Oleh: Imam Ghozali [ Dosen STAIN Bengkalis/ Ketua Umum MUI Kabupaten Kepulauan Meranti ]
Saya sudah lama tidak melihat siaran di TV. Sekitar berjalan tiga tahun, saya telah menyerahkan urusan TV kepada istri yang ingin melihat sinetron “Ikatan Cinta” dan anak-anak yang suka melihat film Upin dan Ipin. Jadi sedikit wajar apabila informasi berkaitan dengan berbagai persoalan sudah cukup melalui Android yang telah menyediakan aplikasi media online dan media sosial seperti FB, WA, Instagram dan lain-lain.
Hari ini, saya membaca beberapa media online seperti kompas.com, cnnindonesia.com, dan CNBC Indonesia. Dari ketiga ini ( tentu saja media online lain juga sama ) memberitakan tentang reshuffle kabinet. Ada beberapa nama menteri dan wakil menteri baru seperti: Zulkifli Hasan menjadi menteri perdagangan menggantikan Muhammad Lutfi, Hadi Tjahjanto menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan, Raja Juli Antoni Sebagai Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertahanan Nasional, John Wempi Wetipo sebagai Wakil Menteri dalam Negeri dan Afriansyah Noor sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan. Reshuffle ini sebagai jawaban publik yang beberapa waktu lalu telah santer akan terjadi perombakan Kabinet Indonesia Maju.
Untuk siapa reshuffle kabinet, apa untuk kepentingan pemerintah atau rakyat ? Setiap orang mempunyai prespektif yang berbeda. Di alam demokrasi sah-sah saja. Presiden mempunyai hak preogratif secara konstitusi sudah pada jalur yang tepat. Suka tidak kita melihat progress mereka dalam rangka mengurangi carut-marut berbagai persoalan, terutama berkaitan dengan harga kebutuhan pokok masyarakat naik. Kadang kita tidak bisa berharap efesiensi perubahan yang signifikan, Hal ini karena terbatasnya kerja para menteri dan pembantunya akibat semakin dekat pemilu 2024. Anggaplah pergantian kabinet selain sebagai “obat penurun demam” partai politik, juga ada agenda-agenda politik ke depan. Apalagi para kandidat presiden pemain baru, yang bisa saja mempunyai potensi dan tantangan sangat berat di tengah masyarakat. Maka Jokowi mempunyai semangat untuk merapatkan barisan baik dari sisi keamanan, dukungan partai politik agar isu-isu primordial dan politik identitas tidak terulang kembali pada tahun 2024 mendatang. Langkah-langkah tersebut bisa dilihat dari beberapa menteri yang dilantiknya, yaitu:
Pertama, Jokowi menunjuk Hadi Tjahjanto menjadi menteri adalah berlatarbelakang sebelumnya sebagai panglima TNI Republik Indonesia. Penunjukan ini sebenarnya sebagai sinyal bahwa dukungan TNI dalam pelaksanaan agenda pemilu 2024 sangat penting dalam menjaga stabilitas nasional. Secara garis komando memang hadi sudah tidak ada, tetapi hubungan emosional yang telah dibangun saat berada di TNI menjadi modal besar dalam mengendalikan suasana yang bisa saja muncul persaingan politik di internal TNI ketika muncul calon president atau wakil persiden dari kalangan TNI.
Kedua, Jokowi perlu merangkul dari Islam modernis yang dipresentasikan oleh Zulkifli Hasan dari PAN dan Afriansyah Noor dari PBB. Keduanya sebenarnya bukan pendukung Jokowi, bahkan partai PAN adalah partai yang secara terang-terangan mendukung pasangan Prabowo-Sandi. Sedangkan PBB masih bisa dilihat perannya melalui jalur Yusril Ihza Mahendra ketika menjadi ketua kuasa hukum Jokowi-Ma’ruf pada pilpres 2019. Bergaubungnya kedua partai tersebut, politik identitas diharapkan sedikit berkurang, apalagi setelah dibubarkan HTI dan FPI yang sering “nimbrung” pada hal-hal sensitif berkaitan dengan isu-isu agama.
Reshuffle dan Sejarah politik identitas
Satu-satunya politikus yang sukses dan meniti karir dari bawah yaitu jokowi. Dia memulai menjadi walikota solo, gubernur dki dan presiden ri. Ini capaian yang belum pernah diraih oleh para pemimpin partai politik. Namun demikian perjalanan karier politik telah menyadarkan jokowi untuk selalu berhati-hati ketika mencari kawan dalam perjuangan mendukung roda pemerintahan. Sebagai seorang politikus dari pdi-p perjuangan, jokowi tentu saja harus taat dan selaras dengan cita-cita politik sebagai corong “wong cilik” yang nasionalis dan menerima kebinekaan yang selaras dengan semangat ideology pancasila dan uud 1945.
Jokowi saat mulai meniti karier politiknya tentu saja memahami tentang pertarungan ideology orde baru yang mencerminkan kapitalisme dan ideology sosialisme yang diusung oleh pdi-p. dia juga memahami betapa pertarungan ideology dan kepentingan para elit politik dalam menguasai pemerintahan terekam jelas saat megawati gagal menjadi presiden. Justru yang menjadi presiden adalah bukan partai pemenang yaitu Abdurrahman wahid. Tentu saja terpilihnya gus dur adalah kalkulasi politik persahabatan yang diharapkan bisa menjembatani kelompok islam ( seperti partai keadilan (sekarang pks), partai bulan bintang, partai amanat nasional ) dan nasionalis seperti pdi-p. namun dalam perjalanan pemerintahan, gus dur justru ditelikung oleh para partai yang dukung mendukung menjadi presiden. Dia diimpeachment dari kursi kepresidenan.
Perjalanan politik seperti ini saya kira yang menjadi pertimbangan jokowi merangkul beberapa partai politik islam dalam pemerintahan. Apalagi peristiwa pilkada dki 2017 dan pilpres 2019 yang sangat kental sekali dengan politik identitas, yang hamper saja memporak-porandakan kesatuan dan persaudaran yang terkoyak dengan symbol “kadrun dan cebong”. Jadi dari sini sebenarnya, jokowi ingin merangkul semua komponen partai politik sebagaimana yang dilakukan oleh gus dur.
Dari segi administrasi, tentu saja jokowi lebih matang ketimbang gus dur. Namun dari semangat kebersamaan dan semangat nasionalisme ada kesamaan yaitu sama-sama menjaga kebinekaan dan menolak gerakan politik yang merusak ideology pancasila dan nkri.
Apakah menarik partai pan dan partai pbb ke lingkaran pemerintahan jokowi bagian dari semangat nasionalisme jokowi? Jika dirunut dari sejarah kedua partai tersebut adalah saksi sejarah perjalanan bangsa ini. Para pendiri kedua partai tersebut jika dirunut ke belakang termasuk para pendiri bangsa dan negara Indonesia. Jadi, partai islam yang mempunyai semangat sama yaitu menjaga pancasila dari sudut pandang agama, agar pancasila tidak hanya satu tafsir oleh kelompok nasionalise dan sekuler.
Jika demikian adanya, langkah Jokowi merangkul pan dan pbb sebagai langkah positif dalam rangka menempatkan partai politik islam untuk ikut mengelola negara ini dalam pemerintahannya. tentu saja ada pertimbangan politik sebagaimana yang penulis katkatakanalam pendahuluan. Namun jokowi telah menunjukan kedewasaan berpolitik dan kalkulasi politik yang cukup matang. Suatu teori dan praktek politik yang belum bisa dilakukan oleh para tokoh politik Indonesia untuk saat ini. Bukankah demikian?