Jatuh Cinta di Masjid Nabawi

Bagikan :

Imam Ghozali, Dosen STAIN Bengkalis

Sholat subuh pertama di Masjid Nabawi masih terasa dingin. Hembusan angin kering sangat terasa  masuk ke telinga. Untung saja, saya menggunakan baju tiga lapis, dan menggunakan kaus kaki, dingin pun sedikit berkurang. Waktu itu sempat berfikir, kalau sampai hanya satu lapis, pagi itu saya mungkin sudah masuk angin.

Sambil menunggu sholat subuh, tasbih di tangan terus berputar. Sepanjang waktu saya senantiasa membaca sholawat. Entah sudah berapa ratus, mungkin juga sudah ada seribu lebih. Waktu itu saya merasa tidak bosan menyebut nama Rasulullah yang agung, sebagai bagian cara mencintai Rasulullah s.a.w.

Saat saya berdiri dan terus membaca sholawat, datang orang Arab berbadan tinggi dan sangat tampan. Dia berdiri di antara saya dan Gus Hamim. Dia tersenyum kepada ku, dan memegang dadaku dengan mengucapkan kalimat Arab ‘ajam sebagai ekspresi cinta kepada saudara seiman. Saya  terasa aneh dan bertanya-tanya dalam hati tentang perilaku yang bagi saya tidak umum. Tapi, lama-kelamaan saya semakin melihat perilaku yang terlihat aneh-aneh lain dalam mengekspresikan kecintaan kepada Rasulullah s.a.w.

Ada seorang wanita memakai baju dan jilbab hitam. Wajah kuning lebih mendekat putih dan matanya sipit. Umur sekitar 40 tahun. Saya melihat ada tetesan air mata rindu yang sangat dalam dengan memposisikan tubuh menghadap ke makam Rasul. Ada juga seorang pemuda perawakan orang-orang Timur Tengah. Umur sekitar 25 tahunan. Mulut tak berhenti komat-kamit dan mengatupkan tangan nya di mulut dan bersikap khusu’ memandang arah Makam Rasul.

Ketika masuk Nabawi yang dekat Raudhah, saya melihat orang tua,berbadan tinggi dan jenggotnya sudah memutih. Dia tidak sholat, tapi hanya duduk bersandar. Beberapa saat kemudian, dia mengeluarkan beberapa Gelas Atum putih. Setiap gelas diisi Roti kering kasar dan beberapa kurma. Lalu di bagi kepada beberapa orang di sekitarnya. Setelah selesai, dia pun mengambil beberapa gelas putih dan mengisi air zam-zam. Lalu dia pun berdiri membagikan ke beberapa jamaah di sekitarnya.

Ada juga dan ini yang paling sering adalah para Jamaah yang berbadan besar dengan santai nya melangkahi orang-orang yang sedang duduk ataupun yang sedang sholat. Ketika kaki nya menyenggol agak keras menurutnya, dia pun tidak segan-segan meminta maaf dengan bahasa isyarat. Saat mereka tidak mendapatkan tempat duduk karena sudah penuh, kadang mereka pun tetap masuk membelah barisan yang sudah sempit dengan mengucapkan kalimat “shola”, yang mempunyai maksud, dia akan melaksanakan sholat sunnah. Orang disekitar pun mema’luminya dan memberi ruang untuk sholat. Saya mencoba menerapkan teorinya ketika tidak mendapatkan shaf duduk, ternyata efektif untuk mendapatkan tempat duduk.

Ketika saya pergi ke Raudhah ada ribuan cara mengekspresikan cinta kepada Rasul. Ada yang kucing-kucingan dengan polisi dengan model ikut rombongan lain agar bisa masuk ke Raudhah. Ada yang sebaliknya karena takut menyakiti orang lain. Ada yang model menerobos, namun kena peringatan polisi dengan ucapan “haram, haram”. Ada yang menenteng Sandal dan tidak mau memakainya karena menghormati dan mengagungkan nabi. Ada juga yang memang tidak mau mendekat dan memberi penghormatan melalui jarak yang cukup jauh dari Raudhah, tapi mulutnya terus membaca sholawat kepadanya. Ada yang menangis sesenggukan laksana seorang anak meminta mainan kepada orang tuanya. Ada juga hanya berjalan-jalan dengan ekspresi biasa-biasa saja.

Semua adalah tamu nya Rasulullah s.a.w. sudah ma’lum, karena banyak tamu banyak juga yang tingkah atau perilakunya. Ada tamu yang model cara duduknya dengan sikap tawadhu dan memakai baju rapi dan sopan, ada yang terlihat grusa-grusu mengambil makanan dan minuman, ada juga yang kakinya menendang piring dan gelas sehingga pecah, ada juga yang berleha-leha di Dinding Rumah. Apapun bentuk perilaku para tamu, Rasulullah tetap tersenyum dan sangat menyayangi umatnya. Mereka datang sowan kepada Nabi karena cinta kepadanya dan Rasulullah pun mencintai kita semua.

Cinta memang tidak mengenal regulasi normatif. Aturan cinta adalah aturan subtantif yang mempunyai madzab tersendiri. Bahasa cinta yang tahu adalah mereka yang sedang jatuh cinta. Itu sebabnya, apapun perilaku umat Rasulullah semuanya tetap menyenangkan bagi kita walaupun melanggar batas-batas normatif yang sering kita kenal dalam kehidupan sehari-hari.

Semoga jamuan cinta dari Rasullah mampu membentuk pribadi kita menjadi hamba yang senantiasa mampu menebarkan cinta dan kedamaian terhadap sesama manusia.


Bagikan :

Vijian Faiz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

Mengenal Diri

Sat Dec 10 , 2022
Bagikan :Imam Ghozali, Dosen STAIN Bengkalis Saya mendengar dengan khusus ustadz Ahmad menerangkan tentang tatacara memakai Baju Ihram dan kemudian memulai memakainya, yaitu di di Masjid Bir Ali. Masjid ini terletak 11 kilometer dari Masjid Nabawi. Di Masjid ini para jamaah Umrah memulai memakai kain Ihram, yaitu kain yang tidak […]

Baca Juga