
Perjuangan NU untuk kemerdekaan Palestina sepertinya tidak ter-ekspos oleh masyarakat Muslim Indonesia, terutama kalangan kaum milenial. Mereka lebih mengenal para aktivis atau politikus yang turun di jalanan dengan membawa Bendera Palestina dan membawa Kaleng di simpang-simpang meminta bantuan atas nama kemanusiaan yang hasilnya akan (katanya) dikirim ke negara Palestina. Hingar bingar politik dan kecintaan terhadap ghirah atau semangat Islam tinggi, telah mendoktrin diri kelompok tertentu sebagai kelompok paling serius membela Palestina. Demonstrasi dan kadang disertai kritik kepada Pemerintah yang dianggap tidak peduli terhadap “Islam Palestina” sering menjadi alat politik murah di jalanan. Begitu juga, saat NU atau Badan Otonom (Banom) seperti Ansor dan Banser tidak ikut demo dijalanan, dianggap sebagai organisasi yang hanya peduli terhadap non-muslim, tapi tidak punya perasaan saat Palestina di caplok oleh Israel.
Bagi NU dan Ansor mengahadapi tuduhan tersebut sudah sangat kenyang. NU adalah ormas keagamaan yang lahir bukan kemaren sore ketika terjadi pasca gerakan reformasi 1998. NU secara kultural sudah ada sejak sebelum ada zaman penjajah Belanda. NU secara Struktural juga lahir sudah cukup tua, yaitu 1926. Perjuangan politik NU untuk membantu persoalan politik, ekonomi dan kemanusiaan sudah berjalan puluhan tahun yang lalu. Pada 12-15 Juli 1938 Mukhtamar di Pandeglang, Banten. K.H. Abdul Wahab menyampaikan sikap NU terhadap kondisi palestina sebagai berikut:
Pertolongan-pertolongan yang telah diberikan oleh beberapa komite di tanah Indonesia ini berhubung dengan masalah Palestina, tidaklah begitu memuaskan adanya. Maka sebagaiknya NU dijadikan badan perantara dan penolong kesengsaraan umat Islam di Palestina. Maka pengurus atau anggota NU seharusnya atas nama sendiri-sendiri mengikhtiarkan pengumpulan uang yang pendapatannya itu terus diserahkan kepada NU untuk diurus dan dibereskan sebagai mana mestinya.
NU juga mendirikan lembaga yang disebut LAZISNU (Lembaga Amil Zakat, Infak dan Shadaqah). Melalui lembaga ini NU menggerakan anggotanya baik melalui banom-banom secara structural juga secara kultural yang telah menyalurkan bantuan kepada masyarakat palestina, bukan sebatas untuk umat Islam di Palestina, tapi seluruh masyarakat Palestina yang beragam agama.
Sebagian fakta kecil di atas sebenarnya bentuk perjuangan NU yang sudah lama dilakukan untuk kemerdekaan Palestina. Perjuangan politik senyap NU memang bagian dari ciri khas NU yang lebih mengedepankan diplomasi daripada turun jalan yang jelas mempunyai potensi konflik dan efek negatif lainya terhadap masyarakat seperti macet jalan raya, terganggu pereknomian masyarakat, dan rentan terjadi kerusuhan ketika disusupi oleh kelompok yang tidak bertanggung jawab.
Perjuangan NU tentu tidak perlu sebagaimana kelompok yang baru lahir yang suka berkoar-koar di jalan yang kadang perjuanganya dengan menjelekan kelompok lain. NU tidak melakukan perjuangan membantu palestina, saat kelompok lain menganggap tidak pernah peduli terhadap Palestina. Biarkan anggapan terus dilakukan kepada pembenci NU. Tapi bukti kepedulian NU bisa dilihat dari peristiwa kecil, yaitu kedatangan Duta Besar Palestina ke Kantor PBNU pada hari Senin (29/6) memberikan apresiasi kepada NU dan mengundang Prof.Dr.KH. Said Aqil Siraj untuk menjadi Pembicara diskusi virtual untuk menyampaikan pesan perdamaian atas serangan Israel kepada masyarakat Palestina pada beberapa waktu lalu.
Jadi NU tidak perlu pengakuan dari masyarakat terhadap perjuangan nya dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Diakui atau tidak, NU terus bergerak untuk kemerdekaan bangsa Palestina sebagai bentuk perjuangan persamaan Hak Asasi Manusia (HAM). Itulah jalan sunyi perjuangan NU untuk Palestina.
Rabu, 24 Juni 2020
Vijian Faiz