Imam Ghozali, Dosen STAIN Bengkalis
Pada hari Selasa di Wisma Pertamina saya bertemu pak Musa Ismail, seorang penulis produktif dari Bengkalis. Obrolan ini terjadi pada tanggal 15 November, bertepatan Presiden Joko Widodo membuka forum G20 di Bali. Tentu saja pertemuan ini tidak ada kaitannya sama sekali dan tidak akan membahas politik tentang persoalan “ghodob” Volondymyr Zelenskyy kepada utusan Rusia, yang dianggap telah melakukan dosa besar kepada Ukraina dan mendesak anggota G20 agar Rusia melakukan taubatan nasuha. Tulisan ini juga tidak akan membahas gesture tubuh SBY dan Megawati yang terlibat sama-sama “serba salah” atau “salah tingkah”, sehingga perlu meredamnya dengan cara ngobrol dengan orang lain untuk menurunkan gejolak di dada. Namun terlepas kesalahan penilaian saya, tetap moment ini telah sedikit membuat hatiku terasa damai. Semoga nanti ada pertemuan lanjutan yang lebih mesra lagi.
Dalam obrolan ringan kami berbicara dan diskusi seputar pentingnya dunia tulis-menulis dalam menjaga kelestarian peradaban manusia. Tanpa ada tradisi ini, peradaban bisa terputus. Ternyata benar, diskusi ini dibahas lagi sekitar jam 11.30 an. Para senior seperti Prof. Samsul Nizar dan Buya Amrizal mengalami kegelisahan yang sama, yaitu sulitnya melacak masa lalu peradaban. Penyebabnya antara lain kurangnya tradisi menulis atau meneliti di kalangan generasi muda. Akibatnya, orang-orang besar yang pernah ada pada masa lalu yang saat sekarang ini yang telah menjadi nama jalan, nama gedung dan sebagainya lama kelamaan bisa menjadi mitos. Jika ini terjadi, hal yang tidak mungkin akan hilang tergerus oleh perubahan zaman. Ini yang sebenarnya yang sangat ditakutkan ketika berbicara tentang kelangsungan suatu peradaban.
Ada beberapa Negara besar yang kehilangan konektivitas peradaban seperti Negara Turki. Akibat adanya sekularisme pada masa Mustafa Kemal Ataturk, seluruh document ilmu pengetahuan dan tradisii Islam diberangus sampai pada akar-akarnya. Akibatnya kini Turki bingung, ingin meniru Barat tidak belum bisa diterima oleh mereka, meniru Negara-Negara Islam telah kehilangan sejarah masa lalunya. Sama halnya Arab Saudi. Namun karena manuskrip-manuskrip masih terjaga, Arab Saudi masih bisa membangun kembali konsep bangsa Arab sebagaimana sebelum datangnya Wahabi, yaitu bangsa yang humanis dan toleran terhadap keberagaman. Gejala-gejala ini mulai terlihat dengan dibuktikan adanya kebijakan penerimaan pandangan Islam non-Wahabi hidup di Arab Saudi.
Negara-negara Islam seperti di Indonesia yang masih terjaga simpul-simpul peradaban masa lalu mulai mengalami persoalan serius sebagaimana yang terjadi Turki dan Arab Saudi. Setelah era reformasi 1998, ideologi puritan dan ideologi politik transnasional menyerbu sendi-sendi keislaman dalam dua bentuk; ibadah dan pandangan sosial-politik. Dalam bidang ibadah, Islam puritan melakukan penyerangan terhadap praktek-praktek ibadah yang dianggap tersesat dan bertentangan dengan syariat. Kelompok ini yang menurut Yusuf Al-Qardhawi menjadi cikal bakal lahirnya ektremisme dengan ciri-ciri sebagai berikut: suka menyalahkan, membid’ahkan, menghkafirkan dan menyesatkan. Namun pada saat yang sama, saat mereka melakukan perilaku yang bertentangan dengan syariat, mereka sekuat tenaga membela dengan argumentasi yang sangat rapuh dan terkesan sangat menggelikan.
Sedang dalam pandangan politik, kelompok penganut paham ideologi transnasional menyerang sistem Negara dan Pemerintahan yang dianggap sebagai sistem Kafir, toghut dan harus dirubah dengan cara evolusi maupun revolusioner. Kelompok ini terkadang bersikap ambigu; satu sisi mendewa-dewakan Negara Arab Saudi yang telah menerapkan syariat Islam, disisi lain menolak sistem Kerajaan sebagai antithesis Khilafah. Padahal sistem Pemerintahan Arab Saudi mulai berdiri Negara tersebut berbentuk Kerajaan, dan kini sangat menentanag keras sistem Khilafah. Bahkan para aktivis Khilafah di Negara ini banyak yang dijebloskan di Penjaran karena menentanag sistem pemerintahan saat sekarang ini.
Pentingnya generasi muda mengenal dengan utuh budaya dan peradaban bangsa sendiri menjadi suatu keharusan. Budaya dan peradaban yang digali dari nilai-nilai agung memang harus diakui juga sebagai wujud akulturasi antara nilai-nilai internal dan eksternal yang kemudian dikristalisasi menjadi kesepakatan bersama para sesepuh, para orang tua kita dan para pendiri bangsa. Ini yang kemudian hari kita mengenal makna jati diri bangsa yang mampu menyatukan keberagaman yang komplek dan bisa disatukan dalam suasana yang rukun, damai dan saling menghormati perbedaan di masyarakat.
Pengenalan dan menumbuhkan kecintaan terhadap nilai-nilai bangsa sebagai pondasi peradaban memang harus diperkenalkan di tengah serangan kebudayaan yang merusak bangsa, terkhususkan pada generasi muda. Adanya istilah “keterasingan di negeri sendiri” ini bukan isapan jempol, tapi sebuah fakta yang sudah hadir di depan mata. Sikap eklusifitas dipersempit dan egoism ingin menang sendiri telah melahirkan ekstremisme dan radikalisme di setiap penganut agama. Kasus-kasus seperti penyerangan penganut agama Hindu terhadap Umat Islam di India, pembantaian kaum muslimin oleh penganut agama Budha di Thailand, isu-isu radikalisme dan Al-Qaida di Arab Saudi, ISIS di Yaman, kasus-kasus disriminasi kelompok minoritas di Indonesia dan lain-lain adalah isu yang melahirkan kekhawatiran umat manusia di masa mendatang. Apalagi gerakan ini telah merambah ke berbagai media sosial secara massif dan meracuni pemikiran masyarakat luas. Akibatnya, mereka sudah kehilangan nilai-nilai kemanusiaan. Melakukan kriminalisasi seperti berkata kotor, mengkafirkan, persekusi sampai pada melakukan pembunuhan kepada orang atau kelompok yang menentang kelompoknya sudah dianggap biasa bahkan dianggap bagian dari jihad fi sabilillah. Jika paham ini dbiarkan, maka wajah agama sudah tidak lagi sebagaimana fungsinya yaitu rahmatalil ‘alamin.
Kepedulian untuk mengembalikan agama sebagai penyangga nilai-nilai kemanusia perlu melibatkan seluruh umat beragama di dunia. Beberapa waktu lalu Nahdlatul Ulama (NU) telah menginisiasi pertemuan R20 di Bali merupakan sebuah rintisan yang menurut penulis sangat jenius. Sebab hari ini yang dibutuhkan oleh umat manusia dalam menciptakan perdamaian dan keharmonisan dalam kehidupan beragama, perlu kesadaran kolektif seluruh umat beragama. Disini peran penting para pemimpin organisasi-organisasi agama di seluruh dunia untuk membangun komitmen tersebut.
Namun demikan, perlu juga kehadiran para pemimpin negara ikut serta menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan nya berupa kemiskinan ekstrem, pendidikan dan kesehatan serta penyelesaian konflik antara Negara. Forum G20 yang telah dilaksanakan di Bali adalah sebagai upaya luhur untuk memperbaiki persoalan-persoalan tersebut. Jadi benar sabda Nabi “ Terkadang kemiskinan menyebabkan lahir kekufuran”. Dan kekufuran dalam konteks sosial yaitu mengabaikan nilai-nilai peradaban untuk mendapatkan suatu cita-cita.