Imam Ghozali, Dosen STAIN Bengkalis
Salah satu gebrakan NU yang dilakukan oleh K.H. Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya yaitu menginisiasi R20 Internasional Summit of Religious Leaders yang diadakan pada tanggal 1-3 November 2022 di Bali. Dalam sambutanya, Gus Yahya mengatakan bahwa “Bali sebagai pulau Dewata ( Agama Hindu) yang berada di Negara mayoritas Muslim”, sebenarnya sambutan sekaligus kesimpulan dari pemaparan seluruh pidatonya. Hal ini juga dipertegas sambutan Presiden Joko Widodo, bahwa Indonesia adalah Negara beragama yang hidup berdampingan dengan damai; Islam, Kristen, Prostestan, Hindu, Buda dan Konghucu.
Acara ini cukup mengagetkan di kalangan umat lintas agama, termasuk Islam dan wabil khusus di kalangan Nahdliyin. Penampilan Gus Yahya yang tidak formalistik sebagai seorang ulama menyebabkan sebagian kelompok di kalangan Nahdliyin sendiri meragukan kemampuannya, bahkan bisa jadi meragukan ke-ulama-anya. Ma’lum kesehariannya jika dilihat dari kacamata Facebooker dan Twitterer adalah seorang yang suka guyon, tidak pernah memakai gamis, kadang tidak memakai Peci, dan jarang berbicara dengan menggunakan dalil-dalil hukum untuk memperkuat argumen ini dan itu dari sudut syariah Islam. Mungkin ini yang menyebabkan dia kurang mendapatkan respon positif oleh sebagian pihak di internal nya sendiri.
Tentu saja saya tidak meragukan kemampuannya sebagai seorang Ulama yang mendalami ilmu agama sangat baik dari tempat pendidikan agama yang sangat baik dan berusia sudah tua yaitu Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Selain itu, Dia juga putra dari seorang Ulama yang sangat karismatik pada zamannya yaitu K.H. M. Cholil Bisri, seorang ulama sekaligus Pengasuh Pesantren Raudlatuthalibin Rembang, Penulis Produktif dan Singa Podium yang sangat menggetarkan para jama’ahnya. Saya saat masih kecil sering mendengarkan pidatonya. Dan sampai saat sekarang ini, saya masih menyimpan tulisan-tulisannya dengan baik yang diterbitkan di berbagai Media Massa seperti Kompas, Jawa Pos, dan Media Nasional lainnya.
Salah satu wujud dari kemampuannya yaitu melakukan transformasi nilai-nilai Islam sebagai Rahmat Semesta Alam, yang bukan sebatas tesktual tapi juga subtansial. Ini langkah yang menurut saya terlalu berani dan brilian. Ini juga suatu langkah dari kegelisahannya atas ajaran Islam yang sering hanya hidup di Mimbar-Mimbar atau tempat pengajian-pengajian yang berisi persoalan kemanusiaan dan perdamaian, namun saat yang sama juga sering dari mimbar itu juga muncul ujaran-ujaran kebencian terhadap kelompok-kelompok di luar Islam.
Gus Yahya dengan pendekatan teologi bahwa Islam harus benar-benar mampu mewujudkan hifdz dien. Landasan yuridisnya jelas, bahwa Tuhan memberikan anjuran untuk beragama tapi disisi lain juga memberikan legalitas pada wilayah “lakum dienukum” sebagai bagian kodrat manusia yang dilahirkan dalam keberagaman. Filosofisnya tentu saja, bahwa Islam sebagai agama dakwah, juga agama yang harus bisa melihat realitas sosial akan keberagaman yang dihidup di masyarakat. Menjaga keberagaman dan keharmonisan serta kerja sama untuk mewujudkan kerukunan bersama merupakan tugas agama Islam dan juga agama-agama lain yang secara universal mempunyai semangat yang sama.
Jadi acara pertemuan tokoh lintas agama seluruh Dunia di Bali saat ini baru sebatas “Batu Loncatan” untuk mewujudkan “Peberadaban Dunia” sekaligus “Keadaban Manusia” dalam konteks kehidupan di tengah-tengah masyarakat yang plural. Tentu saja, sebagai seorang tokoh agama, Gus Yahya tidak ingin menerapkan pluralisme pengertian negatif, tapi justru pluralisme dalam pengertian sosial positif yaitu mewujudkan masyarakat yang agamis dalam ucapan, pikiran dan tindakan dalam mewujudkan perdamaian dunia. Dan cita-cita ini adalah pesan yang tertera dalam simbol NU berupa Globe atau Bumi kecil. Dari sini, Gus Yahya sedang bergerak untuk mewujudkan cita-cita para Pendiri Nahdlatul Ulama. Sebuah cita-cita yang menurut saya perlu diapresiasi dan didukung seluruh komponen Masyarakat dan Bangsa.