Oleh : Mardio
- PENDAHULUAN
Pandangan al-Quran tentang anak secara global dapat diformulasikan dalam prinsip bahwa anak tidak menjadi sebab kesulitan atau kesengsaraan orang tua, dan orang tua tidak menjadi penyebab kesulitan dan kesengsaraan anak-anak, kebahagiaan dalam keluarga akan lengkap jika dianugerahkan seorang anak, semua orang tua pasti mengharapkan anaknya yang saleh dan salehah, Anak merupakan karunia Allah SWT., yang sangat besar nilai dan fungsinya bagi kehidupan keluarga, sumber kebahagiaan keluarga, karunia Allah, penerus dari keturunan, pelestarian pahala orang tua,dan merupakan amanah Allah SWT. Maka setiap orang tua senantiasa selalu bersyukur apabila telah dikaruniai anak dan menyadari bahwa anak adalah amanat yang dititipkan oleh Allah SWT., kepada orang tuanya.
Anak menurut arti kata adalah keturunan yang kedua, dan menurut istilah adalah keturunan yang lahir dari induknya merupakan hasil proses pembuahan dari lawan jenisnya. [1] berdasarkan keterangan yang ada didalam naṣ-naṣ islam kita mengetahui bahwa seorang anak hakikat nya adalah: sumber kebahagiaan keluarga, karunia Allah, penerus garis keturunan, pelestari pahala orang tua , amanat Allah, anak adalah batu ujian keimanan orang tua, anak adalah orang yang dianggap belum mampu bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dibawah tanggung jawab orang lain, yaitu keluarga (orang tua).[2]
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia orang tua adalah ayah ibu kandung, orang tua yang dianggap tua (cerdik, pandai, ahli dan sebagainya dan dihormati)15yang merupakan guru atau contoh utama untuk anak-anaknya karena orang tua yang menginterpretasikan tentang dunia dan masyarakat pada anak- anaknya.[3]
Orang tua yang shaleh merupakan contoh suri tekadan yang baik bagi perkembangan jiwa anak yang sedang tumbuh, karena pengaruh mereka sangat besar sekali dalam pendidikan anak, apabila orang tua sudah berakhlak baik, taat kepada Allah dan menjalankan syariat islam dan berjuang sepenuhnya dijalan Allah serta memiliki jiwa sosial , maka dalam diri anak pun akan terbentuk dan tumbuh ketaatan pula dan mengikuti apa yang telah dicontohkan orang tuanya dalam perilaku mereka sehari-hari.[4]
- PEMBAHASAN
- Kedudukan Anak dalam al Qur’an
- Anak Sebagai Perhiasan
Anak adalah sebuah perhiasan, salah satu buktinya adalah ketika orang tua medapatkan anak begitu menyenangkan hatinya sehingga disebut-sebut sebagai buah hati. Hal itu sebagaimana yang diungkapkan dalam firman Allah surat al Kahfi ayat 46 :
اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَالْبٰقِيٰتُ الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ اَمَلًا
Artinya : “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, sedangkan amal kebajikan yang abadi (pahalanya) adalah lebih baik balasannya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.
Dalam kitab Tafsir al Misbah, Muhammad Quraisy Syihab berkata, bahwa harta benda dan anak merupakan keindahan dan kesenangan hidup kalian di dunia. Akan tetapi semuanya tidak ada yang abadi, tidak ada yang langgeng, dan pada akhirnya akan musnah. Kebaikan- kebaikan yang kekal adalah yang terbaik untuk kalian di sisi Allah. Allah akan melipatgandakan pahalanya dan itulah sebaik-baik tempat menggantungkan harapan bagi manusia. Dalam kitab Tafsir Jalalain dijelaskan bahwa amalan-amalan yang kekal lagi saleh) yaitu mengucapkan kalimat: Subhaanallaah Wal Hamdulillaah Wa Laa Ilaaha Illallaah Wallaahu Akbar, menurut sebagian ulama ditambahkan Walaa Haulaa Walaa Quwwata Illaa Billaahi.
Dalam ayat ini, anak diposisikan sebagai perhiasan dan kekayaan dunia bagi orang tuanya. Layaknya perhiasan dan kekayaan, anak diperlakukan, dijaga, bahkan disayang sebaik-baiknya oleh para orang tua. Kaitan dengan tipikal ini, anak disejajarkan dengan perhiasan dan kekayaan dunia yang lainnya, sebagaimana yang diisyaratkan dalam ayat yang lain. Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga),
- Anak sebagai fitnah
Menurut Hamzah Hasan anak dapat dikatakan bisa sebagai musuh atau sebagai fitnah ketika anak sudah tidak lagi diposisikan secara proposional atau ketika anak sudah berubah peran menjadi pemicu fitnah dan permusuhan hal ini sama seperti emas dan berlian ketika jatuh ditangan penjahat maka fungsinya sudah tidak lagi ternilai, sebagaimana sudah dikatakan sebelumnya bahwa anak dapat membuat orang tua jauh dari mengingat Allah.[5] Allah Swt berfirman dalam surat at Taghobun ayat 15 :
اِنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌ
Artinya : “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu). Di sisi Allahlah (ada) pahala yang besar”.
Dalam kitab Tafsir Jalalain dijelaskan bahwa sesungguhnya harta kalian dan anak-anak kalian hanyalah cobaan) bagi kalian yang melupakan kalian dari perkara-perkara akhirat (dan di sisi Allah lah pahala yang besar) maka janganlah kalian lewatkan hal ini, karena kalian sibuk dengan harta benda dan anak-anak kalian.
Dari penjelasan di atas, harta dan anak akan menjadi fitnah atau cobaan, ketika harta dan anak menjadi sebab melupakan pada akhirat. Ketika harta dan anak bias dijadikan wasilah untuk meraih akhirat tentu tidak menjadi fitnah, akan tetapi menjadi kendaraan yang bisa menghantarkan pada kebahagiaan akhirat.
- Anak sebagai penenang hati, penyejuk jiwa, dan pemimpin orang-orang yang bertakwa.
Hal itu sebagaimana terungkap dalam doa yang dijelaskan dalam surat al Furqon ayat 74, Allah Swt berfirman.
وَالَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا
Artinya : “Dan, orang-orang yang berkata, “Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami penyejuk mata dari pasangan dan keturunan kami serta jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”
Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka ingin memperoleh keturunan yang selalu mengerjakan ketaatan kepada Allah sehingga hati mereka menjadi sejuk melihat keturunannya dalam keadaan demikian, baik di dunia maupun di akhirat. Anak yang bisa menjadi penenang hati penyejuk jiwa adalah anak-anak yang selalu dalam ketaatan kepada Allah. Karenanya menjadi tugas orang tua untuk membekali anaknya ilmu agama sebagai bekal untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah.
- Anak sebagai musuh
Dalam surat at Taghobun ayat 14 Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ مِنْ اَزْوَاجِكُمْ وَاَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْۚ وَاِنْ تَعْفُوْا وَتَصْفَحُوْا وَتَغْفِرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka, berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Jika kamu memaafkan, menyantuni, dan mengampuni (mereka), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Sebagian mufasir menjelaskan, maksud sebagai musuh di sini adalah menjadi pihak yang menghalang-halangi jalan Allah, merintangi jalan ketaatan kepada-Nya. Maka hati-hatilah agar tidak dijerumuskan oleh mereka. Ini pula yang terjadi pada sejumlah sahabat yang ingin berhijrah mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun dihalang-halangi oleh anak-istri mereka. [6]
Namun, mufasir lain mengemukakan, maksud sebagai musuh di sini adalah musuh seperti yang terjadi pada hari Kiamat, dimana antara orang tua dan anak, antara seseorang dengan kerabatnya tidak hanya dipisahkan, tetapi juga bermusuhan, bahkan saling gugat dan menyudutkan, akibat hak masing-masing tidak dipenuhi, kezaliman di antara mereka sewaktu di dunia, dan seterusnya.
- Hak-hak Anak dalam al Qur’an
Orang tua sebagai orang yang diberi amanah memiliki kewajiban untuk memenuhi setiap hak yang dimiliki anak agar dapat mendukung perkembangan anak dengan baik sehingga menumbuhkan karakter anak yang berakhlak mulia dan memegang teguh prinsip-prinsip ajaran Islam. Anak bukan hanya merupakan aset tidak ternilai bagi orang tua, masyarakat dan bangsanya, tetapi anak juga sebagai pemilik masa depan.
Oleh karena itu anak perlu dibimbing, dididik dan ditumbuhkan secara optimal baik secara fisik, mental spiritual, moral maupun intelektualitasnya. Anak adalah pewujud peradaban bangsa dan calon penerus generasi tua yang harus dipersiapkan agar menjadi generasi yang cerdas secara intekletual dan spiritual sehingga menjadi anak yang berkualitas.[7] Ada beberapa hak anak dalam al Qur’an, diantaranya:
- Hak Memperoleh Nasab (Identitas diri)
Setiap anak berhak memperoleh pengakuan dalam silsilah keturunan (nasab). Hal ini akan menciptakan pengakuan yang jelas dari masyarakat, yang akan memperkuat perasaan tenang bagi anak karena ia benar-benar berasal dari keturunan. Hal ini sesuai dengan surat al-Ahzab ayat 5, yang jika diartikan bermakna sebagai berikut:
اُدْعُوْهُمْ لِاٰبَاۤىِٕهِمْ هُوَ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ ۚ فَاِنْ لَّمْ تَعْلَمُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ فَاِخْوَانُكُمْ فِى الدِّيْنِ وَمَوَالِيْكُمْ ۗوَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيْمَآ اَخْطَأْتُمْ بِهٖ وَلٰكِنْ مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوْبُكُمْ ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
Artinya : “Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak mereka. Itulah yang adil di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak mereka, (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
- Memperoleh Penyusuan (Radha’)
ASI merupakan nutrisi yang terbaik untuk bayi. ASI merupakan hak seorang anak. Seorang anak yang telah dikandung dan dilahirkan oleh ibunya, maka merupakan hak baginya untuk dijaga keberlangsungan hidupnya, antara lain dengan disusui. Pengaturan tentang hak Si Kecil yang satu ini dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 233:
۞ وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ
Artinya : “Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut.
Muhammad Quraisy Shihab mengatakan, bahwa Teks al-Qur’ân menegaskan kewajiban menyusui ada pada ibu, bukan pada orang lain. Menyusukan anak kepada orang lain hanya boleh dilakukan bila si ibu tidak mampu melakukannya. Ahli-ahli fikih telah sepakat mengenai kewajiban menyusui anak pada ibu. Sebab, air susu ibu adalah makanan alami bagi bayi, karena sangat sesuai dengan kebutuhan hidup bayi pada masa itu. Air susu ibu dapat bertambah banyak seiring dengan bertambah besarnya bayi. Selain itu air susu ibu juga memiliki kandungan yang bermacam- macam sesuai dengan kebutuhan bayi. Menyusui anak akan bermanfaat bagi si ibu, dan tidak merugikannya kecuali dalam hal-hal tertentu. Menyusui dapat memperbaiki kondisi kesehatan bayi secara umum melalui perangsangan pertumbuhan sistem pencernaan dan merangsang untuk mendapatkan zat-zat makanan yang dibutuhkan bayi. Di samping itu menyusui juga bermanfaat bagi sang ibu, karena dapat mengembalikan alat reproduksinya kepada kepada keadaan semula setelah proses kelahiran. Ilmu kedokteran modern membolehkan secara berangsur-angsur menyapih anak bayi di bawah dua tahun kalau bayi itu memiliki kesehatan yang memadai.
- Hidup dan Tumbuh Berkembang
Di dalam Islam, menjaga kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak adalah keharusan bagi setiap orang tua. Meremehkan atau mengendorkan pelaksanaan pemberian hak ini dianggap sebagai suatu dosa besar. Hak anak untuk hidup dan terus berkembang ini dijelaskan dalam surat al-An’am ayat 151 yang berbunyi:
قُلْ تَعَالَوْا اَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ اَلَّا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًاۚ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُمْ مِّنْ اِمْلَاقٍۗ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَاِيَّاهُمْ ۚوَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَۚ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ
Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Kemarilah! Aku akan membacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu, (yaitu) janganlah mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baiklah kepada kedua orang tua, dan janganlah membunuh anak-anakmu karena kemiskinan. (Tuhanmu berfirman,) ‘Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.’ Janganlah pula kamu mendekati perbuatan keji, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah, kecuali dengan alasan yang benar. Demikian itu Dia perintahkan kepadamu agar kamu mengerti.
- Mendapatkan Keadilan dan Persamaan Derajat
Dalam surat al Hujarat ayat 13, Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya : “”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan; dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.Sesunggguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Dari ayat ini, sudah jelas bahwa Islam memandang semua manusia, baik itu pria dan wanita, memiliki derajat yang sama di sisi Allah SWT. Ini termasuk untuk anak-anak. Meskipun masih kecil, mereka juga berhak mendapatkan keadilan dan persamaan derajat
- Mendapat Perlindungan dari Api Neraka
Allah SWT secara tegas mengingatkan kepada para orang tua untuk terus melindungi dan menjaga diri dan keluarganya, termasuk anak-anaknya, dari siksa api neraka di dalam surat at-Tahrim ayat 6:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman agar menjaga dirinya dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, dengan taat dan patuh melaksanakan perintah Allah. Mereka juga diperintahkan untuk mengajarkan kepada keluarganya agar taat dan patuh kepada perintah Allah untuk menyelamatkan mereka dari api neraka. Keluarga merupakan amanat yang harus dipelihara kesejahteraannya baik jasmani maupun rohani.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mahally, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin As-suyutti, Tafsir Jalalain
Berikut Asbab An-nujulnya, Jilid I Bandung,: Sinar Baru, 1990
Hamzah Hasan , melejitkan tiga potensi dasar anak agar menjadi shaleh dan cerdas, Jakarta: Kultum Media, 2009
Ibnu Anshori, Perlindungan Anak Dalam Agama Islam, Jakarta: KPAI, 2006
Moh.Luthfi Nurcahyono “ Pandangan terhadap anak dalam ajaran islam”, Jurnal, vol 01, no 02 diterbitkan 2013
Muhammad Nūr ʾAbdul Hᾱfiz Mendidik anak bersama Rasulullah, Kairo: Dᾱr al- ṬibᾱʾAH wa al-Nasyr al-Islamiah,1988
Qurais Shihab, Muhammad, Tafsir al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, Vol 2 Jakarta: Lentera Hati, 2009
Rahmat Rohadi Pendidikan islam dalam Pembentukan Karakter Anak Usia Dini, Konsep dan Praktik Paud Islami Jakarta: Rajawali Press, 2013
Tafsir at-Thabari, Terbitan Muassasah ar-Risalah, 1420 H, Cet. Pertama, jilid 23
[1] Moh.Luthfi Nurcahyono “ Pandangan terhadap anak dalam ajaran islam”, Jurnal, vol 01, no 02 diterbitkan 2013, h 148-154.
2 Rahmat Rohadi Pendidikan islam dalam Pembentukan Karakter Anak Usia Dini, Konsep dan Praktik Paud Islami (Jakarta: Rajawali Press,2013) cet.1, h.33.
[3] Ika Istiani Pengaruh peran Orang Tua dan spiritual terhadap kekerasan remaja di SMP Negeri 2 Rembang Kabupaten Purbalingga (Purwokerto:UMP Fakultas Ilmu Kesehatan,2013), h.12.
[4] Muhammad Nūr ʾAbdul Hᾱfiz Mendidik anak bersama Rasulullah (Kairo: Dᾱr al- ṬibᾱʾAH wa al-Nasyr al-Islamiah,1988) cet.II ,h. 65.
[5] Hamzah Hasan , melejitkan tiga potensi dasar anak agar menjadi shaleh dan cerdas
(Jakarta: Kultum Media, 2009), cet I hal 11.
[6] Tafsir at-Thabari, Terbitan Muassasah ar-Risalah, 1420 H, Cet. Pertama, jilid 23, h. 423
[7] Ibnu Anshori, Perlindungan Anak Dalam Agama Islam, (Jakarta Pusat: KPAI, 2006), 15