Sudah ada puluhan orang bahkan mungkin sudah ratusan orang baik dari kalangan dosen, guru dan mahasiswa yang mengeluh tentang persoalan menulis. Mereka ada yang Tanya tentang cara-cara menulis yang baik dan benar. Ada juga yang bertanya cara membuat artikel yang ditulis di berbagai jurnal. Ada juga yang bertanya tentang teknik membuat sebuah buku. Bagaiman cara memulai dan bagaimana juga cara mengembangkan tulisan tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan yang sering mampir dalam suatu pertemuan secara formal dalam pelatihan karya ilmiah, atau tidak formal, umpamanya dalam pertemuan di ruang dosen, ngobrol “ngalor-ngidul” yang ujung-ujungnya membahas pada persoalan tulis-menulis tadi. Begitu juga pada guru saat bertemu di acara-acara yang tidak resmi juga sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak jauh berbeda dari persoalan dosen. Tentu saja, pengajuan pertanyaan-pertanyaan tersebut berangkat dari suatu tuntutan administrasi. Bagi seorang dosen, karya ilmiah seperti artikel dan buku ajar atau monograf sangat penting untuk pengisian administrasi seperti BKD, Jabatan Fungsional, Sertifikasi dosen dan lain-lain. Begitu juga bagi para guru terutama yang sudah menjadi pegawai negeri sipil atau pns atau asn. Artinya mereka membutuhkan karya ilmiah karena tugas administrasi yang harus dipenuhi sebagai seorang pendidik.
Saya sering di forum-forum yang tidak resmi seperti di lesehan, di kedai kopi, atau mungkin lagi “pijet-pijetan” di mushola atau kantor, memberikan sugesti tentang menulis sebagai berikut:
Pertama, Menulis Harus Hadir Karena Adanya Rasa Cinta
Saya selalu mengatakan bahwa menulis harus didasari rasa cinta terhadap budaya tulis-menulis. Contoh sederhana saja dalam kehidupan sehari-hari, anggaplah pasang suami-istri. Mereka menjadi satu membangun keluarga bersama-sama karena cinta. Mereka kerja siang dan malam karena cinta terhadap pasangannya dan anak-anaknya. Bahkan mereka [ orang tua kita] kadang berani mengurangi porsi makan dan lauk hanya karena kecintaan mereka terhadap kita dan saudara-saudara kita agar jangan sampai kelaparan.
Cinta mempunyai kekuatan yang sangat dahsyat. Orang yang [mohon maaf] tidak pernah sekolah sekalipun, ketika dia jatuh cinta, maka secara naluriah akan bisa merangkai kata-kata para pujangga. Dia menjadi cerdas, bisa berpantung, berpuasi dan menyusun kalimat-kalimat yang romantic, yang sebelum [jatuh cinta] tidak bisa sama sekali. Cinta telah melahirkan profesionalisme.
Apakah perasaan menulis sama seperti ketika bertemu dengan kekasihnya? Jika ia, maka saya jamin, anda akan menjadi penulis yang hebat. Namun, ketika anda mendengar kata “menulis” seperti melihat hantu, maka bisa dipastikan anda hanya sedang membangun angan-angan yang tidak mungkin terwujud dalam kehidupan nyata. Anda bisa dipastikan tidak bisa menulis sepanjang hayat. Tubuh anda akan terasa lemah tenaga, kurang pendengaran, dan mata kabur serta terasa kaku ketika memegang pena. Semua ini sebenarnya hanya perasaan orang-orang yang kalah dalam hal tulis-menulis. Namun saat anda mempunyai perasaan “mahabbah” yang sangat mendalam, rasa lemah, mata kabur, pendengaran yang katanya kurang baik akan berangsurr-angsur normal. Sebab, kita sering sakit bukan karena adanya penyakit, tapi karena presepsi yang kurang baik pada diri kita sendiri.
Coba renungi diri sendiri, saat anda jatuh cinta dan benci kepada sesuatu, maka anda akan menemukan suatu aliran energi yang berbeda. saat anda mendengar dipanggil oleh “calon” pasangan hidup anda untuk datang ke rumahnya, maka kalimat-kalimat “gunung kan ku daki, lautan kan ku seberangi.” Namun, saat kebencian telah melanda kepada “mantan” kekasih anda, jangankan untuk melangkah ke rumahnya, mengangkat panggilan telpon darinya pun tidak mau, bahkan kadang sengaja di matikan bukan?
Jadi, percayalah kepadaku, ketika anda ingin menjadi penulis, mau menulis apapun, langkah pertama yaitu jatuh cinta terhadap budaya tulis-menulis. Ketika sudah ada, maka tulisan akan mengalir secara normal dari jari-jari anda.
Bagaimana jika saya tidak jatuh cinta? Apa yang harus dilakukan?
Jika anda belum jatuh cinta terhadap budaya tulis-menulis, maka yang harus dilakukan yaitu , “dipaksa.” Lihat lah, orang-orang tua kita dulu, kadang ibu kita dipaksa oleh nenek atau kakek kita untuk menikah dengan ayah kita yang mungkin ibu kita tidak mengenal sama sekali. Ibu kita mungkin bingung, apa arti sebuah pernikahan. Pada permulaan menikah, mungkin ibu kita itu menjerit ketika di pegang tangan-nya oleh bapak kita. Bahkan bisa jadi lari dari kamar pengantin dan menangis tersedu-sedu sambil berkata kepada nenek kita : “ Bapak itu jahat, masa saya lagi tidur, selimut saya ditarik dan tangan saya di pegang-pegang.”
Itu dulu. Permulaan rumah tangga seperti itu, penuh dengan kejadian yang lucu-lucu. tapi setelah berjalan beberapa tahun, kelucuan itu pun menjadi keasyikan yang luarbiasa. Sudah tidak ada lagi tangisan, sudah tidak ada lagi rasa takut. Yang ada perasaan sayang dan cinta kepada pasangannya. Buah dari cinta tersebut melahirkan anak-anak yang meneruskan peradaban manusia, kikikik.