Muktamar NU ke-34 di Lampung agak mirip kampanye model Pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati sampai Kepala Desa. Sedikit agak mirip jika tidak disebut malu-malu kucing. Ada isu Israel yang mampir di beranda Facebook, Twitter, Instagram dan artikel-artikel. Ada juga pengajian di Youtube yang menyindir halus tanpa menyebut namanya untuk tidak memilih calon yang terduga ada afiliasi dengan Israel [ ma’lum baru menduga, jadi belum tentu benar]. Bisa jadi itu bentuk kehati-hatian, atau juga sedang memperkenalkan sosok lain yang dianggap bersih dan punya komitmen tinggi terhadap kemerdekaan Palestina. Anggaplah “Ada Udang dibalik Batu.”

Padahal isu Palestina vs Israel sudah usang. Tapi hebatnya, jika ini diangkat dan memprovokasi psikologis umat Islam masih laris-manis. Bahkan sampai saat ini pun partai politik masih ada menggunakan isu Israel dan Palestina untuk dagangan politik. Padahal, kasus kejahatan kemanusiaan seperti di Suriah, Yaman tidak kalah mengerikan. Namun kurang laku, dan tidak seenak ketika menggoreng isu Palestina vs Israel.
Disisi lain ada kampanye tentang perlunya regenerasi di tubuh pengurus PBNU. Walaupun sebenarnya istilah regenerasi cukup sulit untuk mengukur secara pasti dalam sebuah organisasi, apakah terkait dengan umur atau masa jabatan? Karena dalam di PBNU itu sendiri juga cukup banyak tokoh-tokoh ulama yang masih muda seperti Gus Baha, Gus Afifudin, dan Gus Ishom. Ketiga ulama ini sudah bisa merepresentasikan ulama dari kalangan ulama muda yang suatu saat menjadi penerus estafet kepemimpinan pbnu di masa mendatang.
Jika regenerasi diartikan secara spesifik pada ketua PBNU, maka regenerasi disini diartikan bahwa periode seorang ketua PBNU cukup dua periode. Artinya periode selanjutnya memberi kesempatan kader yang lain untuk meneruskan program-program yang sudah berjalan dan membuat program-program baru untuk menyempurnakan program-program yang dilakukan sebelumnya.
Disini terjadi makna regenerasi pun mempunyai beragam tafsir. Satu sisi, regenerasi diartikan tambal sulam, satu sisi mengartikan regenerasi pada leadernya, yaitu ketua tanfidziyah nya. Keduanya ada plus-minusnya. Namun sebuah organisasi yang baik harus menyiapkan kader-kader terbaik untuk meneruskan tongkat estafet di masa mendatang. Regenerasi merupakan wasilah untuk mendidik generasi penerus agar tidak boleh hidup dalam zona nyaman. Namun harus siap sedia kapan-pun untuk mengemban tugas dari organisasi. Jika regenerasi mandeg, maka dikhawatirkan ada pengkultusan kepada kepemimpinan, dan ketidaksiapan generasi selanjutnya untuk mengganti posisinya. Dan ini sangat berbahaya bagi kelangsungan sebuah organisasi.

Kita bisa melihat sejarah, betapa lambatnya bangsa ini menyiapkan regenerasi pemimpin bangsa akibat betahnya Soeharto menjadi Presiden. Saat krisis kepemimpinan dan kepercayaan, bangsa ini carut-marut dan tidak tentu arah saat Soeharto lengser keprabon. Pelajaran yang sangat berharga untuk masa depan sebuah organisasi bukan?
Penulis artikel ini tentu tidak bisa menilai negatif atas ijtihad kyai Yahya dan Kyai said tentang makna regenerasi. Keduanya sah-sah saja mengarikan dalam sudut pandang yang berbeda. dan ini memang suatu keharusan untuk bisa melihat keberagaman pemikiran di tubuh NU. Penulis sebagai orang awam, hanya menengok dari layar kaca dan internet, kira-kira suara warga nahdiyin ikut ijtihad kyai Yahya, kyai Said, kyai As’ad atau kyai Marzuki?

Tapi yang perlu menjadi catatan dan menurut penulis sangat penting yaitu bahwa NU bukan partai politik dan bukan tempat para petualang politikus. NU bukan pilpres dan pilkada yang saling menyerang dan menjelekan satu tokoh kepada tokoh lain. NU adalah organisasi kumpulan para ulama yang pada diri mereka ada status “warosatul ambiya” [ pewaris para Nabi ]. Jadi sangat lucu jika NU ikut-ikutan kampanye calon dan survey-survei kandidat. Terlihat lucu khan? Sangat tidak lucu bukan jika status ulama seperti status para politikus yang lagi promosi jadi capres.