Ketika ada orang atau sekelompok manusia menginginkan bahwa manusia satu warna, satu agama dengan cara memaksa, maka orang tersebut telah melanggar aturan atau “hak preogatif” Tuhan. Ketika ada orang marah-marah menuduh orang lain lain sesat sedang dirinya merasa yang paling tidak sesat, itu juga telah “membajak” kebenaran absolut milik Tuhan. Ketika ada sekelompok orang yang menuduh umat Islam lain yang tidak sepaham dengan mereka melalui lontaran kata-kata kotor seperti ahli bid’ah, syirik, kafir, murtad, PKI dan sejenisnya, berarti kelompok tersebut telah mengingkari dasar dari ajaran Islam sendiri yaitu kalimat tauhid : لا اله الا الله yang mengakui seluruh manusia telah beriman ketika sudah mengucapkan kalimat tersebut.

Tuhan sendiri telah berfirman bahwa manusia diciptakan dengan status “berbangsa-bangsa dan bersuku-suku.” Firman Allah tersebut memberikan hak-hak preogatif manusia untuk membangun suatu tatanan masyarakat dengan kesepakatan-kesepakatan mereka. Sehingga memungkinkan muncul manusia berbangsa-bangsa dan bernegara, bersuku yang beragam. Hal ini merupakan firman tuhan yang memberikan kabar, bukan sebuah karangan manusia atau ilmuwan.
Jika ada seorang ilmuwan atau sekelompok manusia untuk memperjuangkan kesatuan dalam berpolitik sah-sah saja. Namun tidak boleh juga menyalahkan perjuangkan politik lainya yang menghendaki adanya keberagaman. Semuanya mempunyai dasar ijtihad yang beragam. Namun, ijtihad yang beragam tadi tentu aja tidak sampai kepada tataran meng-kafir-kan sesame umat Islam. Itu yang tidak boleh.
Kenapa Indonesia memilih bentuk Negara Kesatuan Republic Indonesia [NKRI], tidak menggunakan model sistem politik klasik seperti bentuk khilafah pada masa kejayaan Islam? Apakah tidak boleh ?
Boleh. Dalam sejarah, ketika para tokoh pendiri negara dalam persiapan mendirikan negara, terjadi persilangan pendapat. Kelompok pertama, ada yang menginginkan negara sekuler dengan memisahkan agama dan negara sebagaimana Turki waktu itu yang dipimpin oleh Kemal Ataturk. Kelompok kedua tidak setuju, mereka menginginkan bentuk negara Islam karena mayoritas muslim. Kelompok ketiga, kemudian mengambil jalan tengah yaitu tidak sekuler dan tidak negara Islam, tapi negara islami yaitu suatu negara yang didasarkan pada kesepakatan bersama beragam agama, dengan ideology yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal semua agama, termasuk agama Islam.
Kita bisa menilai bersama dasar atau ideologi Pancasila yang terdiri dari lima nilai dasar yaitu : ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan adalah nilai-nilai yang secara subtansional mempunyai pijakan hukum baik dalam firman Allah maupun dalam hadist nabi Muhammad s.a.w.
Selain itu keputusan memiliha jalan tengah dengan tidak menjadikan negara Indonesia sebagai negara Islam karena secara formalitas hukum Islam tidak ada satu ayat pun atau satu hadist pun yang menyebutkan sistem negara Islam. Jika ada istilah-istilah seperti kata “khalifah”, “umat” dan sejenisnya mempunyai kontek baik dari segi asbabul nuzul bukan menceritakan sebuah sistem, dan dalam kontek sejarah juga tidak menjelaskan suatu sistem politik yang baku. Itu sebabnya, setiap kurun waktu perjalanan politik Islam setelah kematian nabi Muhammad s.a.w mempunyai bentuk yang berbeda-beda dan tidak ada keseragaman sampai saat sekarang ini.
Karena itu jika dalam al-Qur’an, Allah telah berfirman bahwa umat Islam adalah “umatan wahidah” umat yang satu, artinya bukan pada pengertian kesamaan politik, budaya dan bahasa, tapi lebih pada kesamaan tauhid. Karena itu, apapun suku kita, bangsa kita, bahasa kita, saat kita telah mengucapkan kalimat tauhid, maka itu adalah saudara kita satu agama, satu akidah yang suatu saat akan bertemu dalam satu surge-nya Alloh di hari kiamat nanti. Itulah makna kesatuan dalam keberagaman.
Wallahu a’lam.