Pemikiran Politik Integralistik

Bagikan :

Dalam sejarah peradaban manusia, persoalan politik sering beriringan dengan persoalan agama. Pada masa sebelum masehi, para penguasa negara dalam bentuk Imperium kekuasaan selalu membawa misi agama yang dianutnya. Sehingga klaim bahwa agama dan negara menjadi satu kesatuan pun semakin memkristal sebagai baying-bayang Tuhan di muka bumi.

Kedudukan penguasa sebagai bayang-bayang di muka bumi menjadikan diri nya mempunyai kewenangan mutlak untuk mengatur kekuasaanya berdasarkan hukum yang dibuat oleh para penguasa waktu itu. Mereka mencoba menterjemahkan firman-firman Allah dalam bentuk aturan-aturan dalam berbagai persoalan agama dan dunia sehingga terjadi keselarasan hidup di dunia dan juga kebenaran dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhan.

Tentu saja, penterjemahan suatu kebijakan para Raja atau Penguasa yang mentasbihkan diri sebagai perpanjangan tangan wakil Tuhan di bumi bersifat relatif dan terbatas. Bisa jadi ada berbagai kebijakan yang tidak bisa diharapkan oleh masyarakat karena kondisi mereka yang berbeda, atau juga karena memang tidak sesuai dengan kehendak mereka. Namun masyarakat tidak bisa mengkritik kecuali harus taat dan patuh kepada pemimpin. Sebab kepatuhan mereka kepada pemimpin bagian dari kepatuhan terhadap Tuhan yang telah mempercayakan kekuasaan di dunia ini melalui manusia-manusia pilihan.

Model politik demikian sering disebut dengan pemikiran politik integralistik, yaitu suatu pemikiran politik yang menganggap antara agama dan politik menjadi satu-kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Berbicara agama juga pada saat yang sama berbicara politik. Berbicara politik pada saat yang sama juga sedang membicarakan agama. Memisahkan keduanya, berarti telah mengamputasi kewenangan agama dalam mengurus persoalan politik.  Dari sini kemudian lahir pendapat bahwa agama dan politik menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Politik bagian dari ibadah sebagaimana ibadah-ibadah lain yang harus dikerjakan. politik menjadi bagian simbol kesempurnaan agama sebagai bentuk refleksi kesempurnaan ajaran dalam kehidupan bermasyarakat. Ini gambaran sederhana tentang pemikiran politik integralistik.

Tentu saja teori ini merujuk kepada realita sejarah baik yang tercantum dalam al-Qur’an ataupun dalam sejarah politik Islam. dalam al-Qur’an ada kisah Kepala Negara yang sekaligus menjadi nabi dan rasul yaitu nabi daud dan nabi sulaiman. Dalam sejarah Islam tentu saja Nabi Muhammad saw yang pada dirinya seorang Nabi dan Rasul sekaligus sebagai kepala negara pada masa kekuasaan Arab di jazirah Arab. Lalu kekuasaan ini dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in dan juga para penguasa yang silih berganti dari berbagai dinasti dan aliran mazhab yang beragam seperti aliran Sunni, Syiah, dan Mu’tazilah.

Karena agama dan politik menyatu, maka ketika membicarakan politik bisa dilakukan pada semua sarana media yang ada baik yang bersifat ritual maupun yang bersifat umum. Hal-hal yang bersifat ritual seperti menjadi khatib, pengajian-pengajian, dan pendidikan-pendidikan menjadi sarana untuk menyampaikan pesan-pesan politik dalam rangkaian kegiatan-kegiatan tersebut dengan balutan dalil al-Qur’an dan al-Hadist atau juga pendapat-pendapat para ulama.

Persoalan ini terjadi adalah ketika sarana-sarana tersebut dijadikan ajang politik, maka bisa jadi menimbulkan persoalan baru berupa gesekan-gesekan kepentingan dari berbagai persoalan antara senang dan tidak senang. Merujuk pada masa lalu, ketika kekhilafahan masih berdiri, para penguasa seperti Utsman bin Affan di caci maki saat menjadi khatib ketika sholat jum’at. Begitu juga Ali bin Abi Thalib pernah juga dicaci maki saat menjadi khatib oleh kelompok-kelompok yang merasa terpinggirkan dalam kekuasaan. Mereka menuntut suatu keadilan politik saat khutbah sholat jum’at sedang berlangsung.

Perkembangan selanjutnya saat Islam semakin luas dan pandangan politik semakin beragam, maka sistem integralistik menjadi sistem yang tertutup dari kontrol politik oposisi. Slogan sebagai wakil Tuhan di bumi kemudian bergeser menjadi kekuasaan politik atas nama agama dan kelompok. Hal ini semakin terlihat saat dinasti muawiyah berkuasa, maka semua pintu-pintu kekuasaan dari kelompok bani abas dan kelompok dari keluarga besar Ali bin Abi Thalib ditutup rapat-rapat. Bahkan karena ketakutan kekuatan oposisi, keluarga besar Ali bin Abi Thalib dihabisi secara massif. Pada saat kekuasaan dinasti umayah di pegang oleh yazid, keturunan Ali bin Abi Thalib dibunuh secara kejam. Husein dan keluarga serta para pengikutnya berjumlah secara total 72 orang dibunuh secara sadis. Ketakutan Yazid atas pengaruh Husein di masyarakat menyebabkan dendam politik tidak pernah berakhir.

Fakta-fakta sistem politik integralistik tersebut kemudian mengalami perkembangan. Beberapa ilmuwan terus merumuskan system tersebut sebagai pilihan politik. Sistem khilafah yang tradisional tersebut perlu ada perbaikan-perbaikan system khilafah dengan berbagai pendekatan dan pemikiran yang beragam, maka lahirlah berbagai sistem khilafah yang beragam yang ditawarkan oleh para ilmuwan seperti : Al-Ghozali, Al-Mawardi, Sayid Qutb, Hasan Al-Bana, Al-Maududi, dan Ayatollah Khumeini.

Dari sekian pemikiran politik integralistik yang bias diterapkan saat ini baru format khilafah model Imam Khumaini dengan sistem wilayah al-faqih. Dia mengadopsi sistem politik tersebut dengan sistem modern, yaitu sistem demokrasi. Secara politik, sistem Imamah (system khilafah yang digunakan oleh Syiah) tetap mengacu bahwa Negara dan agama adalah satu kesatuan. Menjadi kepala Negara bukan sebatas mencari keuntungan duniawi, tapi sebenarnya menjadi juru damai dan menyelematkan umat sebagaimana tugas yang diamanahkan dalam firman Allah melalui para orang-orang suci atau maksum yang disebut imam dua belas.

Jadi baik sistem khilafah yang dianut oleh Sunni dan Imamah dianut oleh Syiah mempunyai kesamaan pandangan yaitu adanya kesatuan agama dan Negara. Sedangkan dalam prakteknya berbeda, jika Sunni tidak menganggap kepala Negara atau kholifah itu maksum, sedangkan  Imamah menganggap bahwa kepala Negara itu maksum. Perbedaan lain yaitu sistem khilafah masih menggunakan format-format ijma’ sahabat yang dianggap sebagai sistem terbaik, sedang sistem Imamah sudah mengadopsi sistem modern dengan tidak menghilangkan subtansi dari fungsi Negara yaitu menjaga agama dan kesejahteraan bangsa.


Bagikan :

Vijian Faiz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

Pemikiiran Politik Simbiotik

Thu Nov 12 , 2020
Bagikan :Jika pemikiran politik integralistik memandang bahwa Agama dan Negara menjadi satu kesatuan, maka pemikiran politik simbiotik sebaliknya, bahwa Negara dan Agama mempunyai wilayah yang berbeda. Agama berkaitan dengan firman Allah yang mengatur tentang ibadah dan berisi nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan bermasyarakat, sedangkan Negara mengatur wilayah yang bersifat operasional yang […]

Baca Juga