Imam Ghozali, Dosen STAIN Bengkalis
Tarekat atau Thoriqoh secara bahasa mempunyai arti “perjalanan hidup, madzab, metode (yunus, 1990). Secara istilah mempunyai keberagaman definisi yang sebenarnya mempunyai muara yang sama yaitu mengenal diri sendiri. Bahasa yang sering didengar dalam ilmu tasawuf yaitu ma’rifat. Kata ini berangkat dari hadist Nabi bahwa “Siapa yang mengenal dirinya sendiri, maka dia akan mengenal Tuhan nya.” Secara tekstual, orang-orang awam mengalami kesulitan memaknai hadist tersebut. Bahkan seorang Guru Spritiual saat kurang tepat memberikan penjelasan makna ayat tersebut akan membuat salah pengertian bagi para murid-muridnya. Bagaimana jadinya, ketika sebagian murid Syeikh Siti Jenar memahami Surat Al-Qaaf ayat 16 bahwa “Tuhan lebih dekat dari urat nadi”lalu mereka meraba-raba urat leher masing-masing dan terlintas dalam pikiran mereka pun merasa sudah “Manunggaling Gusti.”
Tentu pemahaman seperti itu tidak bisa diterima. Akal akan mengatakan dengan pendekatan kecerdasan akal pikiran. Secara akal bahwa Tuhan dan manusia mempunyai kedudukan yang berbeda. Tuhan sebagai Khaliq pada dirinya mempunyai sifat wajib yang melekat selamanya yaitu eksistensi-Nya baqa’ atau kekal. Sedangkan manusia bersifat fana’ yang mempunyai arti sifat keterbatasan oleh ruang dan waktu. Mana mungkin sesuatu yang fana akan menyatu dengan yang kekal? Bukan hal ini tidak mungkin? Dari sini makna kedekatan Tuhan dengan hamba-nya lebih dekat dari urat nadi perlu penjelasan yang tidak boleh terjebak pada pendekatan tekstual, tapi juga membutuhkan pendekatan subtantif untuk memberi ruang makna-makna yang mendekati kebenaran yang lebih logis dan bisa dipertanggungjawabkan secara akal dan syariat Islam.
Bagi kelompok Islam bermadzab teksual pun tidak berani mengatakan bahwa Tuhan lebih dekat dari Urat Leher. Bahkan mereka berani melanggar keyakinannya bahwa menafsirkan ayat bagian dari suatu yang diada-adakan adalah bid’ah. Orang seperti ibnu taimiyah pun menggunakan makna majazi. Dia akhirnya terjebak pada penafsiran “urat leher” sebagai makna “ilmu” yang bersemayam di dalam hati. Tentu bagi kelompok Ahlu Sunnah Wal Jama’ah seperti nahdlatul ulama sering memahami ayat-ayat al-qur’an pada pendekatan subtantif sehingga memahami makna kedekatan seorang hamba dalam mengenal Allah s.w.t, yaitu kedekatan bukan dalam pengertian jarak tetapi kedekatan terletak pada mahabah yang mendalam kepada-Nya saat sujud dan saat berada dimana pun dan kapan pun.
Para Ahli Thoriqoh yang sudah dilatih dan terbiasa dzikir-dzikir dalam rangka mengenal lebih dekat kepada-Nya adalah suatu Mata Rantai yang telah diberikan oleh para guru-gurunya yang sudah terkenal mempunyai kedudukan yang; sebuah cermin kehidupan yang penuh nilai-nilai hikmah dan telah semebar nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan sehari-hari. Para Ahli Thoriqoh tahu jalan menuju kepada Tuhan nya yang tidak lepas dari suatu tantangan kehidupan berupa godaan-godaan yang bisa menutup Thariqoh ( jalan ) yang kekal abadi. Pada wilayah ini para pencari keridhaan-Nya harus siap siaga atas segala kemungkinan-kemungkinan menggelincirkan dirinya. Sebab saat ini terjadi, kelezatan dzikir akan terasa hambar dan tidak mencapai apa yang dimaksud.
Bagi para ilmuwan saat menelusuri jalan-jalan menuju Tuhan seperti berjalan yang pada dirinya banyak petunjuk, ada kompas, google map, dan lain-lain. Banyak pilihan bagus-bagus, kadang mereka membutuhkan waktu merenungkan diri mana yang pantas dan sesuai dengan kebutuhan saat itu. Para ilmuwan kadang menemukan suatu kebingungan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Risalah Qusyairiyah menawarkan 76 jalan untuk mengenal Allah s.w.t (an-Naisabury, 1987). Kebingunan para ilmuwan adalah anugerah. Mereka berada di tengah-tengah lautan ilmu. Sebab kebingungan mereka sebanarnya sudah ada dalam surga ilmu yang diberikan Tuhan kepada mereka.
Ini berbeda dengan kebingungan orang yang belum punya ilmu sebagaimana penulis artikel ini. Orang-orang yang masuk maqam ini seperti berjalan di tengah Hutan belukar; ingin tetap berhenti takut diterkam Harimau atau digigit Ular berbisa. Ingin terus berjalan pun takut terperosok ke Jurang yang dalam. Namun perjalanan tidak boleh berhenti untuk mencari secercah cahaya. Semakin masuk ke dalam Hutan, semakin gelap maka sebenarnya sedang menuju cahaya pagi yang sangat indah. Pada kondisi ini, ketakutan dan kesadaran berdialog kepada Tuhan terkadang bercampur menjadi satu. Namun kondisi yang menyeramkan itu terkadang juga tumbuh keyakinan diri semakin dalam kepada sang pencipta. Sehingga kegelapan berubah menjadi terang nya batin seseorang.
Itu adalah pengalaman sepiritual jalan mengenal Allah. Akal mempunyai bukti, hikma mempunyai isyarat, dan ma’rifat mempunyai sahadat atau persaksian. Proses jalan mengenal-nya tidak lepas dari kompleksitas bukti-bukti empiris yang mengantarkan terbuka nya rahasia-rahasia dan kemudian memberi kesadaran akan kehadiran-Nya. Itu sebabnya, proses yang terkadang terjadi secara alamiah ini juga tetap membutuhkan suatu panduan-panduan yang telah diajarkan oleh para guru-guru Thoriqoh yang Muhlis dan sudah terjaga ke-futuh-an ilmu, amal dan mengenal-nya dengan baik. Saat seseorang sudah mencapai dan menjalankan proses ini, maka dia akan semakin mengenal diri nya sendiri sebagai hamba Allah yang segala ucapan, pikiran, ibadah dan amal sholeh semata-mata hanya mencari ridha-Nya.