Imam Ghozali, Dosen STAIN Bengkalis
Minggu pagi kami sudah berbagi tugas. Istri mencuci baju dan menyiapkan sarapan untuk anak-anak. Saya kebagian belanja di Pasar; membeli Sayur-sayuran, Tempe dan Jamur Putih. Ini tentu saja bukan pencitraan, bukan sama sekali. saya juga tidak sedang mengamalkan kesederhanaan model Nabi yang menembel Baju dengan tangan nya sendiri, bukan juga sedang meniru Ali bin Abi Thalib yang sering ke Pasar untuk memenuhi kebutuhan Dapur. Ada dua alasan saya pergi ke Pasar; pertama sejak kecil, saya sudah biasa diperintah oleh Mbok De untuk belanja. Ketika saya tidak mau karena malu, Mbok De pun memberi nasehat yang baru bisa saya terima dan pahami saat sekarang ini. Kira-kira begini bunyinya : “Laki-laki harus belajar membantu Istri belanja, masa laki-laki bawa Kangkung, Bayam malu.!!”. Kedua, saya sudah biasa belanja agar bisa minum di Kedai Kopi. Sebenarnya rasa Kopinya sama, tapi Kedai Kopi bisa memberikan terapi otak untuk mengendorkan urat-urat tegang karena banyak pekerjaan dan tugas menumpuk serta “bentakan” Istri yang kadang bikin “srepet” Pinggang kambuh.
Saya harus pergi ke Kedai, mengisi Bensin. Entah Petralit atau Petramak tidak tahu, warna hijau. Penuh Satu Botol Aqua, harga Rp. 17.000, yang sepertiga kurang penuh Rp. 15.000. Batin saya bicara: “ Naik, Rp. 4000, biasanya dieceran saya beli Rp. 13.000”. Tapi cepat-cepat batin saya pun menjawab: “Ah, mau naik mau turun “ora pateken”, “sing penting” bisa ngisi bensin. Murah pun kadang saya tidak bisa beli juga.” Inginnya memang semua murah dan duitnya melimpah, hidup tidak perlu “ngoyo-ngoyo” tapi rekening penuh Dolar dan Rupiah. Tapi saya sejak dulu hidup mulai zaman Soeharto tidak juga mendapatkan impian kenikmatan menjadi suatu kenyataan. Nyatanya pada zaman Soeharto, katanya semua serba murah tapi saya belum pernah mendapat duit Rp.5,00 atau Lima rupiah Untuk Jajan di Sekolah. Hampir kawan-kawan saya waktu sekolah jarang bisa jajan. Sekolah “nyeker” tidak memakai Sepatu. Baju tidak dimasukan ke dalam Celana, karena Celana Pramuka bagian belakang sudah berlubang kecil, dan orang tua pun belum juga membelikan Celana pengganti. Jika ingin beli Celana, maka menunggu datangnya Idul Fitri. Biasanya menjelang atau sekitar kurang satu minggu sudah dibelikan Baju lebaran berwarna Pramuka dan Merah Putih. Jadi setelah leberan usai, baju tersebut langsung digunakan untuk Sekolah.
“ Bayam Merah satu iket berapa Bu?” Tanya ku kepada Ibu Penjual Sayur di pinggir jalan.
“ Dua ribu mas” jawab nya sambil bergurau dengan sebelahnya yang sama-sama ibu-ibu juga.
Saya pun harus menunggu pelayanan ibu-ibu yang sudah berumur tadi. Usia nya diperkirakan sudah 55 tahun jika dilihat dari raut muka dan gigi nya yang telah habis. Mereka seolah-olah lupa terhadap saya sebagai pembeli. Saya pun tidak mau mengganggu mereka yang sedang menikmati kebahagiaan di tengah naik nya harga BBM. Sebab bagi saya kebahagiaan jauh lebih mahal daripada mahalnya harga BMM. Bukan kah hari ini banyak orang menderita bukan karena tidak mempunyai penghasilan, bukan karena tidak mempunyai pekerjaan, bukan karena tidak mempunyai Istri bukan karena tidak terpandang di masyarakat. Tapi saat sekarang ini orang kehilangan kebahagiaan karena sudah kehilangan selera humor dan tertawa dalam kehidupan sehari-hari. Hari ini masyarakat sedang terjadi “krisis tersenyum” dan “resesi tertawa”.
Padahal Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w telah mengajarkan kepada umat nya bahwa wajah yang “sumeh”, senyum yang merekah dan aura yang “semedulur” adalah refleksi dari senyuman batin yang memancar pada aura wajah dan tubuh seseorang. Sayangnya, senyuman kita sudah mulai dibajak oleh sekat-sekat identitas yang saat sekarang ini wujud identitas seperti jalan raya atau jalan tol, terlihat dekat tapi jauh dan muter-muter untuk mencapai atau menyalurkan energy senyum. Sungguh menjadi sangat melelahkan kondisi seperti ini bukan?
Ketika Rasulullah mengatakan bahwa “senyum adalah shodaqah”, maka yang terbayang dalam benak penulis artikel ini adalah bahwa hubungan kita dengan sesama manusia adalah hubungan kasih-sayang tanpa batas yang tembus pada hati yang paling dalam. Senyum adalah kelembutan hati yang melihat kehidupan sesama manusia penuh dengan kasih sayang dengan tidak melupakan suatu kebenaran. Itu sebabnya, kecintaan Nabi terhadap Fatimah tidak menghilangkan ketegasan kepada nya ketika melakukan suatu kesalahan.
Dari sini tidak ada persoalan sebenarnya, bahwa dalam kondisi apapun, kita memang diharapkan untuk senantiasa bisa menikmati kehidupan dalam kondisi apapun dengan penuh rasa bersyukur kepada Allah s.w.t. Semua selalu ada rahasia. dan tersenyum dalam penderitaan mempunyai rahasia yang agung. Salah satu yang pasti, bahwa kita telah Ridha terhadap keputusan-Nya. Bukan itu nilai yang sangat agung dalam hal ibadah kepada-Nya?