Imam Ghozali, Dosen STAIN Bengkalis
Ada dua Sumpah yang melegenda di Nusantara; Sumpah Palapa dan Sumpah Pemuda. Keduanya berbeda dalam waktu dan motifnya, namun ada semangat sama yaitu menyatukan Nusantara dalam satu kesatuan Negara. Jika dilihat dari waktu, Sumpah Palapa terjadi pada tahun 1334. Patih Gajah Mada masih muda, perkiraan berumur 23 tahun. Umur yang baru lulus strata satu, dan sedang kuliah strata dua. Disisi lain, usia seumuran tersebut mungkin usia anak muda yang sedang “galau” tingkat Dewa. Mau menikah, belum punya biaya. Mau buka usaha belum punya modal, mau jadi Ustadz yang berbicara tentang “keganasan” Neraka dan “keindahan” Surga, ternyata mata belum mampu menundukan pandanganya dari Surga Dunia, mau kerja meng-honor di Kantor, persaingan cukup banyak dan membutuhkan keahlian yang memadai. Tapi Gajah Mada telah membuktikan sebagai pemuda yang mampu menciptakan suatu perubahan yang dicatat dalam sejarah peradaban manusia melalui Sumpah Palapa.
Gajah Mada sama seperti para penguasa pada masa lalu yaitu; kekuasaan, kekayaan, dan kewibawaan. Ini persis apa yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun ( lahir 1332 Masehi, perkiraan 12 tahun lebih muda dari Gajah Mada) bahwa para penguasa berkuasa dan menyerang Negara-Negara lain mempunyai tujuan untuk memperluas kekuasaan melalui kekuatan tentara dan menaklukan melalui peperangan. Namun semakin besar kekuasaan, maka akan semakin jauh pantauan Pemerintah Pusat sehingga memungkinkan daerah-daerah yang ditaklukan oleh Pemerintah Pusat sedikit demi sedikit melepaskan diri dari kekuasaan dan mendirikan Kerajaan baru. Teori Ibnu Khaldun terbukti. Kerajaan Majapahit akhirnya runtuh. Daerah-daerah kekuasaannya mendirikan kerajaan sendiri-sendiri. Puncaknya pada zaman kekuasaan Brawijaya ke-V. Pemberontakan terus terjadi. Perebutan kekuasaan juga telah menyebabkan Perang saudara. Para prajurit keturunan Islam banyak yang luka-luka dan di bawa ke Demak. Karena jauh dari kekuasaan Majapahit, Demak pun mendirikan Kerajaan Islam. Raja pertama Raden Patah yang masih keturunan Raja Majapahit.
Setelah Kerajaan Besar hancur, muncul Kerajaan-Kerajaan Kecil datanglah imperialisme barat. Jadi Sumpah Pemuda lahir karena ingin menyatukan kembali daerah-daerah akibat imperialisme Belanda. Perjuangan yang tidak mudah menyadarkan kembali masyarakat yang sudah terbentuk kekuasaan-kekuasan secara mandiri dalam wujud kerajaan-kerajaan. Bagaimanapun, para raja dan para penguasa mempunyai otoritas tunggal untuk mengatur daerah-daerah nya sendiri dan mendapatkan kemakmuran melalui kunci-kunci kekuasaan. Namun kemakmuran dan kewenangan nya diamputasi oleh Belanda. Kemerdekaan dan kemandirian sebagai seorang Penguasa hilang dan hanya sebatas simbol belaka, dan pemegang kekuasaan yang sebenarnya adalah para Penjajah Belanda. Melalui Undang-Undang nya, belanda membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan nya dan merugikan para penguasa kerajaan. Bahkan dengan politik devide et impera, keluarga kerajaan pun saling serang dan perang saudara.
Lambat laun Sumpah Pemuda telah memberikan kesadaran alam bawah sadar masyarakat Indonesia. Berkat pendidikan yang diperoleh dari Barat, sisi positifnya membuka jalan pikiran kolektif bahwa kemerdekaan merupakan suatu harta yang sangat berharga. Darinya manusia bisa beribadah, bekerja, belajar, dan memperbaiki ekonomi serta melalukan aktivitas lainya secara damai dan terbebas dari rasa takut. Bagaimanapun, kekuasaan dan harta kekayaan menjadi tidak berharga ketika pada diri nya tidak ada kemerdekaan. Laksana sebuah Kendaraan mahal di rumahnya, tetapi tidak ada bensinnya.
Buah Sumpah Pemuda adalah nasionalisme. Hasilnya yaitu kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namun ironis, nasionalisme yang kini oleh sebagian kecil kelompok islam dianggap sebagai perbuatan toghut. Mereka mengacu kepada kalimat “umatan wahidah” sering dikonstruksikan sebagai kesamaan tujuan politik; terbentuknya Negara Dunia dalam kekhilafan Islam. Lebih aneh lagi, para tokoh yang telah melahirkan NKRI mendapat label baru yang tidak ada sama sekali dalam konsep islam seperti Liberal, PKI, kafir dan sejenisnya. Kelompok anti “Cinta Tanah Air” telah melupakan ayat tentang kodrat manusia yang berbeda-beda suku, bangsa dan budaya yang mempunyai tujuan sangat indah yaitu “lita’arafu” atau melakukan kajian secara mendalam untuk mengambil sisi positifnya. Namun karena sudah terkoptasi pada kekuasaan dan kekayaan semata. Fakta-fakta ini pun telah terdokumentasi dengan baik, bagaimana sesama Sahabat Nabi, para Tabi’in,Tabi’in-Tabi’in yang terlibat pada aktivitas politik kadang dengan mudah melakukan diskriminasi dan pengolok-olokan yang tidak pantas terhadap sesama umat Islam.
Alhasil, jika Sumpah-Pemuda yang dilakukan oleh para pemuda lintas suku,budaya dan agama untuk lahirnya sebuah Negara yang merdeka dan berdaulat, maka tugas pemuda saat ini menjaga keutuhan dan mengisi nya dengan cara berfikir kosmopolitan, yaitu menguasai dunia dalam segala aspek kehidupan dengan tetap berpijak pada jati diri Indonesia. Hari ini memang Negara seperti sudah kehilangan batas-batas teroterial. Dunia sudah seperti little Village atau Desa kecil yang semua bisa mengenal satu dengan lainya. Orang-orang yang menguasai dunia maya atau saint dan teknologi akan menjadi Khalifah dan mengatur manusia dengan kekuatannya. Semua akan tergantung padanya.
Sayangnya bangsa Indonesia, terutama sebagian generasi muda ingin menjadi Khalifah dengan segala keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka sedang bermimpi saat kehidupan pada masa Nabi, dan para sahabat yang agung. Padahal, mereka juga mengetahui bahwa Islam hampir terpecah belah ketika terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah. Umar bin Khatab,Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib meninggal karena perebutan kekuasan. Namun mereka pun tidak bisa menerima fakta ini. Dengan keterbatasan pemahaman agama, mereka pun menyerang produk-produk barat yang dianggap kafir dan mengajak untuk meninggalkan produk barat dan pada saat yang sama mereka pun sedang menikmati produk barat.
Jadi, Sumpah Pemuda mendapatkan tantangan dari pemuda itu sendiri saat sekarang ini. Tidak ada kemiskinan dan keterpurukan di sebuah Negara ketika pemudanya sudah mempunyai cara pandang “think globaly act localy” untuk merealisasikan nilai-nilai keagungan pada diri para pemuda. Cara berfikir seperti ini hanya didapat oleh para pemuda yang progresif dan bisa beradaptasi dalam situasi apapun sembari terus melakukan inovasi-inovasi perubahan dengan membekali diri dengan ilmu pengetahuan, skill, dan tidak lupa moralitas yang agung.