NU dan HTI Berbicara Khilafah

Bagikan :

Persoalan sistem kenegaraan selalu menjadi isu sensitif dari waktu ke waktu di bumi Indonesia. Pengalaman sejarah masa lalu telah membentuk keberagaman corak berfikir para pendiri bangsa dalam menentukan suatu bentuk Negara. Hasil kompromi para pendiri bangsa, lahirlah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ideologi Negara dan bangsa, yaitu Pancasila.

Berdirinya nkri sebagai sebuah pilihan bentuk Negara yang demokratis dengan Ideologi Pancasila ternyata tidak serta merta seluruh masyarakat Islam di Indonesia menerimanya. Setelah proklamasi kemerdekaan tahun 1945, muncul gerakan politik Islam di berbagai daerah ingin mendirikan Negara Islam. Pada 7 Agustus 1949 di Desa Cisampang, Tasikmalaya Jawa Barat, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo bercita-cita menjadikan nkri menjadi Negara Islam. Menurutnya hukum berlaku adalah hokum islam dengan hukum tertinggi al-qur’an dan al-hadist. Gerakan ini sering disebut dengan gerakan Negara Islam Indonesia atau NII yang lebih dikenal dengan Darul Islam atau DI. Ide Kartosuwiryo mendapatkan sambutan dari berbai daerah. Daud Beureueh dari Aceh melakukan pemberontakan pada 20 September 1953. Di Kalimantan ada Ibn Hajar melakukan pemberontakan pada tahun 1950. Di Jawa Tengah ada Amir Fatah yang setia pada NKRI kemudian bergabung ke DI/TII. Dan di Sulawesi Selatan Ada Kahar Muzakar menyatakan bagian dari di/TII dengan mengubah pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia pada tanggal 7 Agustus 1953.

Pada masa pemerintah Orde Baru yang dipimpin oleh soeharto, kelompok ini tiarap. Namun cita-cita mereka tetap terus bersarang di dada nya. Anak-anaknya dan cucu-cucu pendiri dari di/tii terus melakukan politik gerakan bawah tanah. Mereka masuk dalam system pemerintahan sebagai pegawai, dosen, ASN dan pengusaha. Mereka juga melakukan kaderisasi melalui berbagai kegiatan kampus, dan juga menerbitkan berbagai media massa dan media cetak dalam bentuk buku, brosur dan bulletin. Kaderisasi militant ini sebagai persiapan menunggu moment yang tepat untuk melakukan aksi kegiatan politiknya.

Ketika era reformasi pada tahun 1998, dan dibuka kran kebebasan mendirikan partai politik dan organisasi keagamaan, kelompok pejuang Negara islam pun muncul bertaburan, bak jamur tumbuh di musim penghujan. Kaderisasi yang militansi dan telah menyebar ke berbagai lini telah mempermudah melakukan perekrutan anggota baik melalui organisasi keagamaan maupun melalui jalur politik. Melalui jalur ormas Lahir Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Jemaah Islamiah (JI) Lascar Jihad, Laksar Jundulloh, MMI dan organisasi sejenisnya. Mereka mempunyai visi sama dengan cara yang berbeda-beda. Ada melalui gerakan radikal dengan melakukan gerakan frontal seperti meledakan bom bunuh diri seperti peristiwa bom jakarta pada tahun 2000 dan bom bali pada 2002, ada yang melalui demonstrasi atas nama amar ma’ruf nahi mungkar, ada yang melalui pertarungan pemikiran, da nada yang melalui parlemen dan pemerintahan. Keterbukaan yang tanpa batas ini telah menjadi kelompok ini leluasa masuk dan mempengaruhi pola pikir terutama dalam kaitannya dengan konsep Negara Islam. Gerakan-gerakan kekerasan ini ada yang ditangani oleh pemerintah waktu itu dan ada yang belum. Dari setiap kurun waktu pergantian kekuasaan, mereka selalu melakukan gerakan dengan pola yang beragam.

 HTI DAN KEMARAHAN POLITIKNYA

Gerakan politik atas nama agama yang paling getol dan sudah masuk ke sistem seperti aliran darah dalam tubuh manusia, yaitu HTI sebagai gerakan politik bawah tanah. Gerakan ini sangat mengancam eksistensi NKRI. Keberhasilan mendapat simpati sebagian umat Islam yang dibangun pada media social semakin mendapat hati di tengah-tengah masyarakat muslim yang minim pemahaman agamanya dan semangat tinggi untuk menegakan syariat Islam. Jika ini dibiarkan, maka bisa menimbulkan perpecahan anak bangsa terhadap eksistensi Negara tersebut. Puncaknya bisa terjadi perang saudara atas nama agama. Sebuah gerakan politik identitas yang sangat membahayakan. Karena itu pada tanggal 19 juli 2017 pemerintah Indonesia melalui kementrian hukum dan ham secara resmi mencabut status badan hukum ormas HTI berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017.

Pencabutan ini mendapat kemarahan luarbiasa. Hti sebagai gerakan politik terus melakukan isu-isu keagamaan dengan menggiring opini bahwa pemerintah Jokowi telah melakukan kriminalisasi ulama dan menista agama islam. Penggiringan opini ini pun tidak hanya dituduhkan ke pemerintah Jokowi-JK, tapi juga dituduhkan kepada ormas nahdlatul ulama dan banom nya yang dianggap sebagai organisasi yang merusak Islam dengan konsep “Islam Nusantara”. Lebih mendapat moment lagi, saat terjadi pembakaran bendera HTI ( diklaim sebagai bendera Tauhid) di Garut oleh anggota Banser menambah lengkap kebencian hti dan emosional sebagian masyarakat muslim melihat video dan narasi yang diproduksi oleh kelompok hti secara massif.

NU DAN KESABARAN BERPOLITIKNYA

Sejak Indonesia berdiri, NU selalu konsisten dengan NKRI dan ideologi Pancasila. Sikapnya semakin jelas pada Mukhtamar NU tahun 1984 penerimaan terhadap azas tunggal Negara. Sikap NU tidak lepas dari pemikiran Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari yang telah memberikan fatwa wajib jihad dalam membela tanah air pada tanggal 22 Oktober 1945. Fatwa ini sebagai dasar bahwa mencintai tanah air sebagian dari iman. Sikap yang kemudian diikuti sebagai panduan warga nahdiyin bahwa mempertahankan Negara dengan segala bentuk dan kesepakatan para pendiri bangsa merupakan suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Pandangan NU tentu saja berdasarkan realita sejarah bahwa NKRI merupakan buah perjuangan bersama seluruh komponen bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, etnis, budaya dan agama. Sikap menang sendiri suatu kelompok tertentu baik atas nama suku atau agama tidak dibenarkan dalam konstitusi. Semua mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menjaga dan membangun suatu tatanan kehidupan yang lebih maju, modern dan peradab. Semua bisa berjalan jika seluruh komponen masyarakat tidak ada diskriminasi baik diskriminasi kelompok mayoritas maupun minoritas.

KHILAFAH HTI DAN NU

Setelah dibekukan ormas hti, semangat untuk menegakan Khilafah Islamiyah di bumi pertiwi tidak pernah luntur. HTIyang mempunyai arti “politik pembebasan Indonesia” selalu melakukan propaganda politik Islam dengan cita-cita mendirikan Negara Islam dunia. Hti merupakan penjabaran hizbut tahrir yang lahir di al-quds palestina pada tahun 1953. Pendirinya yaitu taqiy al-din al-nabhani. Proses perkembangannya, konsep HT mendapat penolakan di dalam negeri, dan juga saat sekarang ini mendapatkan penolakan di seluruh Negara-negara Islam dunia. Penolakan ini disebabkan hti menganggap sistem pemerintahan Monarchi, Republic, Demokrasi, Kaisar dan sejenisnya adalah produk kufur yang tidak sesuai dengan sistem Islam. Menurutnya sistem politik Islam satu-satunya yang harus ditegakan di dunia. Karenanya, HT atau HTI tidak mengakui adanya kerajaan Arab Saudi, dan Negara-negara Islam di dunia saat ini yang tidak menggunakan sistem khilafah (suatu pemahaman sempit tentang khilafah). Hingga kini, mereka pun belum punya Negara mulai dari organisasi politik ini berdiri tahun 1953 silam. Kelompok ini selalu dimanfaatkan oleh kepentingan politik praktis baik saat pilpres atau pilkada untuk memenangkan calon tertentu dengan isu-isu agama menjadi jargon kampanyennya.

Ini berbeda dengan sistem khilafah model NU. Bagi NU melihat khilafah bukan pada pemaknaan semata dari sebuah pemerintahan, tetapi pada fungsinya. Jika sebuah Negara ada kepala negaranya, maka itu bagian dari khilafah dengan sistem yang berbeda dari pendahulunya. Perkembangan zaman selalu terbuka ada perbaikan sistem politik semakin baik, terorganisir dan terbuka. Yang terpenting ketika seorang kepala Negara bisa melayani kebutuhan ibadah maka sistem tersebut sudah khilafah ( Indonesia telah memenuhi seluruh kebutuhan ibadah dalam rukun Islam seperti sahadar, sholat, zakat, puasa dan haji semua diserahkan ke umat Islam, dan pemerintah pun ikut mengatur administrasinya).

Selain itu NU  juga menerapkan sistem khilafah dunia. Bukan pada politik praktis, tapi pada tataran politik ke-islam-an yang rahmatal lil alamin. NU selalu memberikan pembelajaran terhadap masyarakat dunia bahwa islam itu damai dan selalu mengajarkan kedamaian kepada siapapun. Dan kini, nu sudah menjadi rujukan Negara-negara dunia. Kini sudah ada sekitar 194 cabang NU di 194 Negara. Tentu ini berbeda dari HTI yang seluruh dunia menolaknya.

Khilafah model NU telah menginspirasi Islam rahmatal lil alamin.


Bagikan :

Vijian Faiz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

PALESTINA KEMBALI MEMBARA

Wed Jun 23 , 2021
Bagikan :Imam Ghozali Pada masa pandemic Covid-19 benar-benar menjadi ujian berat bagi warga Palestina. Di bulan Ramadhan pada tahun 2021, saat umat Islam di belahan dunia lain seperti di Indonesia sedang melaksanakan ibadah puasa, membaca al-Qur’an, sholat taraweh, sholat witir dan sahur dengan tenang, umat Islam di Palestina justru mengalami […]

Baca Juga