Imam Ghozali, Dosen STAIN Bengkalis
Rangkaian ibadah Umrah telah selesai. Rabu pagi sekitar jam 10.30 (14 Desember 2022) berangkat menuju Bandara Jedah. Saya lupa menghitung berapa menit perjalanan dari hotel Andalusia Mekah sampai Jedah. Mungkin karena keasikan melihat kota Jedah yang bersih dan megah, selain kota Makah dan Madinah. Sungguh sangat menakjubkan, daerah pegunungan yang gersang dan tandus berubah menjadi kota yang sangat megah dan mewah.
Di balik kemegahan bangunan dan Hotel yang menjulang tinggi, sepanjang perjalanan dari Madinah menuju Mekah, atau dari Mekah menuju Jedah tidak ada perumahan penduduk. Sepanjang perjalanan terlihat hanya hamparan tandus dan pegunungan bebatuan Raksasa, warna coklat dan tidak ada tanamanya. seolah-olah pusat keramaian dan isi nya manusia hanya di sekitar Masjid Nabawi dan Masjid Haram. itupun karena sebagian besar bangsa dari berbagai negara yang melakukan ibadah Umrah. Saya bertanya-tanya dalam hati tentang keberadaan masyarakat Arab dan bagaimana kehidupannya, tidak bisa ditemukan sepanjang perjalanan. Ini berbeda di kota-kota besar pada umumnya, akan dengan mudah mengidentifikasi segala aktivitas masyarakat perkotaan.
Bangunan sangat megah, jalan raya dan jalan tol sangat kokoh dan halus, terowongan mina dan berbagai terowongan lain pun terlihat megah dan sangat terang. Namun saya sangat susah menemukan manusia, hanya ada gedung, jalan, jembatan dan tenda-tenda raksasa untuk kepentingan ibadah haji. Batin saya, ingin sekali melihat orang berjalan kaki, naik kendaraan roda dua atau Becak, sebagaimana yang sering ditermui di kota Meranti. Kota-kota itu benar-benar kota termegah yang sangat sepi di Dunia, dan juga sangat ramai di Dunia saat memasuki musim ibadah haji.
Sembari menuju Bandara, kami ngiras-ngirus mampir ke berbagai tempat antara lain; Museum Almudi, Minimarket Milik Orang-Orang Indonesia yang sudah lama menetap di Jedah, dan Makan Bakso Khas Indonesia. Belajar dari Musium Almudi, saya bisa melihat dan meraba-raba kehidupan masyarakat Arab masa lalu. Museum yang didesain model Rumah Orang Arab Tradisional, yaitu berupa tembok yang dilapisi Tanah Liat dan tidak beratap. Ketika saya membaca buku-buku tentang sejarah nabi, kalau dia berada di dalam rumah terlihat kepala nya dari luar rumah. ini berarti memang rumah nya hanya sebatas tembok pembatas segi empat tapi ukuran nya besar. Dari dalam di bagi beberapa ruangan untuk tempat tidur, dapur dan ruang tamu. Jadi memang tidak ada Meja atau Kursi. Tuan Rumah dan Tamu sama-sama duduk di Lantai yang beralasan permadani seperti Karpet yang ada di masjid-masjid Indonesia.
Di lokasi sekitar pertokoan yang banyak orang Indonesia, saya baru melihat mobilitas kehidupan masyarakat yang heterogen. Sudah kontras, tidak lagi seperti di Madinah dan Mekah yang mayoritas memakai baju khas Arab, yaitu Jubah. Di tempat ini seperti di Jakarta atau kota-kota lainya. Pakaianya beragam. Para wanitanya pun banyak yang tidak memakai Jilbab dan bercelana panjang. Bahasa yang dipakai bahasa Indonesia, terutama mereka yang berasal dari Indonesia. Saya bertanya perempuan bercadar jualan makanan juga dari Indonesia.
Tentu cadar di sini sebatas sebuah budaya, sebagaimana saya lihat di kota Mekah dan Madinah. Begitu juga lelaki nya memakai jubah. Ada jamaah Umrah yang lugu membisikan kepada ku dengan penuh kekaguman terhadap orang Arab, dan berkata:
“ Saya salut sama para ulama disini, mereka mau bekerja keras dengan jadi porter membawa koper jamaah Umrah dari meranti”.
Saya tersenyum mendengarnya. Dia mengira orang yang memakai Jubah di Arab Saudi diidentikan dengan ulama, kiai atau ustadz kalau di Indonesia. Ma’lum lah, biasanya yang menggunakan jubah di Indonesia ( waktu dulu ) adalah para ulama yang mempunyai pesantren seperti Hadratusyeikh Hasyim Asy’ari, KHR. As’ad Syamsul Arifin dan sejenisnya. Sekarang pun, jubah di Indonesia masih menempati pakaian identitas seolah-olah untuk para Ulama, Ustadz minimal Imam Masjid. Sedangkan di Madinah atau Arab Saudi, para pekerja kasar pun memakai Jubah. Bahkan para Penjual gelap seperti baju-baju, serban dan sejenisnya juga memakai Jubah. Ketika ada polisi, mereka berlari kabur. Ini agak-agak mirip penggunaan kata ustadz. Jika di Mesir, jika sudah disebut ustadz berarti dia adalah seorang guru besar atau Professor. Di Indonesia guru MDA pun di sebut ustadz. Beda tempat, beda kualitas dan status sosialnya.
Sekitar jam 6 kami antri pengambilan Tiket Pesawat di Bandara Jedah. Antrian cukup lama. Mungkin karena berkah memakai Peci Gus Dur atau semrawut karena banyak jamaah umrah, saya malah lebih awal mendapatkan tiket. Namun sayangnya, Pesawat delay cukup lama. Kami harus menunggu. Ruangan tunggu terasa dingin dan terlalu bagi ukuran masyarakat Meranti. Saya sendiri yang secara fisik masih sehat wal afiat pun terasa sekali dinginya, apalagi jamaah yang sedang demam tentu kondisi seperti ini sangat menyiksa sekali. Tapi memang harus dijalani, semua sibuk menghilangkan rasa dingin dengan cara menutup kepala dengan Serban. Saya tengok ada dengan menggunakan Kaos dalam, di masukan ke dalam kepala, dan bagian terbuka diletakan di wajah. Ada juga yang mengeluarkan Kain Ihram, dibelebet di kepala dan leher. Namun udara dingin tetap masuk ke dalam tubuh.
Sekitar jam 11 malam waktu Jedah, kami pun terbang menuju Bandara Kualanamu Medan. Waktu ditempuh sekitar 8 jam. Sekitar jam 12.15 sudah sampai Medan. Alhamdulillah, sudah kembali ke tanah air dengan selamat. Banyak cerita suka dan dukanya. Namun saya sendiri merasa banyak suka nya. semoga Allah memberikan kesempatan untuk bisa ziarah lagi ke Makah dan Madinah.
Masih terlihat dengan jelas dalam benaku, ramainya para jamaah dari berbagai Negara, dan indah nya saat jam tiga malam pergi sholat tahajud di dekat Ka’bah. Namun keasikan saya membayangkan keindahan Ka’bah menjadi buyar karena gurauan beberapa jamaah Umrah yang keluar dari Pesawat dengan mengikuti dialek Askar Baitullah menjadi terdengar lucu, seperti kalimat-kalimat berikut :
“ hajjah, haram-haram”, ya haj, tawaf-tawaf..”
“Orang Indonesia istri cuma satu, bahil.”