Tepat tanggal 30 Desember 2009, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggal Dunia. Sepanjang sejarah yang saya tahu di Indonesia, tidak ada lautan manusia yang berta’ziyah sedahsyat kematianya. Jika kematian Ayatullah Khumaini melumpuhkan jalan-jalan di kota Teheran yang diperkirakan 10 juta penganut Syi’ah yang berta’ziyah, maka Gus Dur melumpuhkan Kota dan Desa seluruh masyarakat Indonesia. Bukan 10 juta, tapi puluhan juta ber-ta’ziyah yang berasal dari ormas Nahdliyin, ormas-ormas Islam, ormas-ormas non-Islam, dan masyarakat non-muslim.
Membicarakan pribadi Gus Dur secara fisik mungkin bisa habis dalam beberapa waktu. Tapi membicarakan pemikiran, gagasan dan ide-ide nya terus mengalir dan selalu menjadi kajian diskusi lintas keilmuan dari beragam lembaga dan ormas-ormas, baik ormas Islam maupun non-Islam. Seperti Sumur, Gus Dur senantiasa memberikan kesejukan kepada siapa saja yang meminum Air di dalam nya. ia laksana “Air Kehidupan”, saat mereka meminumnya, maka semakin terbuka arti hakikat kehidupan manusia yang sesungguhnya yaitu mengenal Allah s.w.t.
Sebagian orang boleh mentertawakan fisik Gus Dur yang terbatas, atau juga mentertawakan kebiasaan berkumpul dengan Pastor, Biksu, Biarawati, Uskup, para Budayawan yang baju nya “slengekan”, atau kebiasaan makan di pinggir jalan hanya untuk beli Kacang Rebus, Jagung Godok, atau yang lebih sedikit berkelas yaitu beli Duren kepada ibu-ibu tua di pinggir jalan. Bahkan orang beramai-ramai menghujat nya, bukan hanya dari kalangan Nahdliyin sendiri (yang belum memahami nya), tapi juga dari orang-orang Islam yang sudah terjebak pada kepentingan politik identitas, sehingga tidak segan-segan bukan sebatas mentertawakan tapi juga mengancam ingin membunuhnya. Namun lagi-lagi Gus Dur menanggapi semua itu dengan sangat santai, cukup dijawab satu kalimat pendek; “Gitu Aja Kok Repot!!.”
Kini para peneliti dalam dan luar negeri sangat asyik melakukan kajian pemikirannya. Gus Dur sebagaimana saya katakana di atas laksana “air kehidupan” yang selalu memberi inspirasi tentang keindahan kehidupan di Dunia yang mengingkan kedamaian, hidup guyup rukun dalam bingka kebersamaan dan kemulyaan dengan senantiasa menghargai kodrat manusia yang beragam. Gus Dur laksana Dewa Ruci, dan para peneliti laksana Bima atau Werkudara. Saat mereka masuk dalam lautan pemikiran Gus Dur, mereka sangat terkejut, terpesona dan tidak mau pergi untuk terus melakukan penelitian.
Namun Gus Dur dengan senyum yang khas menyapa dan memberi wejangan kepada para peneliti dan ilmuwan yang telah meneliti pemikirannya. Katanya dalam alam imajiner:
“Mas, sampean sekarang telah meneliti pemikiran saya, dan kalian sudah banyak yang menjadi ilmuwan dan guru besar, dan ada juga yang masih kebingungan statusnya sendiri. Saya berharap, pemikiran saya jangan sebatas dijadikan penelitian saja, tapi juga perlu diwujudkan dalam realita kehidupan yang maha luas. Masa sih kalian mengenal saya hanya untuk selembar kertas. Padahal jika diterapkan dalam tataran kehidupan, kamu memberi manfaat untuk umat manusia tanpa batas. Itu hakikat ilmuwan dan peneliti sesungguhnya, sebaik-baik manusia yang memberi manfaat kepada orang lain.”
Untuk almarhum Gus Dur; “Al-Fatehah”.