NU Dan Sejarah Komite Hijaz Yang Terlupakan

Bagikan :

Sejarah lahirnya Nahdlatul Ulama (NU) tidak bisa dilepaskan dari peristiwa yang disebut Komite Hijaz. Peristiwa ini sangat penting untuk melihat historis yang tidak boleh dilupakan oleh generasi muda NU, bahwa NU lahir dari tekanan politik modernis  berasal dari gerakan Wahabi di Arab Saudi oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1707-1787). Gerakan Wahabi mempunyai prinsip memurnikan ajaran Islam. Gerakan ini menentang ajaran-ajaran Mazhab tertentu yang dianggap sebagai bid’ah, yang  dianggap tidak relevan atau bahkan tidak diajarkan dalam al-Qur’an dan Sunnah.

Kemenangan kaum Wahabi di Arab Saudi memberi semangat baru kaum Modernis di Indonesia. Sebelumnya kaum modernis sama-sama dalam satu wadah dalam kebersamaan semangat islamiyah, berubah menjadi permusuhan yang terus berlanjut. Kaum modernis dulunya semangat membangun peradaban baru kemudian terjebak menjadi gerakan yang sangat puritan. Polanya sama dengan wahabi di Arab Saudi, yaitu membid’ahkan dan tidak mengakui madzhab empat sebagai rujukan dalam melaksanakan ibadah dan Muamalah. Alhasil, Islam yang sebelumnya dibangun atas dasar kebersamaan, berubah menjadi saling menjatuhkan dan saling menyalahkan.

Pada 27 Agustus 1925 dilaksanakan Kongres Al-Islam. K.H. Abdul Wahab Hasbullah atas nama perwakilan para ulama mengusulkan agar umat Islam di Indonesia diberi kebebasan untuk melaksanakan ajaran Islam yang mengikuti salah satu madzhab empat. Usulan tersebut ditolak oleh kaum modernis seperti MAS Mansur, HOS Cokroaminoto dan Wondoamiseno. Dari fakta tersebut, kelompok modernis sangat jelas tidak mengakomodir kelompok para ulama madzhab. Sebuah keputusan yang telah menyisakan perselisihan umat Islam sampai sekarang.

K.H. Hasyim Asy’ari, mengusulkan kepada para ulama untuk membentuk Komite Hijaz. Usulan ini mendapatkan dukungan para ulama dari Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem, Pati bahkan dari Madura. Pertemuan pembentukan Komite Hijaz di Kertopaten, Surabaya di kediaman K.H. Abdul Wahab Hasbullah pada 31 Januari 1926. Komite ini terdiri dari dari beberapa nama yaitu: H. Hasan Dipo (Ketua), H. Syaleh Syamil (Wakil Ketua), Moh.Shodiq (Sekretaris) dibantu oleh KH. Abdul Halim, sedangkan KH. Wahab Hasbullah sendiri dipilih sebagai penasehat dibantu KH. Masyhuri dan K.Khalil (Lasem). Komite ini kemudian mengirim utusan ke Hijaz untuk menemui Raja Saud terdiri dari KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Syaikh Ahmad Ghana’im al-Mishry. Tanggal pertemuan tersebut kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya NU.

Jika merujuk sejarah, keberadaan NU sebenarnya sudah ada sebelum NU secara organisasi lahir. Jauh sejak zaman penjajahan Belanda, cikal bakal NU sudah berkembang dengan pesat. Saat penjajah belanda sangat masif melakukan kristenisasi, maka ulama NU melakukan islamissasi di pelosok-pelosok Nusantara. Pesantren dan Majelis Ta’lim berkembang pesat pada akhir abad ke-19. Beberapa Pesantren yang terkenal antara lain: Pesantren Tebuireng Jawa Timur, Pesantren Bangkalan Madura, Pesantren Al-Falak Bogor, Pesantren Manbaul Ma’arif Jombang, Pesantren Salafiah Sukorejo Asembagus Situbondo, Pesantren Al-Falah, Pesantren Lirboyo, Pesantren Darussalam Banyuwangi, Jatim, Pesantren Krapyak, Pesantren Lasem, dan lain-lain. dari Pesantren-Pesantren ini pun melahirkan pesantren-pesantren di seluruh Nusantara yang berjumlah ribuan Pesantren.

Dari paparan tersebut semakin jelas bahwa fakta sejarah para ulama yang berada dalam naungan nu telah memberi konstribusi yang sangat besar dalam melakukan islamisasi masyarakat Islam yang beragam suku, agama dan budaya. Karakter ulama yang fleksibel dalam berdakwah dan menerima suatu budaya masyarakat menyebabkan organisasi ini menjadi tempat nyaman untuk bisa berdiskusi dalam masalah kehidupan sehari-hari. Sebagai ajaran Islam yang lembut dan tidak gampang menyalahkan kepada agama yang berbeda dan budaya yang berkembang di masyarakat menyebabkan masyarakat yang lintas suku, agama dan budaya pun menaruh simpati kepada NU. Akhirnya, dengan kesadaran diri mereka pun masuk Islam, dan kemudian hari Islam menjadi agama terbesar di Indonesia.

Catatan sejarah telah terukir dengan jelas. Siapapun sangat sulit untuk menghilangkan jasa para ulama NU yang telah berhasil mengislamkan masyarakat Nusantara yang sebelumnya mayoritas beragam Buda dan Hindu. Mungkin sebagian orang atau ustadz dadakan yang minim sejarah menganggap perjuangan ulama tidak ada. Bahkan mereka pun tidak percaya adanya ulama yang disebut Wali Songo. Bisa jadi Perguruan-Perguruan Tinggi Islam seperti UIN Sunan Kalijaga Jogyakarta, UIN Walisongo Semarang, UIN Sunan Gunung Jati Bandung, dan nama-nama Walisongo yang menjadi nama Perguruan Tinggi dianggap sebagai nama khayalan yang merupakan kreasi baru atau bid’ah yang semua masuk ke dalam Neraka. Padahal, saksi hidup keturunan dari Walisanga yang telah mendirikan pesantren-pesantren di Indonesia masih hidup dan masih terjaga garis keturunan mereka baik secara tertulis maupun secara tidak tertulis. Tapi sayangnya, para ustadz dadakan malas untuk bertanya langsung, dan mengambil jalan pintas untuk menyebarkan kebohongan kepada jama’ahnya bahwa Walisongo tidak ada. Sungguh ustadz dan jamaahnya telah bersekongkol dan kedustaan. Sebuah kedustaan agama dan sejarah berbalut Baju Koko, dan Jubah, Jenggot dan Celana Cingkrang ( walaupun yang model demikian tidak semua berperilaku demikian, tapi gejala itu lahir dari kelompok model demikian).

Sebagai penutup, NU telah berusia satu abad. Saya jadi ingat dulu ketika NU lahir untuk menebarkan kedamaian. Kini muncul kembali kelompok yang ada pada seratus tahun lalu. Kini saatnya, kita berjuang dan berjihad untuk menyelamatkan bangsa dari perpecahan ini. Sebab perpecahan Islam zaman dulu terjadi bukan karena perbedaan madzhab, tapi karena tidak menerima madzhab dan suka menyalahkan ulama madzhab. Jihad melawan mereka adalah jihad menyelamatkan umat Islam, bangsa, negara dan agama.

Kamis, 18 Juni 2020

Vijian Faiz


Bagikan :

Vijian Faiz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

Turki Mulai Kecanduan Yuan Cina

Tue Jun 23 , 2020
Bagikan :Presiden Erdogan sempat trending di perpolitikan Indonesia. Dia lebih terkenal daripada para politisi nasional. Bahkan calon presiden yang ada pada 2019 yang lalu ( Jokowi-Prabowo) belum selevel Erdogan dalam hal kematangan berpolitik dalam memperjuangkan Islam, dan juga kebersihan dalam menjalankan pemerintahannya. Pendek kata, ingin melihat sosok pemimpin umat Islam […]

Baca Juga