Lampung hari ini dan beberapa hari kedepan mendapat keberkahan yang luarbiasa akibat adanya muktamar NU ke-34. Mulai dari hotel berbintang, penginapan bertambur bintang milik orang-orang kampong yang saat hujan bocor, dan orang-orang yang berjualan di pinggir-pinggir jalan pun kecipratan keberkahan. Semua bercampur jadi satu, seperti sebuah kota modern yang tetap menjaga rumah-rumah tradisional dan sungai-sungai yang masih jernih dan belum tercemar oleh limbah-limbah perusahaan. Sebuah gambaran bahwa warga NU sangat heterogen, mulai jadi pejabat, penguasaha sampai mereka yang kerja sehari-hari menjadi buruh tani di Kampung.
Muktamar NU sebenarnya sedang menunjukan hakikat warga nahdiyin yang heterogen yang dulu disebut kaum pinggiran karena terpinggirkan secara politik oleh orde baru dan kaum tradisional karena masyarakat NU secara status sosial masih banyak di kelas menengah ke bawah seperti menjadi pedagang, petani, buruh-buruh kasar. Begitu juga dalam bidang Sumber Daya Manusia [SDM], NU sangat jauh ketinggalan dengan ormas besar seperti Muhamadiyah yang sejak pertama berdiri sudah menggarap peningkatan sdm dengan mendirikan sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi.
Namun itu cerita masa lalu. Kini warga NU sudah bisa bertransformasi menjadi warga yang modern dan sederajat dengan ormas Islam lainya. Terpilihnya K.H. Abdurrahman Wahid [ Gus Dur ] menjadi presiden sangat mengagetkan semua pihak. NU bisa tampil menjadi pemimpin bangsa. Namun karena kaderisasi masih premature akibat kebijakan orde baru, NU pun tidak bisa membantu pemerintahan Gus Dur.
Namun hikmah terpilihnya Gus Dur menjadi presiden, warga NU pun bangkit. Para pemuda NU yang dulu hanya memfokuskan pendidikan di Pesantren, sudah mulai bergeser ke sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi umum baik di dalam maupun luar negeri. Dalam bidang keahlian, kini mereka sudah menyebar ke berbagai pemerintahan, lembaga pendidikan, duta besar, legislatif, gubernur, bupati dan lain-lain. Tirakat Gus Dur dalam melakukan transformasi warga nahdiyin sejajar dengan warga lain telah membuahkan hasil. NU sudah tidak dicap lagi sebagai kaum pinggiran. NU sudah bisa disebut “Kaum Modernis Bersarung” sebagai ciri khas ke-NU-an.
Sebagai kaum modernis bersarung, NU tetap masih mempercayai keberkahan doa dari para ulama-ulama. Rasionalisme dalam menyelesaikan suatu persoalan yang mbelilit internal NU dan juga persoalan yang lebih luas sebagai agenda penting untuk masa depan NU, warga nahdiyin tetap berjalan secara normal dengan menggunakan aturan-aturan operasional, dan disisi lain tetap memegang nilai-nilai spritiual dengan mengharapkan keberkahan dari para ulama dan juga bermunajat kepada Allah s.w.t.
Dan agenda di bulan Desember ini adalah agenda terbesar yaitu mukhtamar yang ke-34 di Lampung. Bisa jadi ada tarik-menarik kepentingan yang tidak bisa dihindari dari sebuah organisasi besar seperti NU ini. Namun disisi lain, tarik-menarik yang sangat kuat dan kadang bisa memutuskan silaturahim karena konflik kepentingan, mereka tetap menggunakan pintu langit sebagai sandaran terakhir dalam menyelesaikan persoalan.
Maka sebesar apapun persoalan dalam Muktamar, tidak ada yang lebih besar dari keagungan Allah s.w.t. semua harus ada dalam genggamanya. Karena itu, pintu langit harus tetap diketuk dengan kekuatan doa, agar kabut hitam segera pergi dan turun rahmat dari langit dan keberkahan melimpah dalam Mukhtamar dan warga NU serta bangsa dan negara yang kita cinta, Indonesia.