
SAAT PEMAHAMAN ISLAM SEBATAS BALON
Saat ini memang marak kajian-kajian agama yang ber-label “sunnah” dengan berperilaku justru tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah saw. Pemaknaan sunnah dipahami sebagai bentuk ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad memang benar. Mengklaim diri paling sunnah dan kelompok lain salah adalah sebuah kesalahan fatal. Justru saya menilai malah mencoreng sunnah Nabi sendiri. Bagaimana tidak mencoreng sunnah, jika yang diinginkan mencontoh Nabi sebagai uswatun khasanah, malah ucapannya kasar, kotor, dan menyalahkan orang lain tanpa menggunakan sistem tabayun, atau juga mem-vonis bid’ah kepada orang yang ibadah nya tidak sama dengan nya. Lebih celaka lagi adalah ketika sudah berani meng-kafirkan sesama muslim. Jelas perbuatan-perbuatan demikian bukan sunnah, namun mungkar yang meng-klaim sunnah. Baju dan jenggot bisa jadi sunnah. Cara sholat bisa jadi sunnah. Tapi meng-klaim diri sebagai yang terbaik dalam menjalankan sunnah adalah kearoganan yang terselubung. Kemunafikan dan kesombongan yang terselubung atas nama agama. bagaimana tidak sombong, jika klaim diri tidak bid’ah sedangkan yang lain bid’ah. Seolah-olah diri sendiri bersih dari bid’ah, sehingga hidup dalam dakwahnya sibuk menyerang orang lain dengan membabi buta dengan argumen qur’an dan sunnah. Padahal orang yang dianggap bid’ah dan sesat juga ahli al-Qur’an dan Sunnah. Hanya cara pemahaman saja yang berbeda furu’, tapi ushul nya pun sama. Betapa dangkalnya memahami agama Islam.
Salah satu kedangkalan dalam memahami agama Islam antara lain mempersoalkan hal-hal yang sepele seperti lagu anak-anak yang berjudul: balonku ada lima. Ustadz Zainal Abidin adalah ustadz yang mempersoalkan lagu ini. Menurutnya lagu ini mengandung agenda pemurtadan yang terselebung sebagaimana lagu anak-anak lain: naik-naik ke puncak gunung.
Konsekuensi ustadz Zainal Abidin tidak bisa dianggap sebagai persoalan kecil. Jika dibiarkan hal ini terus berlanjut, bisa menimbulkan kegaduhan dalam kehidupan beragama. Pertama, tuduhan bahwa lagu tersebut sebagai agenda pemurtadan harus dibuktikan secara ilmiah, bukan asumsi belaka. Sebab sering ustadz sejenis Zainal Abidin sering melihat sesuatu langsung dianggap sebagai simbol agama atau kalimat yang dianggap menurut pikirannya bukan dari Islam langsung dituduh sebagai bagian propaganda kristenisasi. Bagaimana seorang ustadz berfikir seperti ini dangkalnya. Apakah ustadz tadi ketika melihat tiang listrik di jalan juga bagian dari kristenisasi dalam pelistrikan? Apakah rumah-rumah yang dikampung yang penyangga atap terbuat dari kayu yang berbentuk salib juga bagian dari agenda kristenisasi? Haruskah seluruh benda, bangunan harus berbentuk lurus semua agar menunjukan makna tauhid? Haruskah ilmu matematika harus dirubah hanya persegi panjang dan tidak ada segitiga? Haruskah tidak ada penambahan, yang ada perkalian dan pengurangan? Dari sinilah saya melihat, bahwa semangat berdakwah jika tidak disertai dengan pemahaman budaya akan bisa melahirkan benturan-benturan dengan agama lain yang untuk masa-masa mendatang sangat membahayakan. Pola dakwah yang telah menyebarkan virus kebencian atas nama agama. Sungguh sangat jauh sekali dari makna agama yang mempunyai arti kemulyaan itu.
Kedua, ustadz telah memaknai tauhid sebagai sesuatu yang formal semata, tidak pada subtansinya. Tauhid digambarkan menempat pada benda, bukan pada perilaku. Padahal makna tauhid sebenarnya adalah : لا معبود بحق في الوجود الا الله, artinya tidak ada makhluk yang disembah kecuali Alloh (Syeikh Salim Al-Khudari). Pemaknaan Tauhid ini jelas, yaitu pada perilaku batin kita terhadap respon kita kepada Alloh sebagai Tuhan semesta Alam dan kepada Alam Semesta ini sebagai ciptaan-Nya. Garis pemisah jelas, Tuhan yang disembah, Alam Semesta yang menyembah-Nya. Sehingga ketika sholat pun, kita sedang menyembah Alloh, bukan menyembah Ka’bah. Jadi, bagaimana mungkin benda seperti Keris, Pohon Cemara, Patung, Kuburan dan benda-benda sejenisnya yang dimiliki oleh seorang Muslim yang mukmin berubah menjadi seorang kafir. Orang yang sudah mengikrarkan tauhid kepada Allah jelas tidak mungkin menyebah selain allah, walaupun pada dirinya, di rumahnya di pekarangan rumahnya ada Keris, Kuburan dan Pohon Cemara. Pemahaman seperti jelas tidak benar. Dan jika diteruskan, maka hanya muncul prasangka-prasangka dan tuduhan-tuduhan kepada orang lain dengan tuduhan syirik, bid’ah dan sesat. Jelas perilaku seperti ini bukan hakikat seorang muslim yang mukmin.
Seharusnya jika ingin mengajarkan kebenaran Tauhid, ustadz tersebut sebaiknya duduk bareng dengan kelompok atau masyarakat yang dianggap menyimpang. Jangan membuat opini dan menjadi materi ceramah. Ceramahnya benar, tapi opininya salah. Maka harus ada sharring. Buat dialog terbuka. Sehingga semua tahu sisi kebenaran dan ketidakbenaran pemahaman tentang tauhid. Namun jika masih menutup pintu dialog, dan mengkhususkan untuk para jamaahnya saja, bisa dipastikan tidak akan selesai persoalan sesat menyesatkan.
Namun Penulis artikel ini baru saja mendengar dan membaca tulisan saudara Rendra Saputra pada tanggal 16 Juni 2020, Ustad Zainal Abidin telah meminta maaf atas kesalahannya. Semoga saja benar. Semoga saja, lebih berhati-hati dalam menilai sesuatu ketika berbicara hukum agama. harus ada kearifan dan kedalaman batin agar sesuatu bukan hanya sebatas yang dilihat secara formal, tapi juga bersifat subtansional.
16 Iuni 2020
Vijian Faiz