Permainan sepak bola merupakan olah raga rakyat. Hampir setiap pelosok daerah mempunyai lapangan sepakbola. Ada yang sesuai setandar, terutama ukurannya, atau kadang hanya berupa lahan yang kosong, lalu karena digunakan secara terus-menerus, akhirnya menjelma menjadi lapangan kampung. Walaupun sebatas lapangan kampung, mulai dari anak-anak, remaja sampai pada orang-orang yang sudah dewasa bermain sepakbola dan terjadwal secara alamiah kapan mereka melakukan permainan legendaris tersebut.
Kenapa Sepakbola tumbuh di daerah perkampungan? Kita bisa memahami bahwa masyarakat kampung mempunyai jiwa gotong royong dan kerjasama dalam setiap kegiatan baik kegiatan yang bersifat ritual maupun sosial seperti memperingati hari-hari besar Islam, membersihkan selokan, mendirikan rumah dan membangun irigasi persawahan. Mereka kerja tampa pamrih. Ketika ada pengumuman dari ketua RT, maka secara alamiah mereka memposisikan diri masing-masing sesuai kemampuan dan bakat alamiahnya dengan membawa peralatan gotong royong, ada juga yang “urun” dengan membawa “ubi godok”, “ pisang godok”, “the manis”, dan “air putih”. Kadang ada juga orang-orang kampung yang mempunyai kelebihan harta atau sering disebut orang kaya, biasanya membawa makanan lebih baik kualitasnya atau lebih mewah tentu ukuran orang kampung. Umpamanya, membawa nasi bungkus yang di dalamnya sudah ada lauk-pauknya. Selesai gotong royong, mereka duduk-duduk, membersihkan tanganya dengan air putih yang dimasukan dalam botol Aqua, dan makan sama-sama diselingi dengan canda dan tawa.
Kondisi masyarakat kampung sebagaimana di atas adalah masyarakat yang heterogen pangkat, jabatan dan status sosial. Namun watak “semedulur” dan saling membantu serta kerjasama dalam melakukan suatu kegiatan ritual dan sosial membuat perbedaan status sosial tidak menjadi suatu persoalan serius. Mereka memposisikan diri secara natural dari setiap kegiatan yang ada. Tidak ada aturan yang mengikat di antara mereka, tapi mengerti apa yang harus dilakukan dengan rasa saling pengertian. Sehingga apapun yang dilakukan bisa diterima dan dipahami tanpa adanya rasa tersinggung. Mereka mempunyai prinsip sangat baik, “Berat sama-sama dijunjung, ringan sama-sama dijinjing.”
Dari sini kita bisa merasakan betapa tinggi rasa kebersamaan yang dibangun oleh masyarakat perkampungan. Bagi mereka, kebersamaan dalam suka dan duka merupakan komitmen yang kuat lahir dari ketulusan hati akan solidaritas yang dibangun. Tidak lagi melihat persoalan materi, namun lebih jauh bahwa kebersamaan sudah dilihat sebagai kesatuan tubuh “kal jasad al-wahid” seperti satu anggota tubuh. Ketika bagian tubuh sakit, maka akan sakit bagian yang lain.
Kita bisa membaca dari sini, kenapa sepak bola menjadi olah raga yang paling favorit di masyarakat perkampungan terjawab sudah. Permainan yang tidak sebatas hiburan semata, namun ia lahir dari semangat kebersamaan dalam memperjuangkan suatu cita-cita bersama, yaitu menang. Untuk mencapai sebuah cita-cita tersebut tidak bisa sendiri-sendiri, butuh kekompakan, satu komando dan bergerak semua dalam segala lini permainan. Ini prinsip bangsa ini untuk mencapai sebuah kemenangan. Karena itu, egoisme sektoral dan merasa paling hebat, dan yang lain dianggap tidak memberi konstribusi, maka cita-cita tersebut sulit terwujud. Itu sebabnya, kebersamaan harus mampu mengikis eklusifitas kelompok dan superior golongan tertentu dan mampu membangun kesamaan derajat dalam kebersamaan.