DASAR EPISTEMOLOGIS
Menurut Jujun S. Suriasumantri, dasar epistemologis yaitu metode atau cara-cara mendapatkan pengtahuan yang benar. Kemudian Amsal Bakhtiar menjelaskan, emistemologis yaitu cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengadaian dan dasar-dasar serta pertanggungjawaban atas pertanyaan mengenal pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indra, dan lain-lain yang mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan. Beberapa metode itu di antaranya:
Pertama, motode indukti, yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan hasil observasi yang disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Oleh dick hartoko dikatakan, induksi berasal dari bahasa latin, inducer, yang berarti mengantarkan ke dalam, yang secara sederhanan merupakan suatu metode, khusus dalam ilmu alam, yang menuju dan menyimpulkan suatu hipotesis umum dengan berpangkal pada sejumlah gejala sendiri-sendiri. para tokoh teori ini di antaranya david hume, baco d. verulam dan john stuart mill.
Kedua, metode dedukti, yaitu suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empiris diolah lebih janjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif yaitu adanya perbandingan logis antara kesimpulan itu sendiri.
Ketiga, metode positivism, metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang factual yang positif. Mengesampingkan segala uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Apa yang diketahui secara positif, yaitu segala yang tampak dan gejala. Dengan demikian, metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi pada bidang gejala-gejala saja. Tokohnya ialah august comte.
Keempat, metode kontemplatif, metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda. Harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intiusi yang dapat diperoleh dengan berkontemplasi.
Kelima, metode dialektis atau dialaktika berasal dari bahasa yunani dialektika, yang berarti cara metode berdebat dan wawancara yang diangkat menjadi sarana dalam memperoleh pengertian yang dilakukan secara bersama-sama mencari kebenaran. Tokohnya hegel yang dlam dialektika di sini berarti mengkompromikan hal-hal mengenai tesis, anti tesis, dan sintesis.
DASAR AKSIOLOGI
Menurut Jujun S. Suriasumantri, aksiologi adalah dasar ilmu pengetahuan yang berbicara tentang nilai kegunaan ilmu. Di dalam aksiologi merupakan teori tentang nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Oleh bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian: pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosiopolitik.
Masalah utama dalam aksiologi yaitu mengenai nilai teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika menilai perbuatan manusia, sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya. Oleh karena itu, solusi bagi ilmu yang terikat dengan nilai-nilai yaitu harus ada transedensi bahwa ilmu pengetahuan terbuka pada konteksnya, dan agamalah yang menjadi konteks itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakiki-nua, yaitu memahami realitas alam dan memahami eksistensi allah, agar manusia sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan tidak hanya bertumpu pada material duniawi, tetapi harus berpijak pada nilai moral agama. ilmu pengetahuan adalah bebas nilai, maka nilai agamalah yang harus menjadi nilainya.
Menurut Hidayat, ada dua pandangan yang berlaku berkenaan dengan ilmu dalam perspektif nilai moral ini. Golongan pertama, berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontology maupun aksiologis. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berdasarkan nilai-nilai moral. Dari dua pendapat golongan di atas, kelihatannya netralitas ilmu terletak pada epistemologinya saja, artinya tanpa berpihak kepada siapa pun selain kepada kebenaran yang nyata.