Oleh : Imam Ghozali
Sebenarnya saya tidak kaget terhadap gerakan-gerakan politik seperti Khilafatul Muslimin. Ini merupakan gerakan politik yang mulia yang dilakukan oleh gerakan-gerakan politik Islam sejenisnya seperti DI/TII, HTI, FPI, IMM, ISIS dan gerakan-gerakan sejenisnya yang berserakan di halaman Negara kesatuan republik Indonesia. Saya mengatakan bahwa gerakan ini mempunyai tujuan mulia, karena semua berangkat dari dalil-dalil Al-Qur’an, Al-Hadist Dan Ijma’ para ulama islam klasik yang sering ditemui dalam literatur-literatur Islam.
Suatu kerinduan kejayaan masa lalu merupakan semangat yang realistis bagi penganut agama apapun. Setiap agama menginginkan adanya kejayaan sebagai bagian dari implementasi ajaran suci yang tertuang dalam kitab-kitab nya. Sebab, menurut sebagian dari para penganutnya dengan cara mewujudkan kekuasaan di muka bumi, bentuk dari realisasi ajaran agama secara kaffah. Maka isu-isu sosial, kemiskinan, kesenjangan antara kaya dan miskin, serta isu-isu sejenisnya menjadi permainan politik untuk membangun emosi terhadap kelompok-kelompok agama yang mempunyai simpati semangat tinggi dalam kehidupan agamanya. Hanya saja, kelompok-kelompok yang mempunyai semangat keagamaan tinggi namun minim terhadap keutuhan ajaran agama itu sendiri sering menjadi korban politik yang dilakukan oleh kaum-kaum elit dan para pemodal untuk mewujudkan nafsu ingin berkuasa. Ini yang sering terjadi dalam sejarah.
Sedikit penulis merefleksi sejarah kelam politik Islam yang sering dikatakan sebagai masa permulaan Islam. Penulis sendiri terkadang “bertanya-tanya”, kenapa bisa seorang khalifah abu bakar yang menjadi pengganti imam sholat saat nabi Muhammad sakit, ketika dia menjadi khalifah tidak mau memberikan bagian “khumus” kepada Ali bin Abi Thalib yang notabene adalah orang pertama dari kalangan remaja masuk Islam dan mantu nya nabi Muhammad saw. Akibat kebijakan Abu Bakar, ekonomi putri tercinta nabi, Fatimah Zahro pun mengalami kesulitan. Suaminya harus jualan kayu bakar dan dijual ke pasar untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan membelikan “sebuah apel” untuk istri tercinta karena sedang sakit.
Penulis juga tidak pernah terlintas kematian Umar bin Khatab harus melalui peristiwa yang mengerikan. Seorang khalifah tertinggi dalam Islam, mati dibunuh oleh seorang oknum rivalitas politik. Begitu juga, kisah dramatisnya kematian Utsman bin Affan tidak bisa dihilangkan dalam catatan kelam politik khilafah yang sering dikatakan sebagai system terbaik dalam Islam dan sesuai dengan syariat Islam. Namun kenyataannya, menantu nabi ini harus mati dihunus pedang, istri nya yang ingin melindungi suaminya terbunuh. Tragisnya lagi, pemakaman Utsman bin Affan tidak ada yang mengantar ke pemakaman terakhirnya. Kerabatnya harus bersembunyi-sembunyi menunggu tengah malam agar bisa mengubur seorang sahabat yang dikenal sangat dermawan tersebut.
Penulis juga tidak pernah terlintas dalam pikiran akan terjadi pembrontakan aisyah istri nabi kepada pemerintahan Ali bin Abi Thalib, juga tidak terlintas dalam pikiran bahwa seorang penulis Al-Qur’an, Muawiyah pun melakukan kudeta kepada Ali yang diabadikan dalam sejarah Perang Siffin. Juga saya pun tidak pernah terpikir sama sekali, hanya karena perbedaan pandangan politik, pasukan Ali bin Abi Thalib terpecah menjadi dua; syiah dan khawarij. Ironisnya lagi, keduanya saling mengkafirkan, sebuah ungkapan kata atau kalimat yang diharamkan oleh agama Islam sendiri. Sebab nabi telah menjelaskan bahwa mengkafirkan kepada orang muslim berarti mengkafirkan kepada dirinya sendiri.
Imbas dari politik tersebut, kekuasaan Islam pun bercerai-berai. Memang ratusan tahun pernah mencapai puncak kejayaan dan menjadi pusat peradaban pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Keberhasilan ini salah satu faktor yaitu menerapkan sistem monarchie yang dilakukan penggantinya secara turun-menurun, bukan sistem khilafah yang diletakan dasarnya oleh khulafaurrasyidin. Namun akhirnya pun hancur ketika ada kekuatan baru dari Eropa yang terkenal dengan Perang Suci atau Perang Salib.
Ketika Islam jatuh, orang non-muslim sudah mapan membangun administrasi keilmuan. Mereka telah mampu membangun peradaban melalui kajian ilmu pengetahuan dan menjadi penguasa melalui kekuatan saint dan teknologi. Bangsa barat benar-benar lari meninggalkan Islam dari keterpurukan peradaban. Khilafah Turki Utsmani pun harus hancur oleh kekuatan Barat. Arab Saudi pun harus meminta bantuan kepada bangsa Barat untuk mendirikan Negara sebagaimana saat sekarang ini. Dan pemerintah arab pun harus menanggung beban, yaitu harta kekayaan berupa minyak bumi harus berpatner dengan amerika serikat melalui perusahaan seperti ARAMCO.
Bangsa Arab menyadari bahwa cita-cita mendirikan khilafah Islamiyah di era nation-state hanya sebuah utopia. Saat hamparan dunia sudah dikapling-kapling menjadi Negara-negara merdeka, dan saat sudah berlaku hukum international yang melindungi tanah dan tumpah darah masing-masing Negara, cita-cita khilafah semakin sulit diwujudkan. Maka bangsa Arab pun memutar haluan untuk tetap berkuasa dengan menggunakan system kerajaan yang telah dilakukan oleh pendahulunya, yaitu Khilafah Muawiyah, Abasiyyah dan Turki Ustmaniyah.
Namun semangat menghidupkan khilafah terus membara di belahan dunia dengan beragam model khilafah yang tetap mengacu kepada ajaran Islam. Indonesia di era reformasi dan digital pun terkenah virus ideology transnasional yang mewabah ke berbagai golongan mulai dari siswa, mahasiswa, dosen, dan para pegawai pemerintah maupun swasta. Semangat yang tinggi telah melahirkan gerakan-gerakan seperti DI/TII, Khlafatul Muslimin, FPI, dan HTI. Mereka punya semangat sama. Mereka juga telah membentuk sistem pemerintah yang secara hirarki sudah tersusun sistem pemerintahan mulai dari khilafah sampai para menterinya. Gerakan politik bawah tanah, yang ketika muncul di permukaan meraka sangat sopan dengan mengatakan “ Kami NKRI, tidak anti pancasila, dan tidak anti demokrasi.” Namun serapi apapun gerakan mereka akan dengan mudah dideteksi.
Sebagai penutup, jika Aisyah, Muawiyah, Ali, Syiah dan Khawarij sama-sama sedang memperjuangkan tegaknya agama Islam, namun mereka pun perang berdarah-darah. Dan perbedaan organisasi HTI, FPI, Khilafatul Muslimin adalah cermin susahnya membangun kesamaan presepsi dalam mengartikan “khilafah” dan “tegaknya agama Islam” dalam memperjuangkan politik dan praktek politiknya. Dan bisa dipastikan, diantara mereka pun bisa terjadi cakar-cakaran dan bunuh-membunuh untuk mempertahankan ide masing-masing sebagai “kebenaran mutlak” yang menjadi ciri khas politik identitas.
Sungguh saya berbangga punya Negara Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila. Semua agama bisa menjalankan agamanya masing-masing dan tidak pernah terjadi presiden Indonesia di bunuh sedemikian tragis sebagaimana pada masa khilafah. Memang Indonesia masih belum sempurna, dan tidak ada satupun Negara yang sempurna dalam perjalanan sejarah. Kesempurnaan Negara adalah suatu proses perubahan yang terus-menerus dilakukan.