DINAMIKA HUKUM ISLAM
Pendahuluan
Dalam paradigm positivism hukum islam, undang-undang (wet), oponen ahli (expertise) dan yurisprudinsi klasik dipikirkan sebagai sesuatu yang lengkap dan final sehingga hakim sebagai pengguna hukum hanya tinggal menerapkanya secara mekanis dan linier sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Paradigm positivistic dalam memahami hukum islam melahirkan konsekuensi logis berupa penafsiran monolitik terhadap penafsiran teks hukum bahkan cenderung terkstual secara leksikal. Subtansi hukum islam yang saharusnya normologis, otoritatif dan dinamis dalam rangka memperkaya cakrawala hukum islam namun pada kenyataaanya tereduksi ke dalam praktik rutin yang preskriptif.
Selain itu positivism hukum Islam diphami sebagai wilayah yang sterill terpisah dari nilai-nilai yang ada. Hukum Islam menjadi sebuah disiplin ilmu yang hanya mempelajarai command of god givers akibatnya tidak lagi dipelukan ide kreatif menciptakan hukum Islam yang ideal (das sollen) melainkan cukup hanya menerapkan hukum Islam yang tersedia (ius constitutum).
Posisi hukum Islam dalam tradisi sistem Eropa kontnental seperti di Indonesia, berada pada arus besar “mainstream” pemikiran law as it is written in the books. Artinya dalam penegakkan hukum, hakim harus melihat hukum Islam dari kerangka peraturan perundang-perundang terlebih dahlu dari pada sumber hukum lainnya. Asas doctrine of precedent melalui keputusan hakim positivisasi hukum islam atau pribumisasi hukum islam yang merupakan cita dari umat Islam untuk menjalankan ajaran agama secara kaffah sampai saat ini masih mengalami beberapa kendala.
Fondasi Positivisme dan Sosio-Linguistik Hukum Islam
Positivisme barat lahir dan dimatangkan oleh masyarakat eropa pasca revolusi di inggris dan prancis abad 18 yang dikodifikasikan oleh August Comte dan koleganya. Positivism barat terbentuk karena determinasi politik kerajaan yang begitu kuat dalam melanggenakan kekuasaannya. Menurut Comte, positivism memiliki arti sesuatu yang nyata, bermanfaat dan pasti yang berorientasi kepada penertiban masyarakat. Pengamat positivism ini mengagungkan kepastian hukum.
Positivism Islam lahir sejak Islam tumbuh di tengah masyarakat Arab. Keberadaan nabi saw sebagai satu-satunya rujukan di tengah perkembangan Islam memiliki peran strategis dan menguntungkan bagi Nabi saw sebagai pengambil kebijakan agama dan politik. Semangat menafsirkan menurun karena umat pada waktu itu hanya berorientasi kepada kepada kepastian hukum.
Fertilitas Islam semakin tumbuh pasca wafatnya Nabi saw. Pemegang otoritas agama dan politik menjadi bahan rebutan. Pencaturan politik dan gengsi ini yang menyebabkan timbulnya sekte dan aliran di dalam islam dan sekte-sekte inilah yang mempengaruhi secara tiak langsung terhadap metode ijtihad yang dibukukan. Asas kepastian hukum mulai memudar karena setiap sekte dan kelompok saling mengklaim kebenaran seuai dengan awrna bendera ideologinya. Namun tidak dapat dipungkiri kondisi sosial masyarakat arab pasca nabi saw telah memberikan sumbangsih yang positif terhadap dinamika pemikiran hukum Islam.
Pondasi Positivsme dan Sosio-Linguistik Hukum Islam
Positivism barat lahir dan dimatangkan oleh masyarakat eropa pasca revolusi industry di inggris dan prancis abad 18 yang dikodifikasikan oleh august comte dan koleganya. Positivism barat terbentuk karena diterminasi politik kerajaan yang begitu kuat dalam melanggengkan kekuasaannya. Menurut comte, positivisme memiliki arti sesuatu yang nyata, bermanfaat dan pasti yang berorientasi kepada penerbitan masyarakat. Penganut positivism ini mengagungkan kepastian hukum.
Kritik Epistemologi
Hukum Islam dan Hukum Kodrat
Adapun prinsip dasar hkum kodrat adalah suatu persepsi bahwa manusia pada dasarkan selalu berusaha mencari kebenaran yang bersifat universal, tidak absolut dan tidak terkotak-kotak oleh kelompok. Kriterium kebenaran dalam hukum kodrat bersumber dari norma ilahi yang tertera di dalam naskah kitab suci. Penganut paham ini memberikan kesimpulan bahwa kebenaran dalam hukum kodrat adalah kebenaran hukum yang sesuai dengan keadilan dan tidak bertentangan dengan moral.
Hukum islam dan madzhab sejarah
Dalam perspektif kelompok masyarakat, hukum tidak berlaku universal yang berasal dari dogma agama karena setiap masyarakat mempunyai kesadaran hukum, kebiasaan dan pola yang berbeda. setiap masyarakat mempunyai jiwa bangsa masing-masing. Kearifan local atau jiwa masyarakat itu unik, memiliki karakter dan mistis sehingga tidak cukup dipahami secara rasional tetapi secara intuitif. Mazhab sejarah berargumen bahwa hukum tidak hanya produk penguasa yang tertera di dalam undang-undang tetapi hukum adalah penilaian masyarakat terhadap kebiasaan yang diyakini keadilannya.
Respon islam terhadap kearifan local lebih teruji dengan menawarkan instrument hukum berupa ‘urf (kebiasaan). Adat atau kebiasaan sangat diapresiasi oleh al-qur’an bahkan al-qur’an tidak segan-segan mengadopsi beberapa kebiasaan masyarakat arab pra-islam untuk ditetapkan sebagai hukum yang berlaku.
Hukum Islam dan Sosiological Jurisprudence
Ketegangan antara positivisme dan mazhab sejarah dapat dicairkan oleh sociological jurisprudence sebagai poros tengah. Dengan mensitensiskan kedua mazhab tersebut, sociological jurisprudence menawarkan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di tengah masyarakat. Pengkompromian tersebut terlihat jelas antara hukum yang tertulis di dalam undang-undang sebagai wujud kepastian hukum dengan hukum yang hidup di tengah masyarakat sebagai wujud penghargaan peran sosial.
Hukum Islam dan Aliran Responsif
Aliran responsive mengatakan bahwa fungsi hukum adalah untuk memanusiakan manusia. Kepastian hukum yang merupakan tujuan dari kaum positivism dikritik oleh mazhab responsive dengan mengatakan bahwa hukum tidak hanya untuk kepastian tetapi juga mensejahterakan dan memberikan kemaslahatan bagi orang banyak. Teks formal tidak dapat menjangkau keadilan tanpa menjadikan kesejahteraan sebagai basis tujuannya. Mazhab responsive mengatakan bahwa penegakan hukum era positivism tidak lagi menjadi benteng keadilan terakhir tetapi sebagai arena pertunjukan kemampuan.
Hukum Islam dan Critical Legal Studies (CLS)
Menurut kelompok cls, hukum tidak terpisahkan dari unsur politik, agama, ekonomi dan sosial budaya melainkan selalu terkait oleh faktor-faktor non-hukum tersebut. hukum merupakan produk negosiasi antar kepentingan dan golongan. Menafikan hal tersebut membuat hukum menjadi tereliminasi dari konteks sosial politiknya. Menurutnya, hukum dalam berinteraksi selalu berpihak kepada agama, ekonomi, gender, politik dan sosial. hukum yang murni dari anasir sudah tidak relevan dan hanya retorika belaka.
Hukum Islam dan Feminisme
Kelompok feminisme sejak awal telah mengkritik kelompok positivisme. Menurutnya, kaum positivism yang selalu mengagungkan kepastian hukum ternyata dalam tataran aplikatif tidak memberikan kepastian dan keadilan. Menurut feminisme, konsep perempuan harus dibedakan antara pengertian jenis kelamin konsep perempuan harus dibedakan antara pengrtian jenis kelamin dan pengertian gender. Hukum tidak lagi bersifat netral dan cenderung diskriminatif terhadap jenis kelamin tertentu. Kaum perempuan tidak hanya dirugikan dalam lingkup sosial, ekonomi, politik, agama dan rumah tangga tetapi sudah menjadi objek kekerasan alat reproduksi seksual.