Imam Ghozal [Dosen STAIN Bengkalis]
Beberapa hari ini mendampingi Istri dan anak-anak yang sedang “rombongan demam”, saya menyempatkan membaca cover dan pendahuluan Disertasi saudara Fuad Jabali yang telah diterjemahkan oleh dirinya menjadi judul “ Sahabat nabi, siapa, kemana, dan bagaimana?”. Jika dilihat dari terjemahan yang telah diformat menjadi sebuah buku, Disertasi yang ditulis di McGill University termasuk Jumbo. Ini paling tidak dilihat dari ketebalan buku ini beserta lampirannya berjumlah 625 halaman.
Fuad Jabali menyuguhkan data-data tentang makna sahabat dan berapa jumlah serta penyebaran mereka di berbagai wilayah, terutama pasca terjadi Fitnah Akbar pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Tulisan ini mengambil contoh kecil tentang makna sahabat. Goldziher dalam bukunya Islam Studies mengartikan sahabat dari hadist Bukhari : “Siapa saja di antara orang-orang muslim yang pernah bersama nabi, atau melihatnya adalah sahabat. Etan Kohlberg dan Miklos Muanyi mengartikan sahabat sebagai Intelektual muslim dari generasi ke generasi. Masih ada lagi beberapa definisi lainya. Dan untuk kepentingan disertasi ini, Fuad Jabali kemudian menutup kesimpulan modifikasi makna sahabat sebagai berikut: “ Siapa saja yang pernah ketemu Nabi, dalam keadaan Islam, dan wafat dalam keadaan Islam, lepas dari apakah pada saat pertemuan itu terjadi orang tersebut sudah masuk usia baligh atau pernah mendengar apa pun darinya”.
Saat sekarang ini kata “Sahabat” telah dimualafkan dalam bahasa Indonesia dengan makna lebih luas lagi melebihi dari definisi yang dibuat oleh Etan Kohlberg dan Miklos Muanyi. Kata sahabat sudah menjadi milik nasional, tidak lagi terkhususkan untuk orang yang pernah hidup pada zaman nabi, bukan juga generasi intelektual muslim, tapi juga sudah wujud keakraban antara sesama manusia dalam suka dan duka. Dari sini kemudian lahir kata-kata bijak yang menjadi pedoman kehidupan antara lain: “Sahabat yang baik adalah sahabat yang mengerti sahabatnya dalam suka dan duka”. Ada juga dengan modifikasi yang lebih Islami: “ Sahabat sejati adalah orang-orang yang senantiasa mengajak untuk selalu mencintai Allah s.w.t.” Ahli Sufi mendefinisikan “Sahabatku adalah kekasihku yang telah melupakan nikmatnya dunia seisinya”. Namun ada juga yang memberi nilai negatif tentang makna sahabat, terutama datang dari kalangan wanita [ juga pria ] yang sudah punya pasangan atau kekasihnya dengan sebuah kalimat peringatan : “ Hati-hati dengan sahabat mu, karena bisa jadi kedekatan dengan pasanganmu akan mengganti posisimu di sampingnya.” Mungkin ini yang sering disebut oleh Megi Z dalam lagunya: “Pagar Makan Tanaman”.
Saat ini setiap orang mempunyai definisi sahabat sesuai dengan versi nya masing-masing. Namun apapun definisinya, makna sahabat yang tidak bisa hilang yaitu: adanya kedekatan dan saling pengertian di antara mereka. dua ini yang sering kita mendengar ada seseorang mengorbankan hartanya, jabatannya bahkan jiwa demi sebuah persahabatan. Mulai pada zaman klasik, bagaimana para sahabat nabi siap sedia mati saat dia mendapat serangan dari kaum Kafir Qurays dalam peristiwa Perang Uhud. Mereka siap mati demi Nabi yang mereka sayangi. Kita pun masih segar ingatan tentang kisah Umar bin Khatab orang yang pada mulanya benci sekali kepada Nabi kemudian berubah orang yang sangat mencintainya. Saking cinta nya kepada Nabi, Umar bin Khatab pun berpidato di depan kaum Kafirin Qurays : Wahai para pembenci Nabi, siapa saja yang mengganggu dan mencoba menyakiti Muhammad, maka kalian berarti telah mengajak perang dengan ku!”.
Namun kini ada sedikit pergeseran makna tentang sahabat di kalangan masyarakat modern. Makna sahabat yang dibangun dari kesakralan kesetian dan cinta kasih tanpa pamrih berubah menjadi makna suatu kepentingan bersama. Ketika mereka mempunyai kepentingan bersama, maka dari situ muncul pengertian sahabat, yang siap sedia membantu dengan segala apapun dibelanya. Namun sebaliknya, ketika sudah tidak ada kepentingan, empati dan kasih sayang berubah menjadi rasa benci dan dendam. Kita lihat betapa banyak dulu pernah menjadi pasangan suami-istri setelah berpisah mereka pun memutuskan silaturahim. Betapa banyak dulu adalah sehidup semati dalam perjuangan, tiba-tiba mereka berubah ingin hidup sendiri dan lainya mati. Betapa banyak orang yang mengatakan bahwa hanya dia yang paling sempurna, tiba-tiba berubah hanya dia yang paling hina.
Saya kira, kita perlu kembali lagi menghidupkan makna sahabat sebagai wujud kegairahan spiritual yang berdasarkan atas kesadaran beragama dan kesadaran kemanusiaan sejati, sehingga kita bisa melihat semua dinamika kehidupan dengan pikiran yang jernih untuk melihat suatu persoalan dan menemukan suatu jawaban. Namun lagi-lagi, mengembalikan makna dalam realita kehidupan ternyata tidak semudah dalam teori. Benarkah demikian?