Imam Ghozali, Dosen STAIN Bengkalis
Ada sebuah dawuh Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w dalam Hadist Arba’in Nawawi tentang makna Iman, Islam dan Ikhsan. Dalam Hadist tersebut adalah kisah spiritual antara Nabi dan Sahabat-sahabatnya. Karena Hadist ini menceritakan tentang seseorang yang selalu bertanya kepada Nabi, tapi ketika sudah menjawab, Sang Penanya pun selalu membenarkan jawabannya. Tentu para sahabat heran. Itu sebabnya mereka bertanya kepada Nabi. Jawabanya : “Dia adalah Malaikat Jibril”.
Saya menilai ada Pelajaran yang sangat agung dari hadist nabi tersebut. Pertama, bahwa bukan hanya Nabi, tapi juga para Sahabat yang mampu melihat Malaikat dalam Hadist shoheh tersebut. Ini tentu cerita yang sudah ma’lum dan mafhum, karena peristiwa dalam realita kehidupan nabi dan para sahabat kadang terjadi peristiwa spiritual yang teraplikasikan dalam kehidupan tentang campur tangan Makhluk Ghaib sebagaimana Malaikat tadi dalam berbagai perjuangan mereka sebagaimana dicontohkan dalam Perang Badar. Tentu sangat susah untuk pembuktian, ini yang berbicara soal keimanan. Dan masalah keimanan, memang persoalan yakin dan tidak yakin. Jika kita percaya adanya Allah, orang lain tidak percaya maka itu urusan mereka. toh Allah pun sangat moderat ; “Tidak ada paksaan dalam Agama”.
Keimanan kepada yang ghaib tentang berbagai peristiwa memang menjadi ujian bagi orang-orang yang beriman. Adanya Kitab Suci yang membicarakan dengan berbagai sudut pembahasan tentang ini kadang beragam dan bertolak belakang. Sehingga ada sebagian umat Islam menolaknya, dan ada yang menerima nya. Saya kira ini persoalan yang tidak bisa dihindari sepanjang zaman. Tapi persoalanya adalah perjalanan waktu yang panjang adanya perbedaan ini, tidak juga umat beranjak dewasa untuk menerima tafsir-tafsir yang berbeda serta pengalaman spiritual yang tidak sama. Orang-orang yang sangat tekstualis dan belum juga menelusuri lorong-lorong spiritual akan menganggap kepada Kaum Spiritual sebagai bagian “omong-kosong” dan suka berhayal yang aneh-aneh. Sehingga ketika melihat orang-orang yang sedang bertawajuh dan melakukan oleh batin, lalu sebagian kelompok menganggap sebagai ibadah yang “muspro” dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara syariat.
Suatu hari saya sedang mengobrol dengan orang yang menurut saya ilmu agama nya sangat mendalam. Gelar akademiknya sudah mencapai puncak tertinggi. Mulai S1-S3 nya beasiswa di Luar Negeri pada perguruan tinggi yang sangat bergengsi. Pada kesempatan tersebut, saya mendapatkan ilmu kehidupan tentang makna pintu-pintu hati yang bisa dibuka dengan berbagai jalan. Ulama tersebut menggunakan metode membuka hati melalui mimpi.
Saya kurang begitu memahaminya. Namun kemudian Sang Ulama tersebut menjelaskan perjalanan spiritualnya. Ketika selesai S1, dia sudah menjadi PNS di sebuah Perguruan Tinggi. Beberapa tahun kemudian, dia pun mendapat beasiswa pada saat orang lain belum mendapatkan hingga mendapat titel Doktor. Kemudian dengan jujur, diapun menceritakan bahwa dirinya merasa paling hebat di antara kawan-kawan seangkatanya. Kecerdasan dan menanjak karirnya telah menyebabkan dirinya merasa sangat sempurna. Selain itu pandangan yang sangat puritan menyebabkan dirinya semakin iklusif dalam beragama dan sangat membenci amalan-amalan yang dianggap sesat dan tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Kebencian yang mendalam ini salah satu penyebab dia pun Sakit Perut dan tidak sembuh-sembuh. Dia pun bercerita telah berobat keberbagai rumah sakit terbaik, baik Dalam Negeri dan Luar Negeri. namun belum juga menemukan obat yang cocok. Sakitnya sungguh sangat menyiksa dirinya.
Suatu hari saat tidur di malam hari, dia pun bermimpi didatangi seorang Syeikh yang kemudian hari setelah menelusuri buku tasawuf syeikh tersebut adalah pendiri Toriqah Qadiriyah, yaitu Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani Al-Baghdadi. Dia merasa aneh. Sepanjang hidupnya dia menentang ajaran tersebut, tapi kenapa dalam mimpi dia mengajarkan Tarekat Qadiriyah. Pertentangan batin terjadi cukup lama. Namun dia pun mencoba menjalankan wirid yang diajarkan dalam mimpi. Setelah dilakukan dengan khusu’ dan secara terus menerus, dia pun merasa damai hatinya. Dan sungguh yang mencengangkan, dia pun lupa kalau dia sedang sakit yang tidak sembuh-sembuh. Sebab setelah rajin wiridan, rasa sakit yang dideritanya memang sudah sembuh sediakala. Hingga kini, dia pun menjadi pencinta wirid, yang sebelumnya pembenci wirid nomor wahid.
Pada pertengahan bulan Juni, saya melakukan perjalanan ke Aceh. Tepatnya menuju UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Sambil menunggu anak-anak mahasiswa menemuiku, saya pun duduk di Ruangan Ketua LP2M UIN Ar-Raniry. Ada cukup banyak dosen dari berbagai Perguruan Tinggi Agama Islam di wilayah Sumatera. Mereka berdiskusi tentang ilmu, saint dan juga kajian-kajian hati sebagai bagian pengalaman spiritual yang mereka alami. Tentu saja ini sesuatu yang menarik. Sebab di alam yang serba menuntut adanya fakta dan hal-hal yang logis, justru diantara mereka menceritakan peristiwa yang sangat irrasional. Namun hasilnya nyata.
Salah satu dosen menceritakan tentang pengalaman sakit dan koma atau tidak sadarkan diri selama satu setengah bulan di rumah sakit. orang-orang dekatnya dan keluarganya sudah sangat sedih melihat kondisinya. Namun, dia menceritakan bahwa dalam kondisi alam bawah sadar atau dalam keadaan terbaring di Rumah Sakit, Dia merasakan ada seorang guru mengajarkan pada dirinya tentang wirid-wirid menyebut nama Allah dan sholawat kepada nabi Muhammad s.a.w. maka sang dosen tadi pun mengamalkan ajaran tersebut. Dan atas berkah wirid dan sholawat, dia pun sembuh dari sakit. dan dalam sesi penutup cerita, sang dosen tadi sekarang selain menjalankan Tridarma Perguruan Tinggi, juga membantu para mahasiswa yang terkena masalah seperti kecanduan Narkoba, broken home, dan persoalan-persolan pribadi lainnya.