
Jika pemikiran politik integralistik memandang bahwa Agama dan Negara menjadi satu kesatuan, maka pemikiran politik simbiotik sebaliknya, bahwa Negara dan Agama mempunyai wilayah yang berbeda. Agama berkaitan dengan firman Allah yang mengatur tentang ibadah dan berisi nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan bermasyarakat, sedangkan Negara mengatur wilayah yang bersifat operasional yang membutuhkan perangkat regulasi yang beraneka ragam dalam menyelesaikan berbagai persoalan berbangsa dan bernegara.
Jika pemikiran politik integralistik mengklaim bahwa al-Qur’an telah menyiapkan perangkat politik yang sempurna hal ini berangkat dari firman Allah yang telah menyempurnakan agama islam, dan juga sabda nabi Muhammad bahwa Islam itu adalah agama yang paripurna. Pendapat ini dibantah oleh para ilmuwan penganut sistem simbiotik seperti Al-Ghazali, Al-Mawardi, Ibn Taimiyah, Husain Haikal, Fazrul Rahman, dan lain-lain. Menurut para ilmuwan ini benar bahwa Negara itu penting untuk menjaga agama, dan agama penting untuk menciptakan Negara yang mempunyai nilai-nilai agamis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka juga menyakini bahwa Imamah atau Khilafah mempunyai dua tugas, yaitu melanjutkan misi kenabian yaitu menyebarkan agama Islam di muka bumi dan menebarkan perdamaian, juga tugas selanjutkan dari kekhilafahan yaitu membangun peradaban bangsa. Secara tekstual sebenarnya kedua nya mempunyai tujuan yang sama. Tentu letak perbedaannya adalah pada wilayah perangkat sistem ketatanegaraan.
Kelompok integralistik mengklaim bahwa sistem politik yang diwariskan oleh para sahabat yang kemudian dikenal dengan istilah “ijma sahabat” sebagai sistem yang terbaik. Mereka juga mengklaim bahwa sistem Khilafah monarchie yang dilakukan oleh Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Fatimiyah sampai pada kekhilafahan Turki dianggap sebagai model terbaik sistem politik Islam. Sebab menurut mereka, kekuasaan politik Islam adalah kekuasaan system politik kekuasaan dunia atau Negara dunia, dimana hanya ada satu seorang khalifah yang menguasai seluruh daratan dunia. Itu sebabnya, sistem Nation State atau sistem Negara Bangsa yang dibatasi oleh geografis tertentu tidak dibenarkan oleh mereka. Begitu juga sistem kerajaan, presidensil atau istilah-istilah politik yang lahir setelah adanya modernisasi tidak dianggap sebagai sistem yang islami, melainkan sistem produk barat yang harus dihancurkan. Semua itu menurut mereka adalah produk haram, toghut dan tidak boleh diterapkan di Negara Islam. Karena itu, kelompok ini menginginkan sistem imperium atau kekhilafahan tunggal di dunia. Contoh kelompok ini seperti : ISIS, Al-Qaida, Boko Haram, dan HTI.
Pendapat ini ditentang oleh kelompok politik simbiotik. Menurutnya sistem politik apapun tidak menjadi persoalan. Sebab berdasarkan fakta sejarah, proses pemilihan pengganti nabi itu tidak ada Nash dari Al-Qur’an ataupun Hadist. Hal ini terbukti adanya ketegangan politik pada saat pemilihan pengganti Nabi. Ada beberapa kelompok yang mengajukan pengganti baik dari kelompok Ansor, Muhajirin, ataupun dari kelompok Ali bin Abi Thalib, serta para sahabat-sahabat lain yang dianggap layak untuk menjadi pengganti Nabi. Begitu juga berdasarkan fakta sejarah, bahwa proses pemilihan khalifah itu pun beragam. Proses pemilihan Abu Bakar berbeda dengan proses pemilihan Umar bin Khatab yang hanya dipilih satu orang, Ustman beberapa orang sebagaimana Abu Bakar, dan Ali malah di baiat oleh masyarakat banyak di wilayah tertentu, tapi wilayah lain tidak membaiat Ali. Proses pemilihan kepala Negara atau khalifah semakin berbeda ketika sistem ini masuk pada system dinasti baik pada masa Dinasti Umayyah, Abasiyyah dan dinasti-dinasti lainnya.
Itu sebabnya ilmuwan seperti Al-Mawardi dalam kitab Ahkam Al-Sulthaniyah menjelaskan keberagaman sistem pemilihan kepala Negara juga beragam, hal ini karena keberagaman system pada masa lalu dan tidak ada regulasi yang baku secara tertulis. Dari sini semakin jelas sistem tersebut bukan berasal dari Nash Al-Qur’an dan juga hadist, tapi sebatas ijma sahabat yang memang masih dalam trial and error atau masih uji coba dan belum tertata secara rapi system politik pada awal pemerintahan islam.
Maka Ibn Taimiyah berpendapat bahwa islam itu tidak mengenal sistem politik. Al-Qur’an dan Hadist tidak menjelaskan system politik tertentu yang tertulis. Yang ada adalah pesan-pesan nilai-nilai kebaikan yang multitafsir bukan hanya sebatas pada persoalan politik, tapi juga bisa pada persoalan-persoalan lainya. Bagi Ibn Taimiyah yang terpenting bukan casing bentuk Negara tetapi pada pelaksanaanya. Jika Negara tersebut bisa melaksanakan hukum-hukum Islam, maka walaupun bukan bentuk khilafah, Negara tersebut sudah bias disebut Negara Islam.