
KENAPA NU MEMILIH PANCASILA ?
Imam Ghozali
Kenapa NU memilih Pancasila ? Kenapa tidak memilih ideologi lain, entah itu Komunis, Kapitalis, Fasis atau juga ideologi Agama? Saya sebagai warga NU gampang saja menjawabnya, bahwa “NU itu istiqomah dalam berbangsa dan bernegara. ” Lhoo apa sih untungnya bagi NU mempunyai sifat seperti itu? Saya justru ganti bertanya: “Memangnya apa untung bagi anda mengacak-ngacak ideologi Pancasila dan ingin mengganti ideologi yang kelihatan casing bagus, tapi malah menjadi negara semakin semrawut?” Persoalan negara dan bangsa bukan persoalan untuk dan rugi dalam hitungan materi, tapi mempertahankan eksistensi negara dan bangsa adalah ijtihad dan jihad yang dibenarkan dalam agama. itulah kehadiran NU di negara Indonesia.
Hubungan NU dan Pancasila sebenarnya sudah final. Perjuangan panjang NU untuk meletakan pancasila sebagai ideologi merupakan ijtihad dan jihad kebangsaan sebagai perekat bangsa dan negara. IdeologI Pancasila merupakan satu-satu pilihan ideologi bangsa dan negara Indonesia. Sehingga tidak perlu lagi ditafsir ulang menjadi menjadi Trisila atau Ekasila. Pancasila juga tidak perlu ditafsirkan menjadi ideologi kiri yang berhaluan Komunis atau ideologi kanan yang melahirkan ideologi Pancasila bersyariah. Pancasila juga tidak perlu ditafsirkan menjadi ideologi kapitalis, yang bajunya merk Pancasila tapi segala kebijakannya hanya menguntungkanya kaum elit dan konglomerat semata. Pancasila juga jangan dijadikan tafsir untuk melegitimasi pembenar atas sikap otoriter penguasa, dan memasung kebebasan masyarakat. Pancasila yang diinginkan oleh NU adalah Pancasila adanya implementasi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan setiap kebijakan pemerintah. Sehingga arah perjuangan menuju bangsa yang adil dan makmur yang berketuhanan bisa terwujud dengan baik.
Penulis menilai, pemikiran para tokoh NU sangat jelas,Pancasila tidak ada persoalan sama sekali. Dia bukan agama, dan tidak mungkin di-agama-kan. Agama juga bukan Pancasila yang tidak mungkin di-pancasila-kan. Ada wilayah-wilayah sendiri. Pancasila sebagai titik temu dalam membangun program dari visi misi bangsa dan negara pada masyarakat yang beragam. agama mengawal visi misi tersebut selaras dengan nilai-nilai subtansional agama itu sendiri. Jadi, garis perjuangan nu terhadap ideologi pancasila jelas, bahwa Pancasila yang diinginkan oleh NU, bukan model Soekarno, Yamin, Soepomo, tapi Pancasila hasil ijtihad bersama yang melahirkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Itu sebabnya, merubah nama Pancasila menjadi Ekasila, Trisila atau Pancasila yang melahirkan jargon NKRI ber-syariah merupakan perbuatan yang jelas ingin merubah ideologi negara dan bangsa. Jelas ini persoalan yang serius.
Dikatakan persoalan serius karena melihat fakta sejarah. Pancasila pernah mengalami persoalan keruwetan ideologi karena kemasukan pemikiran dan penterjemahan disesuaikan selera politik para rezim. Pancasila sebagai kepentingan politik praktis sudah berlangsung cukup lama. Penafsiran Pancasila telah disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI mengalami berbagai perubahan. Pada 27 Desember 1949 berlaku Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat). Pada 17 Agustus 1950 berlaku konstitusi sementara yang berasas Demokrasi Liberal. Pada 5 Juli 1959 terjadi Dektrit Presiden. Kedudukan Presiden absolut. Presiden secara totalitas mengendalikan kekuasaan negara, baik Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Pada periode ini juga, Ideologi Pancasila dirancang oleh PKI, yaitu digantinya dengan Ideologi Manipol Usdek serta konsep Nasakom, (kaelan, 2003: 28-53), pelaksanaan Demokrasi Terpinpin dimana Presiden membentuk MPRS dan DPAS dengan Penpres Nomor 2 tahun 1955, dan penentuan jabatan Presiden seumur hidup (titik triwulan tutik, 2005: 79-80).
Politik kekuasaan berlanjut pada era Orde Baru. Pelaksanaan Ideologi Pancasila sebagai topeng untuk melanggengkan kekuasaan. Pemerintahan di bawah Soeharta melahirkan ketidakseiimbangan dan ketidak adilan terhadap wong cilik dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain selama kurun waktu 1966-1998 telah melahirkan hukum yang diskriminatif, sementara KKN terus mewarnai kehidupan dalam bernegara. Hukum dimanipulasi menjadi hamba sahaya segelintir penguasa dan pengusaha, pemanipulasian ini terjadi, Presiden Soeharto menghuasai nyaris semua kekuasaan negara (Denny Indrayana, Jurnal Konstitusi, 2004).
Saat ini sudah memasuki era reformasi yang pembuka kran kebebasan dimulai pada 1998. Gerakan ini wujud dari kegundahan bangsa ini terhadap ideologi Pancasila yang mandeg diamputasi oleh para rezim. Saya menilai, NU menginginkan ideologi sebagai ideologi yang mampu merespon setiap perubahan yang mengarah kepada cita-cita ideologi itu sendiri, adil dan makmur. Jadi Pancasila itu ideologi terbuka, bukan tertutup dan jumud. Bentuk keterbukaan tentu saja mampu mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Pertama, praktek Ketuhanan Yang Maha Esa bukan hanya diwujudkan dalam bentuk formalitas belaka dalam bentuk ritualitas para pejabat untuk sumpah jabatan dengan membawa kitab suci, atau ritualitas dalam melaksanakan ibadah tapi kering terhadap esensi agama itu sendiri. Kepercayaan kepada Tuhan justru dijadikan tameng untuk melakukan kejahatan karena Tuhan itu sendiri bersifat pemaaf dan Pengampun. Akibatnya, bangsa ini sudah biasa mempermainkan Tuhan dalam sujudnya dan dalam kebijakan sebagian para penguasa.
Kedua, praktek kemanusiaan bukan sebatas pada tataran memanusiakan keluarga, relasi dan kawan terdekat semata. Kemanusiaan bukan hanya sebatas memberi bantuan beras satu kilo yang dipublikasi pada media massa sebagai wujud punya hati dan perasaan. Sila kemanusiaan adalah pada diri penguasa yang ada dalam pikiran, perasaan dan perbuatan merupakan wujud kebijakan yang membela kepentingan manusia secara menyeluruh tanpa melihat suku, etnis, agama dan budaya. Sebab Tuhan menghadirkan keberagaman tersebut agar para penguasa terbuka hatinya untuk bisa menjaga amanah keberagaman yang diberikan Tuhan untuk dijaga, dirawat dan dimulyakan dalam kebijakan-kebijakannya.
Ketiga, praktek persatuan adalah persatuan kepentingan bersama bukan kelompok. Persatuan yang benar adalah persatuan dalam perbedaan, bukan persatuan yang melahirkan tirani mayoritas atau tirani minoritas. Persatuan itu laksana seperti tubuh kita sendiri, berbeda fungsi mempunyai satu tujuan yaitu mewujudkan cita-cita bersama. Karenanya, hal yang tidak mungkin kita akan menyakiti diri sendiri, sebab saat yang sama anggota lain pun akan merespon dengan tangisan dan kesakitan.
Keempat, praktek kerakyatan adalah praktek demokrasi partisipasi yang menjunjung tinggi moralitas agama, budaya dan juga nilai-nilai positif bangsa ini yang agung, berupa hikmah dan bijaksana. Proses demokrasi seperti ini adalah demokrasi yang diwarnai oleh perilaku yang orientasinya untuk kepentingan bersama, bukan golongan, dan juga bukan semata-mata mencari kekuasaan. Karenanya, seharusnya demokrasi diwujudkan dalam kegembiraan, bukan dalam wujud kebencian dan pengrusakan.
Kelima, praktek keadilan sosial ini adalah wujud adanya bangsa dan negara ini. Keadilan sosial merupakan barometer Ideologi Pancasila itu sendiri. Artinya, bahwa bangsa yang beragama harus mempunyai sifat kemanusiaan yang menegakan persatuan dengan cara bernegara secara demokratis yang hikmat dan bijaksana. Keempat tangga Sila Pancasila tersebut jika dilakukan secara benar akan melahirkan suatu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Senin, 15 Juni 2020
Vijian Faiz