
Presiden Erdogan sempat trending di perpolitikan Indonesia. Dia lebih terkenal daripada para politisi nasional. Bahkan calon presiden yang ada pada 2019 yang lalu ( Jokowi-Prabowo) belum selevel Erdogan dalam hal kematangan berpolitik dalam memperjuangkan Islam, dan juga kebersihan dalam menjalankan pemerintahannya. Pendek kata, ingin melihat sosok pemimpin umat Islam saat ini dan model untuk masa depan, Erdogan-lah yang menjadi trade mark. Pemimpin yang berani terhadap barat, tegas, berkarakter, mandiri, menerapkan syariat, dan pemimpin yang sesuai dengan model Politik Islam, hanya Erdogan. Itu yang saya tangkap dari postingan-postingan politik terutama ketika terjadi pertarungan perebutan kursi kepresidenan RI 2019.
Jika dilihat dari postingan waktu itu, mereka rata-rata kelompok yang menginginkan tegaknya syariat Islam di Indonesia. Mereka mencoba membangun opini publik bahwa ketegasan itu penting dalam menyelesaikan persoalan bangsa ini. Sifat ketegasan yang mirip dengan Erdogan adalah Prabowo. Jadi ending dari promosi Erdogan dalam perpolitikan Indonesia sebenarnya sedang membangun alam bawah sadar kepada masyarakat Indonesia untuk memilih prabowo-sandiaga dan partai politik Islam yang jelas-jelas memperjuangkan tegaknya syariat Islam, termasuk tegaknya Khilafah Islamiyah.
Tentu saja para pendukung Erdogan yang berbalut syariat di Indonesia tidak sejalan dengan model pemikiran Prabowo yang pancasilais. Namun karena politik, satu suara sangat menentukan suatu kemenangan, Prabowo pun membiarkan diri dikelilingi oleh orang-orang pejuang khilafah islamiyah, yang secara ideologi jelas bertentangan dengan Pancasila. Dalam hal ini Prabowo jelas mengetahui. Dan dia juga mengetahui cara menundukan mereka ketika Prabowo waktu menang menjadi Presiden. Perhitungan politik Prabowo tentu saja sangat matang. Jadi, dalam hal ideologi Prabowo jelas sangat menjunjung tinggi Pancasila, namun dalam realita politik ada sisi-sisi gerbang yang jelas tidak bisa diambil oleh jokowi, yaitu kaum Islam modernis dan puritan. Dalam wilayah ini Prabowo sangat diuntungkan. Terbukti. Semua mengelompok di kubu Prabowo.
Buktinya sederhana, saat Jokowi menang, dan Prabowo ditawari sebagai menteri, dia pun menerimanya. Apapun alasanya, bahwa dari sisi ideologi, jelas keduanya ada kesamaan. Dari segi politik, jelas keduanya sama-sama membutuhkan untuk jangka panjang, baik atas nama politik praktis ataupun politik kebangsaan. Sikap Prabowo inilah kemudian lahir kelompok sempalan darinya, yaitu kelompok yang ingin memperjuangkan syariat Islam.
Cita-cita kelompok garis keras pun terkubur. Poster-poster kebesaran Erdogan yang digambarkan sebagai pemimpin pun sedikit demi sedikit lenyap. Selera terhadap erdogan pun tidak seperti dulu. Bahkan bisa jadi Erdogan yang digambarkan sebagai seorang pemimpin yang islamipun tidak seindah yang mereka gambarkan. Erdogan harus mengatasi persoalan ekonomi yang semrawut. Hubungan dengan Barat (AS) mulai dikurangi. Kini Turki melirik ke Cina. Bahkan saat ini, Turki sudah menggunakan mata uang Yuan Cina dan mengurangi pemakaian dola AS dalam transaksi perdangan global. Bank Sentral Turki telah mengumungkan penggunaan mata uang Yuan Cina sebagai bentuk hubungan baik Turki-Cina. Ini adalah sejarah pertama Turki menggunakan mata uang Yuan (18 Juni) yang sebelumnya menggunakan Dolar AS. Kini Turki punya sahabat baru dalam perdangan yang dianggap lebih menjanjikan masa depan ekonomi negaranya.
Sayangnya, persoalan ini tidak bisa dipahami atau tidak mau memahami bagi para pecandu Erdogan di Indonesia. Tokoh yang dianggap anti Asing dan Aseng, kini Erdogan telah berangkulan, duduk bareng minum teh hangat. Sedangkan pecandu Erdogan di Indonesia masih gregesi dan dengkol karena Jokowi bermesraan dengan Cina.
Selasa, 23 Juni 2020
Vijian Faiz