Lentera Hati Bagian ke-2

Bagikan :

Imam Ghozali, Dosen STAIN Bengkalis

Tulisan yang lalu telah membahas rahasia pembuktian tentang sesuatu yang ghaib itu pasti ada. Terkadang ada yang dibuka sedikit tabir nya untuk menambah keimanan dan kebenaran hal tersebut, ada juga yang tidak diperlihatkan dan hanya bisa menyakininya melalui ciptaan-ciptaan-Nya. Apakah tersingkapnya sesuatu yang ghaib atau tidak pada diri kita adalah persoalan nomor sekian. Karena memang Tuhan memberi kelebihan-kelebihan berbeda-beda pada diri manusia. Semua tujuan sama yaitu untuk semakin menyakini keimanan dan ketauhidan kepada Allah s.w.t. Hal ini sebagaimana yang digariskan dalam Kitab Tijan Darori : “wayajibu ‘ala kulli mukallafin an ya’rifa ma yajibu, ma yajuzu wa ma yastahilu” [adalah suatu kewajiban setiap orang mukalaf untuk mengetahui sifat-sifat Allah yang wajib, jaiz dan mustahil]. Sifat-sifat Allah yang bersandar pada firman-firman-Nya adalah jalan keimanan dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya dan larangan-larangan-Nya dalam rangka menuju tahap tertinggi dalam pengabdian dan penghambaan, yaitu ikhsan.

Iman adalah pembuka pintu agama. Sebagaimana rumah yang kerkunci, maka iman telah menjadi kunci untuk bisa melihat keindahan ruang tamu, kamar, dan dan segala fasilitas yang tersedia. Memang orang beriman tidak semua melihat rumah dan segala isinya dengan kacamata yang sama. Ada yang membutuhkan proses panjang, ada juga langsung mendapatkan manisnya iman. Seorang sahabat bernama umar bin khatab adalah orang yang sangat bar-bar yang kilatan pedangnya membuat orang-orang yang melihatnya hatinya ciut “mengkered” tiba-tiba berubah seperti “anak kecil” yang membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya. Dia ambruk saat mendengar ayat-ayat Tuhan. Dia pun sempoyongan dan mencari Nabi Muhammad s.a.w. Dihadapanya, dia pun bersyahadat masuk Islam.

Jika anda membaca Novel “Moonlight On The Holy Land Palestine”, Yahya Yakhlif Sang Penulis telah mampu melukiskan tentang makna cinta kepada sesuatu yang dia cintai dengan siap menerima resiko. Bagai burung-burung putih yang bertebangan karena panik mendengar suara Bom, terbang kesana-kemari, namun kemudian tetap juga diam di tempatnya. Itulah keimanan seperti Air Laut yang mengalami pasang dan surut pada saat-saat tertentu. Namun demikian, itulah bukti bahwa iman umat manusia berkualitas. Sebab tantangan kehidupan menyadarkan kepada manusia bahwa suatu keimanan kepada-Nya adalah keimanan yang membutuhkan pembuktian melalui ujian-ujian kehidupan. Bukan Tuhan telah berfirman bahwa orang yang beriman kepada-nya diuji oleh-nya?

Setelah pengikraran sebagai bentuk keimanan, maka Tuhan memberikan teknik agar iman tersebut bertambah subur dan menghasilkan buah yang bisa dirasakan dengan nikmatnya, yaitu dalam dokument rukun-rukun Islam. Jika kita mengaku beriman kepada Allah, maka pembuktian setelah menyakini atas eksistensi-Nya, melaksanakan perintah-perintah-Nya berupa sholat dan sebagainya. Ini penting, bagaimana iman tanpa amal maka hubungan timbal balik menjadi tidak efektif. Ini seperti saat anda mencintai seorang gadis lalu dengan gagah dan penuh percaya diri mengatakan “ I Lave You” dengan sepenuh hati. Namun anda telah menyiksa diri anda sendiri dengan ucapan tersebut pada suatu hari ketika anda tidak tidak melakukan tindakan nyata pembuktian akan cinta tersebut berupa pemberian kenangan-kenangan, dan keberanian melamar sang kekasih yang anda cintai. Cinta yang bergetar saat anda mengucapkan lama-kelamaan menguap dan bisa hilang di telan masa. Orang lain pun datang dengan pembuktian yang lebih realitistis dalam wujud melamarnya. Anda rugi bukan?

Iman kita diuji oleh Tuhan dengan wujud pengabdian-pengabdian kepada-Nya. Benarkah kita beriman secara nyata kepada-nya? Jika benar seberapa bukti pengabdian dalam menjalankan perintah-perintah-nya yang dasar dalam rukun Islam dan pengembangannya dalam wujud ibadah-ibadah dan muamalah-muamalah dalam kehidupan sehari-hari? Ternyata sangat berat saat merealisasikan iman dalam perintah-perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Saat suara Adzan memanggil, kita masih menduakan-Nya, saat ada orang kesusahan, kita masih masih riang gembira tanpa sikap dan perbuatan penuh empati, saat diperintahkan untuk menyayangi sesama manusia, kita kadang berlagak sok suci, bahwa kita adalah orang yang paling benar, dan yang tidak sesuai model kita semua salah. Seolah-olah kebenaran berubah dalam bentuk keseragaman. Perbedaan telah berubah menjadi caci-makian dan permusuhan. Padahal, tuhan menciptakan kita dengan keberagaman?

Setelah melaksanakan perintah-perintah-Nya, ada dua persoalan dalam diri kita, yaitu melaksanakan sebagai suatu kewajiban dan melaksanakan sebagai sebuah kebutuhan. Kata taqwa yang sering kita dengar dalam mimbar-mimbar masjid saat pelaksaan Sholat Jum’at adalah pesan tekstual yang tertulis dalam kamus-kamus dan definisi definisi formal tentang takwa. Sang Khatib pun bingung ketika harus “menjalankan seluruh perintah-perintah-Nya dan meninggalkan seluruh larangan-larangan-Nya.” Bagaimana mungkin seseorang muslim bisa menjalankan perintah-perintah Nya secara sempurna. Persis seorang istri yang sering disebut istri sholehah yang “dianggap sempurna” yang dipresepsikan pada masa kekinian, dengan wujud tidak menolak apapun yang diminta suami nya, termasuk “memadu” istri pertama nya. Atau juga tidak boleh marah sama suaminya karena itu jalan masuk ke Neraka. Istri jadi terlihat seperti manusia yang sudah mendapat suntikan obat penurut sehingga tidak beda nya seperti robot yang mudah disuruh tanpa memperdulikan hak-hak mereka untuk membela diri dan menyuarakan isi hatinya. Padahal pada saat-saat tertentu, istri pun kadang emosi, marah dan sayang penuh dengan perhatian, sebagai wujud kenormalan manusia.

Para Istri Nabi yang sholehah dan dijamin masuk Surga hidup dengan penuh kemerdekaan. Istri-istri nabi juga pernah marah kepada nabi, dan nabi pun tersenyum kepada mereka saat mereka melampiaskan kemarahannya. Aisyah marah kepada nabi saat Khatijah disebut  oleh nya. Aisyah pun melepaskan piring dalam tanganya sehingga pecah karena nabi memuji salah satu istrinya yang cantik. Seolah-olah Aisyah akan mengatakan begini: “Tidak ada yang lebih cantik dariku”. Dalam sejarah juga kita bisa membaca bagaimana ada Sahabat Nabi datang kepada Umar bin Khatab karena persoalan Istri yang suka marah-marah kepada suaminya. Dia datang ingin curhat dan berencana ingin menceraikannya. Namun saat sampai di Rumah Umar, tiba-tiba mendengar suara wanita keras dari dalam rumah membentak Umar karena ada persoalan kebutuhan keluarga. Umar bin Khatab berkata: “Itulah tabiat perempuan, memang begitu”. Akhirnya sahabat tadi pun pulang tidak jadi menceraikan istrinya.

Ini adalah persoalan praktek pembelajaran mata kuliah “ikhsan” dalam kehidupan sehari-hari. Hidup sangat natural sekali. persoalan adalah bagian dari disain Tuhan agar manusia bisa melihat semua kejadian tersebut dengan kebesaran-Nya. Nabi ketika Perang Uhud adalah persoalan yang wajar saat darah keluar karena kulitnya tergores oleh Tombak dan Panah. Dia merasa sangat sakit. atau kisah perkawinan Ali bin Thalib dengan Fatimah Zahro yang sangat fenomenal karena di malam resepsi perkawinannya hanya ada sedikit kueh dan makanan dan tidak mempunyai baju karena keterbatasan keuangan Ali bin Abi Thalib. Tapi kenapa mereka semua disebut sebagai para kekasihnya Allah yang menjadi penghuni Surga?

Mereka telah mempraktekan ikhsan dalam beribadah. Mereka tidak hanya Sholat laksana Robot dan beragama laksanakan para ilmuwan yang Kutu Buku, tahu tapi tidak menikmatinya atau laksana orang-orang puasa, mampu puasa tapi tidak bisa merasakan kehadiran-Nya akibat tertutup oleh hidangan “teh manis”, “Kurma”, “kolak”, dan seambreg makanan yang tersedia di Meja Makan. Peringatan Tuhan atas umat Islam dengan kata-kata “pendusta agama” dan “saahun” dalam sholat bukan karena tidak mengenal agama dan bukan juga karena salah dalam menjalankan aturan sholat, tetapi karena beragama dan menjalan sholat belum bisa melihat subtansi sholat yang mampu merubah diri dalam kehidupan sosial semakin baik kepada sesama manusia dan Alam Semesta. Wallahu a’lam.


Bagikan :

Vijian Faiz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

Memaknai Timur dan Barat

Thu Sep 8 , 2022
Bagikan :Imam Ghozali, Dosen STAIN Bengkalis Indonesia sering disebut Masyarakat Timur atau Bangsa Timur. Sedangkan Bangsa Eropa disebut Bangsa Barat atau Masyarakat Barat. Kedua nya punya budaya atau perilaku berbeda-beda dengan sebutan: Budaya Timur dan Budaya Barat. Budaya Timur berarti Identitas Bangsa Timur dalam tulisan ini adalah Bangsa Indonesia. Budaya […]

Baca Juga