Hari ini memang saya gelisah. Entah apa yang digelisahkan pun kadang tidak tahu. Pikiran semrawut. Kadang persoalan istri marah-marah, kadang muncul juga anak minta duit kiriman untuk membayar iuran Pesantren karena akan mengadakan imtihan, kadang juga muncul pikiran-pikiran NU struktural yang kadang di mata ku seperti tidak tersetruktur, ada strukturnya, tidak ada gaung strukturnya. Terutama di ranting-ranting NU. Ma’lum, saya hanya anggota ranting.
Saya ingin belajar ilmu sufi yang diajarkan oleh Junaidi Al-Baghdadi atau Imam Al-Ghozali. Saya mencoba membuka kita-kitab terjemahan Ihya Ulumuddin. Saya juga membuka kita Al-Hikam Syaikh At-Taillah. Saya juga membuka induk kesufian nya, yaitu Risalah Al-Qusyairiyah. Namun yang muncul dalam benak saya, bukan ketentangan yang bersarang dalam hati, tapi pikiran penuh dengan semrawutnya urusan administrasi, termasuk Muhtamar ke-34 yang akan dilaksanakan di Lampung pada tanggal 22-23 Desember 2021.

Namun entah karena apa, saat malam hari saya membaca bab Fana dalam kitab Risalatul Qusyairiyah, tiba-tiba hijab tersingkap. Saya melihat Gus Dur berjalang melangkah menemuiku, dan bertanya bagaimana kabar murid-muridnya dan menyebutkan beberapa nama muridnya antara lain : Kyai Said Aqil Siraj, Kyai Yahya Cholil Staquf, Dan Kyai Marzuki Mustamar. Saya tentu saja bingung karena saya mengenalnya hanya melalui TV, Youtube, dan Media Massa atau Media Sosial. Bagaimana saya harus menjawab perihal murid-murid Gus Dur yang agung, sedangkan saya tidak pernah mengenal mereka, kecuali hanya satu; mereka adalah para ulama NU.
Kelihatannya Gus Dur tidak memaksa saya untuk menjawab bertanyaannya. Dia pun menceritakan saat-saat dia menjadi ketua umum PBNU dan menjadi Presiden RI ke-4. Menurutnya, orang-orang seperti Kyai Said, Kyai Yahya, dan Kyai Marzuki adalah orang-orang yang ikhlas membelaku saat sebagian para kyai NU dan luar NU menyerangku karena isu-isu liberal dan Israel. Isu-isu ini yang hampir saja saya dibunuh oleh aktivis Islam radikal di Mesir dan mengatakan perkataan yang tidak pantas sebagai seorang calon intelektual dan calon pemimpin bangsa di masa depan.

“ Saat saya diserang oleh para kyai dan aktivis di luar NU tentang isu prof- Israel dan dituduh mendapat bantuan-bantuan dari negara tersebut, para murid ku tadi yang membela mati-matian” kata Gus Dur sambil senyum-senyum penuh bangga terhadap murid-muridnya.
Saat saya ingin bertanya tentang isu Israel di Muhtamar NU ke-34 di Lampung, ternyata Gus Dur kedahuluan berkata begini:
“Mas, Agama merupakan anugerah dari Allah s.w.t untuk umat manusia, agar mereka bisa hidup dengan baik, benar dan terarah sesuai dengan perintah-Nya. Tanpa agama, manusia akan mengalami kebingungan untuk mengatur kehidupan yang baik, teratur dan benar. Walaupun manusia bisa mencipakan kehidupan dengan baik dan benar, tapi manusia ketika tidak mendapatkan sinar keimanan maka kebenarannya sangat situasional dan perlu lagi diuji kebenaran-kebenaranya dan apakah memberi manfaat atau tidak dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk dirinya sendiri maupun kepada orang lain.”
“Mas, Allah mempunyai sifat rahman dan Rahim. Israel atau Yahudi adalah mahluknya Allah yang perlu dihargai. Namun bukan berarti kita menghargai perilakunya. Ini dua obyek yang berbeda. Kita juga harus obyektif, tidak semua orang yahudi itu jelek, sebagaimana tidak semua orang Islam baik. Politik yang telah merubah sikap yahudi arogan kepada palestina. Namun kebencian kita kepada musuh jangan menjadikan hilang rasa keadilan kita. Bukankah keadilan lebih dekat dengan takwa.”

“Mas, tugas NU adalah menebarkan kebaikan, menyambung silaturahim dan terus-menerus menyuarakan perdamaian ke seluruh belahan Dunia. Sebab memperjuangkan hak-hak asasi manusia merupakan tugas suci dalam al-Qur’an di Dunia. Hanya dengan saling menghargai keberadaan manusia, perdamaian segera terwujud.
Saya ingin bertanya kepada Gus Dur tentang NU kekinian, tapi bayangan Gus Dur sudah tidak ada. Malam kembali sunyi. Hanya angin lembut telah menggeser halaman kitab Risalatul Qusyairiyah ke bab sabar. Saya ingin membacanya, berat rasanya mata ini untuk meneruskan ngaji. Biarkan saja murid-murid Gus Dur, Kyai Yahya, Kyai Said dan Kyai Marzuki yang ngaji bab fana dan sabar. Saya yakin para muridnya Gus Dur tidak hanya membahas fikih tentang ahlul kitab dan Israel semata, tapi juga membahas ilmu tasawuf bab Ahlul Kitab sebagai bagian dari mahluknya Allah yang tidak berbeda dengan mahluk-mahluk lainya.
Saya tutup kitab kuning dengan membaca Al-Fatehah, semoga para aulia, ulama dan masyayeikh mendapatkan kemulyaan di sisi Allah s.w.t. amin.