Persoalan pengaturan suara Toa di bulan Ramadhan sebenarnya sudah ada sejak zaman Orde Baru, yaitu Instruksi Dirjen Bimas 101/1978. Ini juga tertuang dalam aturan di kementrian agama era soeharto. Dan pada tahun 2022 kementrian agama mengeluarkan Surat Edaran Menteri Agama No.SE 05 tahun 2022 tentang pedoman penggunaan Toa di Masjid dan Mushola. Kedua nya sebenarnya sama, yaitu mengatur Toa agar bisa menambah kekhusukan dalam ibadah dan tidak mengganggu sesama muslim maupun non-muslim. Jadi bukan karena tidak suka terhadap suara adzan, bacaan ayat suci al-Qur’an, ceramah agama dan aktivitas lainya. Ini hal yang sangat berbeda sekali. Suara toa adalah suara pengeras suara yang secara fleksibel bisa diatur sesuai dengan selera yang mengeraskan suara, tapi kadang lupa siapa yang menerima suara tersebut. ini persoalanya. Maka negara-negara muslim seperti Arab Saudi, Qatar dan lain-lain pun mengatur suara Toa, padahal negara-negara tersebut mayoritas muslim.
Anggap saja, saat anaknya imam Masjid atau cucunya atau juga orang tuanya yang pada saat tertentu mengalami sakit keras dan butuh suatu ketenangan sedangkan dia letak rumahnya di sekitar masjid tersebut. anggaplah sudah berhari-hari tidak bisa tidur. Dan saat mulai bisa tidur, tiba-tiba terbangun lagi suara anak-anak bising atau suara adzan. Disini yang berlaku adalah kemanusiaan. Bahwa ibadah itu selain memulyakan Allah juga harus melahirkan sifat kemanusiaan kepada sesama manusia. Artinya imam Masjid yang anaknya dalam keadaan demikian, tidak boleh egoisme dengan tetap mengeraskan suara toa walaupun cucu atau anak nya menjadi korban sebagai bentuk kecintaan terhadap agama. ini sangat keliru.
Apakah kualitas Toa yang keras sebagai bentuk keimanan yang kuat? Sebab dengan kerasnya Toa para setan terbirit-birit dan tidak mau mendekat lagi? Bisa jadi setan sebagai makhluk halus tidak mau mendekat, namun manusia dengan berbagai persoalan selalu mempunyai cara berfikir untuk kemaslahatan tanpa harus melanggar syariat. Adzan sebagai panggilan sholat dan cermin dari keagungan tuhan tidak boleh disampaikan dengan cara sembarangan tanpa adanya rasa etika dan semaunya dengan melampiaskan hawa nafsu dengan tidak memperdulikan sekitarnya. Bagaimanapun, adzan adalah media dakwah. Penyampaiannya diharapkan mampu memberikan rasa nyaman dan menyenangkan, bukan hanya kepada internal tapi juga kepada uman non-muslim.
Nabi Muhammad yang agung, para sahabat, para tabi’in, tabi’in-tabi’in dan para ulama yang agung senantiasa menampilkan media dakwah dengan cara yang santun dan menampilkan dengan kualitas kebaikan. Itupun terkadang mereka menimbulkan tanggapan negative dan tidak mau menerima dakwahnya. Penolakan dakwah yang dilakukan oleh para pendakwah dengan cara yang akhsan [ terbaik ] kok masih juga ditolak, jauh lebih terhormat daripada menampilkan dakwah dengan cara yang arogan dan miskin terhadap empati manusia di sekitarnya. Paling tidak, kita telah menunjukan keagungan ajaran agama, karena tugas agama yaitu menampakan keagungan dalam berdakwah dalam kehidupan bermasyarakat.
Toa-tetaplah Toa. Bunyi suara-tetap bunyi suara. Niat baik terkadang menjadi tidak baik hasilnya jika disampaikan dengan cara-cara yang tidak baik. Begitu juga juga sebaliknya, terkadang sesuatu yang tidak baik disampaikan dengan cara yang baik malah berhasil dengan cara-cara yang baik. Jadi, sekarang bukan persoalan keras-kecil suaranya, tapi para pengurus tahu kondisi masyarakat di sekitarnya. Dari sini saya kira ada kearifan dari para Pengurus Masjid dalam menggunakan toa sebagai media dakwah di bulan Ramadhan. Toa mengajarkan kita untuk mengenal diri dan orang lain sebagai sesame manusia untuk saling menghargai dalam keberagaman dari segala aspek.