Membahas K.H. Abdurrahman Wahid Atau Gus Dur berarti mengkaji mata air kehidupan yang telah memberi kesejukan dan keberkahan bukan hanya kepada umat Islam, tetapi juga non-muslim. Ia hadir saat bangsa ini mengalami krisis kepercayaan terhadap penegakan Hak Asasi Manusia [HAM] yang digembok oleh penguasa Orde Baru, Soeharto. Masyarakat merasakan ketenangan, tapi tidak senang. Bahagia tapi hidup selalu terasa dahaga. Dipimpin oleh Soeharto yang sering disebut bapak pembangunan, tapi masyarakat serba kebingunan. Harga beras, sayur murah dan terjangkau, tapi masyarakat tidak bisa hidup bergeser dari standar sebagai rakyat jelata, tidak bisa sekolah, tidak bisa kuliah, dan tidak bisa merubah nasib menjadi pejabat, kecuali adalah orang-orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan.

Saat Soeharto ber “dehem” dan wajah dingin, semua orang pun diam dan takut. Saat dia tersenyum, maka di sekitarnya harus menjaga senyum agar senyumananya seirama dengan Soeharto. Politik seperti paduan suara. Saat ada suara nada “DO”, maka serentak semua bersuara “DO.” Soeharto benar-benar the real leader, mampu menjadi kepala negara dan mengatur seluruh kehidupan terlihat indah sehingga terkenal dengan slogan “ loh jinawi toto tentrem kerto raharjo”, suatu ungkapan yang mengandung arti suatu kondisi yang aman, damai, dan sejahtera.
Saat masyarakat terkunci mulutnya atas kepemimpinan Soeharto, Gus Dur malah memainkan tujur dewa mabuk. Dia tidak takut bersebarangan dengan Soeharto, namun kadang dia pun dekat dengan nya. Gus Dur mencoba mengobrak-abrik alam bawah sadar agar masyarakat menyadari tentang pentingnya kebebasan berfikir dan membangun kemandirian agar tidak ketergantungan terhadap pemerintah. Ia keliling ke berbagai daerah, keluar-masuk pesantren dan memberikan pembekalan terhadap pesantren dan masyarakat kelas menengah ke bawah yang sebagian besar adalah warga nahdiyin yang bekerja sebagai petani, nelayan dan buruh-buruh kasar. Dalam berbagai kesempatan, Gur Dur mengajarkan arti pentingnya istiqomah dalam menjalankan amal ibadah, dan senantiasa selalu memohon pertolongan kepada Allah s.w.t.
Pendidikan kaderisasi terhadap warga NU baik struktural dan kultural berhasil dengan baik. Orde Baru dan segala kekuatannya, menyingkirkan warga nahdiyin dari kekuasaan, dan dianaktirikan selama 32 tahun. Namun selama itu juga, warga nahdiyin semakin dewasa menghadapi dinamika hidup dan terus bekerja keras tanpa keinginan untuk mendekat kepada penguasa. Warga nahdiyin telah menemukan sosok baru seorang pemimpin sejati, tokoh spiritual, bukan kepala negara tapi kepala jam’iyah dan jama’ah NU yaitu Gus Dur. Soeharto mencoba membungkam Gus Dur dengan berbagai cara dan tipu muslihat, mulai dari percobaan pembunuhan dan membuat ulama tandingan untuk mengganti posisi Gus Dur sebagai ketua tanfidziyah, namun orde baru gigit jari. Jiwa para ulama dan jam’ah warga nahdiyin telah menyatu menjadi satu atas kepemimpinan Gus Dur.
Saat Soerharto lengser keprabon, dan Gus Dur menemuinya seperti bertemu antara sahabat lama, sangat kangen dan tidak ada dendam. Gus Dur bisa memilah antara manusia dalam dimensi politik dan dimensi sebagai sesama manusia yang punya jiwa kasih sayang. Maka ketika Soeharto mencoba menghabisi hidupnya, Gus Dur mengatakan : “Saya di dunia ini tidak punya musuh.”
Dari Gus Dur, kita bisa belajar bahwa dinamika dalam organisasi dan politik adalah merupakan suatu kewajaran. Namun ada yang tidak boleh dilupakan, semua bermuara dalam rangka memanusiakan manusia. Ketika organisasi dan politik sudah kehilangan sifat kemanusiaannya, maka saat itu organisasi atau politik hanya untuk kepentingan kekuasaan semata dan hanya mencari gembyarnya dunia.