Imam Ghozali, Dosen STAIN Bengkalis
Salah satu jasa Pemerintah Joko Widodo yaitu menetapkan satu hari spesial untuk para santri, yaitu tanggal 22 Oktober 2022, sebagai Hari Santri Nasional. Walaupun dalam proses nya terjadi berbagai faksi dan silang pendapat [bahkan ada tokoh yang mentertawakan ide tersebut] tentang efesien dan urgensi nya, namun Jokowi tidak bergeming, tanggal 22 Oktober 2022 ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional.
Sejarah Peringatan Hari Santri memang sangat unik jika sebelumnya dilihat dari frame politik di Media Massa dan Media Sosial digambarkan Joko Widodo sebagai sosok Islam Abangan, bahkan lebih ekstrem lagi menuduh sebagai Presiden beragama Kristen, dan ironis lagi adalah seorang PKI yang tidak ber-Tuhan. Tuduhan-tuduhan ini justru datang dari kelompok-kelompok yang pemahaman [konon] agamanya sudah mapan, intelektual, dan sholeh atau sholehah. Sayangnya dalam dimensi sebagai sama-sama orang yang sedang mencari “Pengakuan Tuhan”, tuduhan-tuduhan status keimanan dan tuduhan-tuduhan yang tidak mendasar sebenarnya mend-degradasi keimanan sendiri yang sangat serius, tapi para penuduh tidak menyadarinya. Nafsu kekuasaan telah menutup sinar kebenaran, dan yang terlihat hanya api nafsu syayiyah. Embrio pemikiran radikal seperti ini yang menjadi remuknya perpolitikan pada permulaan Islam. Korban nya tidak tanggung-tanggung; Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib mati terbunuh oleh kelompok yang kedalaman agama nya bagus, tapi nafsu politiknya lebih di dahulukan daripada kemanusiaannya.
Era modern sering orang melihat bungkusnya. Politik memfasilitasi hal tersebut. Mungkin orang seperti Prabowo dan Jokowi secara pemahaman agama nya dibawah Standar Santri, Ustadz, Dosen Agama, dan para intelektual Islam. Jika dulu prabowo tarung dengan politik yang berbasis agama, maka seluruh pribadi dan keimanan nya serta keluarganya ditelanjangi secara ramai-ramai oleh rival politiknya. Begitu juga, andai saja Joko Widodo dalam posisi orang yang diusung oleh partai berbasis Islam, maka saat itu juga kesolehan Jokowi meningkat dratis dan menjadi orang yang sangat suci. Dalam politik di Indonesia, warna baju seolah-olah mencerminkan isi dari iman dan amal sholeh seseorang. Jika simbol partai terlihat islami, dan penampilannya dengan baju takwa nya, maka label yang berkembang di masyarakat nya, pengurusnya adalah; sholeh, takwa, jujur, kredibel, cerdas dan merakyat. Padahal bisa jadi sebaliknya; bisa salah, kufur, culas dan memutus hubungan dengan rakyat. Tapi kenyataannya demikian, bangsa ini masih suka melihat baju dan itu sering menjadi indikator kesholehan seseorang bukan pada karya nyata. Padahal ini sudah masuk pada bagian dari “syirik kecil” yang bisa membesar jika kualitas orang yang mutaqin terletak pada simbol partai dan simbol baju-bajunya. Bukankah Tuhan telah meletakan status baju kebesaranya bukan pada atribut Partai dan Baju kita, tapi pada takwanya bukan?
Kenapa tanggal 22 Oktober ?
Para santri dan masyarakat umum harus mengetahui bahwa tanggal tersebut adalah pembuktian puncak keberanian para Santri di Pesantren mengorbankan seluruh jiwa dan raganya membela kemerdekaan. Hadratusyeikh K.H. Hasyim Asy’ari telah meletakan “Resolusi Jihad” pada tanggal 22 Oktober 1945. Akibatnya adanya resolusi jihad, peperangan kepada para penjajah terus berlangsung dan volume nya semakin meningkat. Puncaknya tanggal 10 November 1945 yang kemudian hari diabadikan sebagai Hari Pahlawan.
Baik peristiwa pada tanggal 22 Oktober dan 10 November adalah hanya sebatas “juz min kul” atau sebagian dari seluruh rentetan bukti perjuangan santri jauh sebelumnya sejak kedatangan imperialism ke Nusantara. Namun penanggalan menjadi penting karena dari tanggal tersebut memori kita akan mengingat seluruh rangkaian-rangkaian kehidupan yang sebelumnya terpendam di dasar tanah. Sebagaimana kita membutuhkan tanggal atas kelahiran, wisuda, pernikahan dan peristiwa lainya karena cara seperti itu jalan untuk merefleksikan rasa syukur, sabar dan semakin menyadari pentingnya muhasabah binafsih dan bi jama’ah.
Atas dasar itu, presiden Joko Widodo telah membantu memperingatkan atau menyadarkan kepada para santri untuk mengenal diri sendiri dengan membuka lembaran sejarah masa lalu, bahwa bangsa ini adalah hasil dari perjuangan para santri yang tidak boleh dihapus dari sejarah. Sekali lagi, mungkin iman dan amal sholeh Joko Widodo tidak seperti para santri dan sebagian kaum intelektual Islam yang sering berkoar-koar merasa “sok suci” dengan bersandar atas nama agama dan syariat. Namun melalui orang yang dianggap iman nya tidak sempurna tadi, ternyata telah memberikan wadah untuk santri agar bisa berkreasi untuk kepentingan nusa, bangsa dan agama, duniawi dan ukhrawi.
Kini para santri harus “trengginas”, “cerdas”, “religious,”integritas”, “professional” dan menguasai kunci-kunci dunia, sehingga mulutnya tidak hanya sibuk takbir “Allahu Akbar”, tapi juga professional menjadi pelaku bisnis, politik, pendidikan, ekonomi dan aspek kehidupan lainya. Jadi sudah saatnya internalisasi “Takbir” dalam perilaku dan profesionalitas dalam menyongsong santri yang Insanul Kamil. Tidak apa-apa jika hablu min Allah ditutup rapat-rapat agar kita semakin asyik bercengkrama dengan-Nya, dan sangat baik jika hablu min an-nas ditampakan agar bisa memberi manfaat kepada alam semesta.
Selamat Menyambut Hari Santri,
Bengkalis, 20 Oktober 2022
Imam Ghozali