dari sini jelas bahwa sikap menghiba di berbagai Media Sosial dan Televisi merupakan sikap yang ambigu dan sulit untuk bisa diterima kembali sebagai warga Negara Indonesia.
Lebih para lagi jika kepulangan mereka ada agenda politik tertentu karena berangkat dari kebencian terhadap Pemerintah dan mendapat dukungan dari kekuatan politik tertentu yang anti terhadap pemerintah, maka bisa dipastikan kepulangan mereka menjadi suatu persoalan politik identitas semakin runyam.
Alasan ini bisa menjadi alasan penting untuk menolak kembali nya ke Indonesia. Bahwa sikap militansi mereka bukan semata-mata politik internasional, juga kebencian terhadap persaingan politik Nasional. Hal jika mengacu kepada tujuan ISIS di Indonesia. Seperti dikutip dari Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut), Rabu (Detiknews, 12/2/2020) dengan terdakwa Mansor Abdullah sebagai berikut: Pertama, tujuan jangka pendek menghadapi musuh Islam bila nantinya ada serangan PKI dan Syiah. Salah satunya menolak PDI-Perjuangan, juga menolak Jokowi sebagai Presiden. Kedua jangka panjang yaitu mempersiapkan Indonesia menjadi Daulah Islamiyah di bawah Abu Bakar Al-Baghdadi dengan bendera ISIS.
Dari sini semakin jelas, bahwa kepulangan mereka ke Indonesia tidak membawa keuntungan sama sekali, baik dari politik maupun keamanan dalam negeri. Kepulangan mereka bukan semata-mata karena ingin kembali ke Indonesia, tapi juga sebagai strategi untuk menyusun kekuatan baru dalam mewujudkan cita-citanya mendirikan Khilafah Islamiyah. Jadi, keputusan pemerintah menolak mereka kembali ke Indonesia, sebagai keputusan yang tepat untuk menyelamatkan virus-virus teroris menyebar luas dan membahayakan 260-an juta warga Negara Indonesia.
Rabu, 17 Juni 2020
Vijian Faiz