Oleh: Imam Ghozali[Dosen STAIN Bengkalis]
Jika merujuk makna khilafah secara bahasa yaitu mengganti sebelumnya. Abu Bakar mengganti nabi. Orang nya disebut Kholifah. Maka berbicara sistem khilafah sebenarnya bukan mulai pada masa nabi, justru mulai pada masa Abu Bakar, diteruskan oleh Umar bin Khatab, Utsman bin Affa, dan Ali bin Abi Thalib. Keempat ini dikenal dengan Khulafaurasyidin. Jadi pada masa nabi tentu bukan disebut khilafah. Sebab nabi adalah pemimpin pertama umat Islam. Maka disini para ulama pun berdebat tentang system pemerintahan pada zaman nabi, ada yang mengatakan mirip sistem demokrasi, ada yang mirim dengan sistem teo-demokrasi. Bahkan jika dilihat dari isi Piagam Madinah atau konstitusi madinah, ada beberapa pasal yang jelas sekali adanya perlindungan terhadap kelompok-kelompok minoritas yang ada yaitu Yahudi dan Nasrani serta penganut agama lain. Mereka juga mendapatkan hak dan kewajiban sama berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sedangkan sistem Republik yang mempunyai pengertian suatu sistem pemerintahan yang berasal dari rakyat, baik secara perwakilan maupun secara langsung. Ada perbedaan dengan sistem pemerintahan khilafah, walaupun pada sisi tertentu ada kesamaannya. Perbedaanya, sistem khilafah juga yang memilih kholifahnya melalui system perwakilan sebagaimana pada masa Abu Bakar, dan Utsman bin Affan. Sedangkan pada masa Umar bin Khatab melalui penunjukan Abu Bakar, dan Ali melalui pemilihan langsung. Dan sang calon kholifahnya adalah muslim. Pada sistem Republik, tidak mensyaratkan agama tertentu kecuali jika mayoritas tersebut mempunyai satu agama atau ada mayoritas agama, walaupun tidak secara tertulis agama tertentu, namu dalam prakteknya tetap yang terpiliah adalah agama mayoritas. Contoh seperti di Indonesia.
Agak unik memang, ketika para pegiat ideologi transnasional ketika mempromosikan sistem khilafah. Mereka justru sering menggunakan dalil-dalil kenegaraan pada masa nabi yang terkenal adil dan melindungi terhadap kelompok minoritas. Kelompok ini mengemas suatu cerita khilafah seperti kerajaan di negeri dongeng, sempurna dan tidak ada cela. Padahal nabi adalah manusia biasa dalam kontek kehidupan, yang berbeda pada tataran status yaitu sebagai Nabi dan Rasulullah. Nabi pernah sakit dan kadang seharian tidak makan karena di rumah tidak ada makanan. Bahkan kadang dia harus puasa sunnah karena hari senin atau kamis tidak ada makanan untuk dimakan. Pada masa nya juga, orang-orang miskin cukup banyak. Mereka tidur di serambi masjid dan memperdalam ilmu agama [ini yang menginspirasi para ulama untuk mendirikan pondok pesantren yang hidup penuh kesederhanaan].
Para pegiat khilafah menyerukan bahwa jika sistem khilafah tegak, tidak ada kemiskinan, tidak ada pajak, tidak ada orang melarat, semua kebutuhan hidup gratis, bumi diberkahi dari segala penjuru dunia, kebutuhan melimpah. Apakah benar demikian? Apakah sistem khilafah yang dicita-citakan saat ini akan lebih hebat dari sistem pemerintahan pada zaman nabi Muhammad saw? Bukankah dalam hadist masa yang paling indah dan paling baik serta paling sholeh adalah pada masa nabi Muhammad saw? Itu lah kata nabi dalam hadist shohehnya.
Memang agak terlalu bombastis para pegiat Khilafah dalam menipu masyarakat untuk tunduk dan mengikuti kemamuanya. Sebab dalam praktek sejarah, orang-orang yang hebat seperti Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affah dan Ali bin Abi Thalib tidak ada yang mampu menciptakan suatu kejayaan yang digembar-gemborkan oleh kelompok ini. Bahkan tragis sekali, kematian para khalifah mulai dari umar bin khatab sampai kepada Ali bin Abi Thalib menunjukan kegagalan khilafah dalam menciptakan stabilitas nasional dan kemakmuran masyarakat. Begitu juga penyakit-penyakit dan wabah-wabah yang sangat mematikan pernah terjadi pada masa Umar bin Khatab, dan menyebabkan sahabat-sahabat Rasulullah meninggal dunia akibat penyakit tersebut.
Jika mengacu kepada Dinasti Umayyah, Abasiyyah dan Turki Utsmani sebenarnya lebih mengacu bukan sistem khilafah model Khulafaurasyidin, tapi lebih tepatnya sistem Kerajaan. Namun dalam dalam khasanah keilmuan islam, system tersebut juga disebut dengan Khilafah. Sehingga Khilafah menjadi bias makna nya, dan dari sini justru semakin menambahk keyakinan penulis bahwa sistem khilafah adalah buah tafsir dari para ulama dan para politikus Islam dalam rangka mewujudkan cita-cita politiknya untuk berkuasa atas nama agama.
Kebebasan Mengkritik Pemerintah
Sistem Khilafah dan sistem Republik mempunya model yang berbeda dalam menerima kritik. Jika pada masa khilafah khulafaurasyidin sistem mengkritiknya yaitu dengan cara bertemu langsung kepada khalifah. Namun jika sudah memuncak, kritik nya dalam bentuk kudeta, yaitu melakukan penggulingan kekuasaan sebagaimana yang dilakukan mulai pada masa Umar bin Khatab sampai pada masa Ali bin Abi Thalib. Sedangkan kritik pada masa dinasti umayyah dan abasiyyah masih sama, namun karena semakin maju sistem administrasi negara, maka para pengkritik sering mendapatkan penganiayaah atau mendapat hukuman kurungan sampai pada pembunuhan. Para pengkritik yang melebihi batas, biasanya melakukan tindakan makar dan berusaha menggulingkan pemerintahan yang sah, baik berasal dari internal maupun eksternal. Maka jangan heran apabila Kerajaan Arab Saudi saat sekarang ini menjebloskan ratusan pendakwah dan imam ke dalam penjara akibat mengkritik terhadap pemerintah Arab Saudi.
Sistem Republis saluran mengkritik diatur oleh Undang-Undang yaitu melalui lisan dan tulisan. Setiap warga negara diperbolehkan untuk mengkritik dengan berbagai media baik melalui media massa, media sosial dan melakukan demonstrasi di jalan-jalan sebagai wujud kepedulian terhadap kebenaran dan keadilan. Dalam sistem Republik dalam proses mengkritik sering terjadi kerusuhan antara aparat keamanan. Hal ini disebabkan adanya kesalahan yang bisa juga dilakukan oleh kedua belah pihak diakibatkan tidak patuh terhadap aturan-aturan mainya. Walaupun demikian, dalam negara sistem Demokrasi atau Republik, jarang sekali terjadi kudeta. Sebab adanya pembatasan kepala negara yang memberikan jalan bagi masyarakat untuk menggunakan kritik nya dengan tidak memilih lagi menjadi kepala negara di Pemilu yang akan datang.
Dari sini sebenarnya penulis bisa melihat bahwa baik tidaknya sebuah sistem sebenarnya bukan semata-mata mengikuti sejarah masa lalu dan diterapkan pada masa saat ini. Sistem yang baik adalah sistem yang bisa melindungi masyarakat dan mampu menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Dan tidak boleh dilupakan, sistem negara dan pemerintah juga harus mengacu kepada kesepakatan mayoritas sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw ketika di Madinah.