Merawat Pancasila Melalui Perguruan Tinggi Dari Pengaruh Revivalisme Islam

Bagikan :

IMAM GHOZALI

Dosen Tetap Ahwalu Syahsiyah STAIN Bengkalis

e-mail: gaza_liem@yahoo.co.id

Abstract

Era reformasi pada tahun 1998 membawa dampak melemahnya nilai-nilai Pancasila di Perguruan Tinggi. Pintu reformasi telah membuka lebar masuk arus baru pemikiran revivalisme Islam. Paham ini masuk melalui partai politik dan organisasi keagamaan yang mempunyai tujuan menegakan syariat Islam dan Khilafah Islamiyah. Melalui jalur politik, dengan disahkan UU No 2 tahun 1999 tentang tidak ada pembatasan jumlah partai politik. melalui jalur organisasi seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Salafi, dan Ikhwanul Muslimin. Kedua jalur ini berkolaborasi melakukan pengkaderan sangat masif di berbagai Perguruan Tinggi sampai sekarang. Penyemaian dan penanaman fanatisme ideologi pun telah membuahkan hasil. Dengan didukung kecanggihan teknologi, mereka pun bisa menjangkau pendukung fanatik dari segala level pendidikan, dan profesi di luar perguruan tinggi. Gerakan ini tentu sangat membahayakan eksistensi ideologi Pancasila di Perguruan Tinggi. Sebagai sebuah pemikiran ideologi agama, memandang bahwa sistem ideologi, ketatangeraan dan hukum di Indonesia wujud dari sistem yang tidak sesuai dengan syariat agama Islam, dan merubah dengan cara ajaran Islam adalah suatu kewajiban. Atas dasar realitas sejarah tersebut, merawat eksistensi Pancasila di Perguruan Tinggi merupakan suatu kewajiban. Pertama, dengan memperbaiki Tridarma Perguruan Tinggi. Tridarma perguruan tinggi yang terdiri dari bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat perlu menjadi laboratorium nilai-nilai Pancasila. Kedua, menegakan peraturan atau hukum secara tegas berkaitan dengan organisasi yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kata Kunci : Pancasila, Revivalisme Islam, Tridarma Perguruan Tinggi, Hukum

  1. Pendahuluan  

Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia telah disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI.[1] Sebagai ideologi negara, pancasila merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang hidup di Masyarakat.  Nilai-nilai tersebut telah menjadi way of life masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Ia menjadi kausa material Pancasila[2] yang lahir dan wajah asli dari karakter bangsa Indonesia itu sendiri.

Ideologi Pancasila sebagai pijakan pembangunan bisa berjalan dengan baik apabila ditopang oleh kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Pendidikan berperan untuk mewujudkan SDM sebagai pilar penggerak pembangunan dalam segala aspek kehidupan, yang diambil dari  nilai-nilai dasar Pancasila,yaitu : ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.

Implementasi nilai-nilai dasar Pancasila tersebut sangat penting dalam membentuk karakter pendidikan di perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Sebagai laboratorium ideologi Pancasila, wadah pendidikan yang sangat efektif sebenarnya melalui perguruan tinggi. Hal ini tidak terlepas dari tiga fungsi atau Tridarma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. ketiga komponen tersebut diharapkan mampu melahirkan… iklim dialogis (musyawarah), egaliter (musawah), dan keadilah (‘adalah) antara dosen dan mahasiswa…dan mampu… dalam pengamalan dari prinsip ilmu-amaliah dan amal-ilmiah.[3]

Namun peran Tridarma Perguruan Tinggi belum maksimal. Penyebabnya jika merunut ke belakang akibat pengaruh dari reformasi tahun 1998. Krisis moneter yang kemudian merembet menjadi krisis multidimensional telah melahirkan ketidakpercayaan sebagian masyarakat terhadap Ideologi Pancasila. Penyimpangan tafsir ideologi tersebut terjadi pada saat Orde baru berkuasa, telah menimbulkan gelombang ketidakpuasan terhadap ideologi Pancasila. Kelompok masyarakat melampiaskan ketidakpuasan tersebut dengan mendirikan partai politik[4] yang berazaskan agama seperti : Partai Kristen Nasional Indonesia, Partai Umat Islam, Partai Syarikat Islam, Partai Katolik Demokrat, Partai Islam Demokrat,dan Partai Demokrasi Kasih Bangsa. Ada juga dengan gerakan keagamaan yang keagamaan yang berafiliasi dengan partai politik Islam dalam mencapai tujuan menerapkan syariat islam seperti FPI (Front Pembela Islam), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) Dan HTI (Hisbut Tahrir Indonesia). Gerakan politik dan orgamas keagamaan tersebut telah mempengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia, dan merambah masuk dunia kampus dengan sangat masif. Mereka menyebarkan paham keagamaan yang eklusif dan puritan dalam memahami kehidupan berbangsa dan bernegara. Potensi tersebut melahirkan bibit-bibit baru radikalisme di Kampus. Para Pengurus organisasi tersebut terdiri dari guru besar, dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Jika dilihat  secara Nasional, kepengurusannya lengkap dan menunjukan eksistensi-nya.[5]

Ada beberapa indikasi perilaku pengikut ideologi ini bisa dilihat antara lain: Pertama, mereka tidak menerima pemikiran yang dianggap oleh mereka bertentangan dengan syariat Islam. Tafsir suatu hukum dan segala permasalahan sesuai dengan kepentingan mereka, dan mudah menyalahkan ketika tidak sesuai dengan kepentingan mereka. Kedua, mudah memberi label kepada orang lain baik secara personal, kelompok atau suatu organisasi yang tidak sepaham dengan sebutan liberal, syiah dan komunis.[6] Tuduhan-tuduhan ini terkadang disertai intimidasi dalam bentuk ucapan atau kekerasan fisik.[7]

Indikasi-indikasi tersebut telah menurunkan tradisi diskusi ilmiah di Perguruan Tinggi. Mereka menutup diri terhadap forum ilmiah, dan melakukan kajian-kajian eklsufi dengan menyebarkan kajian tersebut secara provokatif di berbagai media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan sejenisnya. Artikel-artikel tersebut berisi tentang pemurnian ajaran Islam dan menghidupkan Khilafah Islamiyah sebagai cita-cita politiknya. Mereka juga tidak segan-segan menuduh bahwa konsep NKRI, Bineka Tunggal Ika, UUD 1945 dan Pancasila adalah sesat dan hukumnya haram mengikuti sistem tersebut.

Ada beberapa artikel yang telah membahas tentang Ideologi Pancasila. Ferry Anggriawan dalam artikel berjudul “Reformasi Domain Hukum Ideologi Pancasila, oleh Badan Pembina Ideologi Pancasila. Menurutnya  ada Peraturan Presiden No 7 tahun 2018 terjadi kekosongan hukum terkait subtansi pengaturan domain hukum akibat adanya BPIP yang diberikan kewenangan membina masyarakat terkait Ideologi Pancasila tidak diberikan landasan hukum dalam subtansi Ideologi yang akan disampaikan rerformulasi pengaturan subtansi, serta untuk menjamin kepastian hukum  atas domain hukumnya, disisi lain harus diterapkan sesuai dengan akar sejarah dan filosofis, dan hukum positif yang ada di Indonesia.[8] Totok Tolak menulis artikel “peneguhan masyarakat mulikultural Indonesia melalui aktualisasi pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan”. Menurutnya potensi konflik dalam masyarakat yang multikultural cukup besar, karena itu pendidikan yang mampu membangun karakter warga negara yang cinta damai mutlak diperlukan. Pendidikan menjadi jambatan penting untuk membentuk karakter masyarakt yang multikultural.[9] Hendri, Cecep Darmawan, Muhammad Halimi menulis Artikel Penanaman Nilai-Nilai Pancasila pada Kehidupan Santri di Pondok Pesantren. Hasil penelitianya, bahwa  Generasi bangsa harus mengimplementasikan nilai-ilai Pancasila sebagai pandangan hidup, hal tesebut dapat dilakukan melalui berbagai cara salah satunya yaitu dipesantren. Dalam hal ini, pesantren mampu membangun nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari.[10]

Penulis memfokuskan pada penelitian inflitrasi revivalisme islam terhadap ideologi pancasila di perguruan tinggi. Gerakan masif revivalisme islam setelah terjadi reformasi 1998 terus mengalami perkembangan, dan sudah mempengerahui sebagian dosen dan mahasiswa saat sekarang ini. Fakta ini tentu sangat membahayakan terhadap ideologi pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara. karena itu, penelitian ini menurut penulis sangat penting sekali untuk bisa memberikan konstribusi ilmiah

Gerakan revivalisme Islam tersebut sangat membahayakan masa depan Perguruan Tinggi. Sebagai suatu institusi intelektual, Perguruan Tinggi mempunyai peran menjadi laboratorium ideologi Pancasila.  Keanekaragaman budaya, etnis dan agama serta suku juga ada di di Perguruan Tinggi telah mencerminkan jati diri bangsa Indonesia yang berbeda-beda, tetapi tepat dalam naungan NKRI. Merawat ideologi Pancasila sebagai payung dalam melindungi perbedaan adalah pilihan tepat. Pancasila bukan hanya sebuah slogan, tapi harus terpatri sebagai sumber kekuatan dalam menciptakan inspirasi dan dan mewujudkan asprisasi pembangunan. Atas dasar ini, Penulis membuat menulis karya tulisan ini dengan judul“Merawat Pancasila Melalui Perguruan Tinggi   dari Pengaruh Revivalisme Islam.

Metode dalam penulisan ini adalah menggunakan Library Research. Jenis metode ini merupakan satu jenis metode  kualitatif. Penelitian pustaka ini hanya menggunakan literature perpustakaan tanpa harus melakukan penelitian lapangan. Melalui metode ini nantinya studi pendahuluan akan terawab sekaliguas akan memberikan pemahaman yang lebih mendalam berkenaan dengan gejala-gejala baru yang muncul dan berkembang di tengah masyarakat. penelitian kepustakaan juga dapat dimaknai sebagai suatu bentuk kegiatan terencana berkaitan dengan metode dalam pengumpulan data dari perpustakaan dengan cara mencatata, membaca dan mengolah dari berbagai macam bahan penelitian. Penelitian ini bersumber dari data primer, sekunder, dan tertier.

  • Pembahasan
  • Revivalisme Islam dan implikasinya terhadap masa depan NKRI

Istilah revivalisme Islam menunjukan pada munculnya gerakan keagamaan bagi perorangan maupun kelompok.[11] Mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai islamiyyin atau asliyyin (orang Islam yang asli, otentik), mukminin atau mutadayyinin (orang beriman yang saleh). Mereka juga memakai kosa kata yang berkonotasi ajaran dan gerakan seperti al-ba’as al-islamy (kebangkitan kembali Islam), al-sahwah al-islamiyah (kebangkitan islam), ihya al-din (menghidupkan agama), dan al-usuliyyah al-islamiyah (fundamentalisme Islam).[12] Oliver Roy mengartikan gerakan Islam yang berorientasi pada pemberlakuan hukum Islam.[13] Al-Jabiri lebih khusus mengacu pada gerakan kelompok Islam ekstrem yang bertentangan dengan Islam moderat.[14] Begitu juga Al-Asymawi mengartikan suatu kelompok yang merebut kekuasaan dengan menggunakan isu-isu agama atau simbol-simbol agama.[15]

Dari beberapa definisi tersebut, revivalisme Islam bisa dipahami sebagai gerakan pemurnia ajaran Islam formalistik yang tertera dalam teks-teks Al-Qur’an dan Al-Hadist. Islam adalah agama sempurna. Di dalamnya telah mengatur segala kehidupan manusia, termasuk dalam hal politik . Sehingga kewajiban umat islam untuk kembali kepada kedua sumber hukum tanpa harus melakukan penafsiran ulang.

Prinsip-prinsip dasar revivalisme Islam sebagai berikut: pertama, din wa daulah. Islam merupakan sistem kehidupan yang total, yang secara universal dapat diterapkan pada semua keadaan, tempat dan waktu. Kedua, fondasi Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah nabi dan tradisi para sahabatnya. Umat Islam diperintahkan untuk kembali pada akar-akar Islam yang awal dan praktek-praktek nabi yang puritan. Ketiga, puritanisme dan keadilan sosial. Keempat, kedaulatan dan hukum Allah berdasarkan syariat. Tujuan umat Islam adalah menegakan kedaulatan Tuhan di muka Bumi. Kelimat, jihad sebagai pilar menuju nizam Islami.[16]

Revivalisme Islam tersebut menggambarkan cita-cita tatanan Islam dalam segala aspek kehidupan. Kebenaran ajaran Islam sudah self-proven, tidak perlu diberi penjelasan secara akal. Tuhan sebagai fungsi legislasi yaitu mengatur kehidupan manusia dan menjalankan secara kafah. Karenanya, tidak perlu mengadopsi sistem kehidupan, hukum dan politik dari sumber lain.[17]

Orientasi pemikiran revivalisme model seperti di atas tentu menutup suatu sistem ideologi lain sebagai bagian nilai-nilai kebaikan yang selaras dengan hakikat manusia. sistem ideologi seperti ini adalah bentuk ideologi tertutup yang hanya melihat kebenaran dari satu pihak, dan pihak lain salah. Bahkan ideologi Pancasila yang dibangun dari kesepakatan bersama dari keberagaman masyarakat dianggap bagian dari ideologi yang kufur dan haram dipraktekan Konsep nasionalisme dan demokrasi dianggap tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, baik langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar dan perinciannya, dalam sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya atau asas yang mendasarinya, serta berbagai ide dan peraturan yang dibawanya.[18] Kedua, nasionalisme dipandang bertentangan dengan konsep umat yang berdasarkan kesamaan agama (ukhuwah islamiyah), kedaulatan rakyat dinilai mengingkari kedaulatan Tuhan (hakimiyah lillah).[19]

Gerakan revivalisme Islam sangat bertentangan dengan ideologi Pancasila. Negara Indonesia yang mayoritas beragama Islam telah menerima ideologi Pancasila sebagai ideologi yang lahir dari intisari Islam. selain itu, prinsip dasar Pancasila yang terdiri dari ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan[20] merupakan wujud prinsip titik temu bangsa Indonesia yang beragam agama dan keyakinan.

Begitu juga sistem demokrasi sebagai pilihan adalah cermin dari kedaulatan rakyat yang tertera dalam UUD 1945 pasal 1 (2) berbunyi[21]: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Pasal 1 ayat (2) tersebut mempertegas bahwa sistem demokrasi merupakan pilihan para pendiri bangsa indonesia. Ia bukan sistem teokrasi, teo-demokrasi atau komunisme, tapi demokrasi yang selaras dengan nilai-nilai agama dan juga kesepakatan bersama seluruh masyarakat Indonesia yang heterogen.

Berkaitan dengan nasionalisme, UUD 1945 menyatakan “….kemerdekaan adalah hak segala bangsa”. Pernyataan ini menunjukan bahwa Konstitusi Republik Indonesia mengakui adanya kedaulatan negara dan bangsa lain. hal ini mempertegas bahwa lahirnya suatu bangsa dan negara di dunia merupakan proses yang beragam. sehingga melakukan intervensi dalam suatu sistem dari luar merupakan tindakan yang bertentangan dari kedaulatan masing-masing negara.

Ideologi Pancasila yang menerima sistem demokrasi, NKRI, Bineka Tunggal Ika dan Undang-Undang Dasar 1945 perwujudan dari kesepakatan bersama. Agama ditempatkan pada tempat mulia sebagai sebagai sumber inspirasi positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga agama menjadi relevan dalam perkembangan zaman dan ikut berkontribusi dalam membangun tatanan kehidupan yang religius. Dari sini keduanya saling membutuhkan. Islam diharapkan dapat diamalkan sebaik-baiknya dan umat Islam juga diharapkan menjadi tulang punggung ideologi nasional pancasila. Untuk itu perlu ada pemantapan ideologi negara dengan seksama dan dengan keterbukaan hati berbagai pihak.[22]

  • Pengaruh Revivalisme Islam di Perguruan Tinggi

Penulis sedikit menjelaskan dalam pendahuluan bahwa lahirnya era reformasi pada tahun 1998 telah membuka lebar pemikiran-pemikiran ideologi masuk dan mewarnai pola pikir generasi muda, terutama di kalangan mahasiswa.  Hal ini tidak terlepas awal perkembangan revivalisme Islam dari Kampus seperti Ikhwanul Muslimin, Salafi, dan Hizbut Tahrir.

Pertama, Mengenai proses penyerapan aktivis tarbiyah di Indonesia terhadap pemikiran Ikhwanul Muslimin terdapat dua penjelasan pertama, pengenalan pemikiran Ikhwanul Muslimin terjadi melalui Imaduddin Abdurrahim melalui Forum-Forum Jaringan Dakwah Kampus. Perkenalan dengan modus seperti ini terjadi pada masa-masa awal gerakan usroh. Kedua, transmisi pemikiran Ikhwanul Muslimin melalui para alumni lembaga pendidikan di timur tengah maupun Alumnus LIPIA Jakarta yang merupakan cabang Universitas Islam Ibnu Saud Riyadh, Arab Saudi. Para alumnus ini berinteraksi langsung dengan para aktivsi ikhwanul muslimin dan menyebarkan pemikiran-pemikirannya ke Indonesia melalui Forum-Forum Jaringan Dakwah Kampus yang telah ada lebih dahulu. Pada tahap ini mereka melakukan penyempurnaan materi dakwah, metode (manhaj) gerakan dan memperluas jaringan sekaliugs melakukan “purifikasi” (membersihkan unsur-unsur pemikiran dari luar Ikhwanul Muslimin).[23] Beberapa prinsip pemikiran IM antara lain bahwa Islam merupakan ajaran yang bersifat totalis yang tidak memisahkan satu aspek dengan aspek lainnya. Islam tidak dilihat dari perspektif yang memisahkan antara yang sakral dan yang profan, yang transenden dan yang temporal.[24]

Kedua, Hizbut Tahrir sebagai gerakan masuk ke Indonesia pertama kali pada tahun 1982-1983 melalui M. Mustafa dan Abdurrahman Al-Baghdadi. Mustofa selama belajar di yordania ikut aktif dalam gerakan dakwah bawah tanah Hizbut Tahrir di sana. Sedangkan Abdurrahman Al-Baghdadi aktif di gerakan tahrir di Lebanon sejak berusia 15 tahun. Kedua tokoh ini berinteraksi dengan mahasiswa IPB yang aktif mengembangkan kegiatan keislaman di Masjid Al-Gifari Kampus IPB. Di tengah interaksi inilah al-baghdadi memperkenalkan pemikiran Hizbut Tahrir kepada para aktivis Masjid Al-Gifari.[25]

Ketiga, gerakan Salafi. Gerakan ini masuk di Indoensia pada tahun 1980-an bersamaan dengan dibukannya Lembaga Pengajaran Bahasa Arab (LPBA) di Jakarta. Lembaga ini kemudian berganti nama menjadi LIPIA (Lembaga Ilmu Islam dan Sastra Arab) ini memberikan sarana bagi mereka untuk mengenal dan mendalami pemikiran-pemikiran apra ulama Salafi. Lembaga ini mengajarkan pemikiran-pemikiran para ulama salafi. Dari materi kuliah ini para mahasiswa menerima ajaran salafi dari dosen, buku-buku rujukan dan nadwah-nadwah (kuliah umum). Pemikiran-pemikiran lebih mendalam dari para ulama salafi juga bisa didapatkan dari membaca sejumlah besar buku di perpustakan kampus. Para mahasiswa tidak dibenarkan mengikuti kajian-kajian Islam yang lain termasuk kegiatan organisasi ekstra kampus, seperti: PMII, HMI maupun IMM. Organisasi-organisasi ini dianggap menyebarkan pendangan-pendangan Islam yang menyimpang, karena mengedepankan rasionalisme dalam agama.[26]

Ketiga gerakan keagamaan ini secara masif mengembangkan paham Islam puritan. Bukan hanya dalam segi ibadah dan akidah, tetapi juga berkaitan dengan masalah ideologi dan politik. tentu saja perkembangan ideologi puritan sangat membahayakan ideologi Pancasila dan NKRI. Sebab konsep politik fundamentalisme hanya merujuk pada al-Qur’an dan Sunnah, dan menolak secara tegas selain dasar tersebut, termasuk juga menolak keberadaan Pancasila. Dalam jangka waktu panjang, gerakan ini menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan kedaulatan negara.

  • Merawat Pancasila Melalui Perguruan Tinggi dari Pengaruh Revivalisme Islam

Ideologi Pancasila sebagai pijakan seluruh prinsip yang berlaku dalam suatu masyarakat indonesia yang meliputi aspek sosial-politik, ekonomi, budaya, dan hankam.[27] Ia menjadi acuan dalam mewujudkan cita-cita konstitusi yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Cita-cita besar konstitusi sangat membutuhkan penanaman ideologi yang kuat di masyarakat. tentu saja hal yang wajar, sebagai bangsa yang sangat beragama suku, etnis, agama dan budaya membutuhkan pengikat kuat untuk membangun kebersamaan dan kesetaraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perguruan Tinggi sebagai tempat penyemaian yang efektif ideologi Pancasila seharusnya bisa tumbuh subur dan menjadi batu loncatan bagi generasi muda dalam menerima tongkat estafet kepemimpinan di masa yang akan datang. Sebab merujuk UU No 2 tahun 1989 tentang pendidikan nasional dan juga termuat dalam SK Dirjen Dikti No.38/DIKTI/2003, dijelaskan bahwa tujuan pendidikan Pancasila mengarahkan pada moral yang diharapkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap tuhan yang maha esa dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai golongan agama, kebudayaaan dan beraneka ragam kepentingan, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan dan golongan. Sehingga perbedaan pemikiran,diarahkan pada perilaku yang mendukung upaya terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[28]

Atas dasar tersebut, Perguruan Tinggi mempunyai kewajiban merawat ideologi Pancasila dari pengaruh revivalisme Islam dengan beberapa bentuk, yaitu: pertama, memperkuat kembali kurikulum pendidikan Perguruan Tinggi dengan berbasis pada ideologi Pancasila. Nilai-nilai Pancasila harus menjiwai mata kuliah pada setiap program studi  atau Jurusan. Penulis menilai, mata kuliah Pancasila masih berdiri sendiri, dan belum terintegrasi dengan mata kuliah lain. Kurikulum harus mencerminkan hubungan yang integral, sehingga hasil akhir dari proses pendidikan bisa menghasilkan out put yang punya karakter kuat kecintaan terhadap Pancasila.

Kedua, penelitian harus mencerminkan produk pendidikan nasional yang kreatif, dinamis, dan mempunyai konstribusi dalam memperkuat ideologi Pancasila. Ia mencerminkan dari nilai-nilai yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat, sehingga hasil penelitian ini bisa memberi manfaat dari segala aspek kehidupan, baik dalam wujud pendidikan, budaya, saint dan teknologi, ekonomi dan pertahanan-keamanan.  Memang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat cepat. Setiap negara dan bangsa senantiasa mengembangkan model teknologi dan ilmu pengetahuan dengan memperhatikan kearifan yang berkembang di masyarakat setempat. Maka hal wajar apabila kita melihat out put dari suatu Iptek suatu negara, tidak terlepas dari pengaruh ideologi bangsa tersebut. pola yang demikian penting untuk dikembangkan dalam dunia penelitian di perguruan tinggi. Sehingga out put penelitian tidak tercerabut dari jati diri bangsa yang beradab.

Ketiga, Pengabdian masyarakat adalah bentuk interaksi antara institusi Perguruan Tinggi dengan masyarakat. Proses penularan nilai-nilai dan kemudian menjadi bagian pengubah perilaku, adalah sarana yang efektif memupuk  ideologi Pancasila. Berbagai persoalan seperti perubahan perilaku masyarakat terjadi saat terjadi penularan nilai-nilai tersebut oleh Perguruan Tinggi. Maka, memperbaiki sistem pendidikan sebagaimana di atas, berperan besar untuk menyiapkan materi-materi yang mencerminkan nilai-nilai luhur dari ideologi Pancasila.

Keempat, menutup pintu paham radikalisme. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan mempunyai seperangkat aturan yang secara hirarki mengacu kepada ideologi pancasila. Dalam prakteknya, perguruan tinggi sering direpotkan oleh para aktivis gerakan revivalisme Islam yang sudah tersetruktur dan terkadang terselubung. Mereka sering menggunakan jargon-jargon seperti Demokratis, Pancasilais, dan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai pembenar dalam melakukan gerakan-gerakan kebijakan kampus. Padahal mereka sebenarnya membenci istilah-istilah tersebut. demi untuk meraih suatu cita-cita, mereka melakukan pembenturan pemikiran untuk memberikan opini bahwa mereka tidak bersalah secara hukum.

Sebenarnya sangat sederhana memahami persoalan tersebut. Ketika kita berbicara ideologi Pancasila, maka yang tertanam dalam alam pikiran kita adalah menentang segala bentuk pemikiran yang melawan Pancasila. Apapun naman nya dan apapun latarbelakang organisasi dan agama nya, Pemerintah harus tegas melakukan eksekusi dan memberikan sanksi hukum terhadap segala bentuk organisasi dan kegiatanya secara tegas.

  • Penutup

Gerakan revivalisme Islam yang lahir di Perguruan Tinggi Seperti Ikhwanul Muslimin, HTI dan Salafi sebagai gerakan pemurnian ajaran islam. tujuannya yaitu menciptakan sistem kehidupan baik secara kultural dan struktural dengan cara Islam, yaitu berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Pandangan ini lahir karena mempunyai anggapan ajaran islam telah sempurna dan yang paling paripurna. Menegakan ajaran Islam sebagai bagian kewajiban bagi setiap muslim dalam segala sisi kehidupan.

Ideologi Pancasila sebagai intisari dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat tidak bertentangan dengan nilai-nilai positif dari agama Islam. ia lahir dari kesepakatan bersama. Para Faunding Fathers yang mayoritas beragama Islam sepakat bahwa Pancasila adalah pilihan terbaik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dasar pemikiran mereka adalah bahwa Islam sebagai agama hanya memberikan nilai-nilai dasar dalam kehidupan bermasyarakat. Ajaran Islam baik dalam Al-Qur’an dan Sunnah tidak memberikan sistem operasional dari bentuk negara. sepanjang nilai-nilai ajaran Islam diakui keberadaan dan menjadi intisari ideologi pancasila, maka hal ini sah menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.

Gerakan revivalisme yang berkembang di Perguruan Tinggi menjadi ancaman sangat serius. Pendangkalan Ideologi Pancasila, NKRI, Bineka Tunggal Ika, dan UUD 1945 adalah materi wajib gerakan tersebut secara terus menerus. Langkah ini merupakan jalan untuk menjauhkan dari ideologi Pancasila dan mendekatkan paham mereka dengan berkedok pada slogan Islam kaffah dan yang paling benar. Penyebaran paham ini melalui proses pendidikan dengan pertemuan tatap muka di bangku kuliah, atau juga melalui pengajian yang bersifat eklusif. Mereka sangat masif dan terus merambah saat para dosen dan mahasiswa bimbingannya melakukan kegiatan Kampus atau juga dalam bentuk pengabdian masyarakat. 

Perguruan Tinggi perlu memperkuat penanaman ideologi Pancasila secara komprehensip. Peran perguruan tinggi yang terangkum dalam Tridarma Perguruan Tinggi perlu memperbaiki sistem dan juga aturan, agar tidak menjadi lahan subur penyebaran virus fundamentalisme Islam. Selain itu penegakan hukum dan aturan terkait pada pelaku dan aktivis-nya di perguruan tingg harus tegas, baik penegakan terhadap aturan maupun dalam memberikan sanksi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz. (1989). Gerakan Kontemporer Islam Indonesia. Jakarta  Pustaka Firdaus.

Abdul Qadim Zalum. (tanpa tahun). Demokrasi Sistem Kufur, terj; Muhammad Shidiq Al-Jawi.

Abdurrahman Wahid. (2009). Ilusi Negara Islam. Jakarta : The Wahid Institute.

Din Syamsuddin. (2000). Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil. (2000). Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Kaelan. (2003). Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma Offset.

M. Imdadun Rahmat. (2005). Arus Baru Islam Radikal. Jakarta: Penerbit Erlangga.

MPR RI. (2007). Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal dan Ayat. Jakarta: Sekrtariat Jenderal MPR RI.

Muhammad Abid Al-Jabiri. (2001). Agama, Negara dan Penerapan Syariah. Yogyakarta : Pustaka.

Muhammad Said Al-Asymawi. (1987). Al-Islam Al-Siyasai. Kairo : Sina li Al-Nasyr.

Muhammad Hari Zamharir. (2004). Agama dan Negara. Jakarta : Rajagrafindo Persada.

Mun’im A. Sirry. (2003). Membendung Militansi Agama. Jakarta : Penerbit Erlangga.

M. Syamsuddin, dkk. (2011). Pendidikan Pancasila, Menempatkan Pancasila dalam Konteks Keislaman dan Keindonesiaan. Yogyakarta: Total Media.

Olivier Roy. (1994). The Failur of Political Islam. London: I.B. Tauris & Co. Ltd.

Titik Triwulan Tutik. (2006). Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Prestasi Pustaka.


[1] Kaelan. (2003). Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma Offset. h. 28.

[2] Ibid.

[3] Din Syamsuddin. (2000). Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Jakarta : Logos Wacana Ilmu. h. 107.

[4] Ini dampak dari lahirnya Undang-Undang No. 2 tahun 1999 tentang partai politik yang berisi pembatasan terhadap jumlah parpol ditiadakan. Titik Triwulan Tutik. (2006). Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Prestasi Pustaka. h. 281.

[5] Dilirik dari berbagai segi, negeri kita memang sangat memungkinkan untuk menjadi sarang terorisme. Pertama, situasi politik pasca runtuhnya rezim orde baru membuka ruang begitu luas bagi perkembangan radikalisme agama. kedua, lemahnya kepemimpinan (lack of leadership) juga bisa menyebabkan Indonesia terperangkap ke dalam jaringan terorisme global. Mun’im A. Sirry. (2003). Membendung Militansi Agama, Jakarta : Penerbit Erlangga. h. 10-11.

[6] Abdurrahman Wahid telah merekam pengikut ideologi radikal yang melakukan ancaman terhadap nara sumber dari PBNU pada tahun 2004 di Hotel Sonesta Mesir. Presiden Perhimpunan Pemuda Dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Limra Zainudin mengancam salah satu ketua PBNU akan dibunuh jika tidak membatalkan seminar. Abdurrahman Wahid. (2009). Ilusi Negara Islam, Jakarta : The Wahid Institute, h. 33-34.

[7] Penulis dan teman-teman yang bergerak di organisasi badan otonom (banom) NU seperti PC Ansor dan ISNU di Kabupaten Kepulauan Meranti dan juga teman-teman yang berada di Bengkalis Provinsi Riau mengalami hal yang serupa. Mereka menuduh kami menyebarkan ajaran yang menyesatkan, dan melabeli kepada kami dengan sebutan  kafir, liberal dan syiah.

[8] Ferry Anggriawan,  Reformasi Domain Hukum Ideologi Pancasila, oleh Badan Pembina Ideologi Pancasila, Jurnal Cakrawala Hukum, Vol.11, No 1 April 2020, hlm. 31.

[9] Totok tolak, peneguhan masyarakat mulikultural Indonesia melalui aktualisasi pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, jurnal pendidikan ilmu-ilmu sosial, volume 10. Nomor 1,  juni 2018, hlm. 22.

[10] Hendri, cecep darmawan, Muhammad halimi, penanaman nilai-nilai pancasila pada kehidupan santri di pondok pesantren, jurnal civid: media kajian kewarganegaraan, volume 15, no. 2, oktober 2018, hlm. 103.

[11] M. Imdadun Rahmat. (2005). Arus Baru Islam Radikal. Jakarta: Penerbit Erlangga. h. xv

[12] Ibid, h. xvi

[13] Olivier Roy. (1994). The Failur of Political Islam. London: I.B. Tauris & Co. Ltd. h. 2.

[14] Muhammad Abid Al-Jabiri. (2001). Agama, Negara dan Penerapan Syariah, Yogyakarta : Pustaka. h. 139.

[15] Muhammad Said Al-Asymawi .(1987). Al-Islam Al-Siyasai, Kairo : Sina li Al-Nasyr. h. 66.

[16] M. Imdadun Rahmat. (2005).Arus baru, op.cit, h. 14.

[17] Muhammad Hari Zamharir. (2004). Agama dan Negara, Jakarta : Rajagrafindo Persada. h. 24.

[18] Abdul Qadim Zalum. (tanpa tahun). Demokrasi Sistem Kufur, terj; muhammad shidiq al-jawi.h. 1.

[19] M. Imdadun Rahmat. (2005).Arus baru, op.cit. h. 53.

[20] C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil .(2000). Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. h. 109.

[21] MPR RI. (2007). Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal dan Ayat, Jakarta, Sekrtariat Jenderal MPR RI, h. 44.

[22] M. Syamsuddin, dkk. (2011). Pendidikan Pancasila, Menempatkan Pancasila dalam Konteks Keislaman dan Keindonesiaan. Yogyakarta: Total Media. h. xviii.

[23] M. Imdadun Rahmat.(2005). Arus baru, op.cit, h. 87.

[24] Abdul Aziz. (1989). Gerakan Kontemporer Islam Indonesia, Jakarta  Pustaka Firdaus. h. 219.

[25] M. Imdadun Rahmat. (2005). Arus baru, op.cit. h. 101.

[26]Ibid. h.105.

[27] M. Syamsuddin, dkk. (2011). Pendidikan Pancasila,op.cit, h. 98.

[28] Kaelan. (2003). Pendidikan Pancasila, op.cit. h. 15.


Bagikan :

Vijian Faiz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

Menulis itu Mudah-Bagian I

Sat Nov 6 , 2021
Bagikan :Sudah ada puluhan orang bahkan mungkin sudah ratusan orang baik dari kalangan dosen, guru dan mahasiswa yang mengeluh tentang persoalan menulis. Mereka ada yang Tanya tentang cara-cara menulis yang baik dan benar. Ada juga yang bertanya cara membuat artikel yang ditulis di berbagai jurnal. Ada juga yang bertanya tentang […]

Baca Juga