- PENDAHULUAN
Islam sangat mengedepankan sifat positif terhadap lingkungan, karena lingkungan merupakan makhluk Tuhan yang harus dilestarikan dan tidak boleh dirusak serta dieksploitasi. Sebagaimana Ali Syariati berpendapat bahwa manusia tidak dapat dipisahkan dengan lingkungan, dikarenakan seluruh realitas yang ada merupakan satu kesatuan, satu kehidupan dan satu tatanan yang memiliki kehendak, pikiran dan tujuan yang sama.[1] Namun tidak dapat disangkal bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini, baik pada lingkup global maupun lingkup nasional, sebagian besar bersumber dari perilaku manusia. Kasus-kasus pencemaran dan kerusakan bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dan hanya mementingkan diri sendiri.[2] Sonny Keraf dalam bukunya “Etika Lingkungan Hidup” menyatakan bahwa krisis lingkungan hidup yang terjadi akhir-akhir ini berakar pada kesalahan cara pandang manusia tentang dirinya, alam dan hubungan antara manusia dengan alam. Oleh karena itu, krisis lingkungan hidup bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia.[3] Sesungguhnya manusia, baik laki-laki maupun perempuan memiliki potensi membuat kerusakan di muka bumi ini. Sebagaimana Firman Allah SWT
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ ٤١
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Rum : 41)
Tanggung jawab dalam memelihara lingkungan yang tersirat dalam ayat Al-Qur’an tersebut apakah hanya di bebankan kepada laki-laki saja atau sebaliknya. Lantas bagaimana peran kesetaraan gender dalam pemeliharaan kelestarian lingkungan tersebut, bermula dari sinilah penulis tertarik mengangkat tema ini.
- PEMBAHASAN
Kata gender berasal dari Bahasa Inggris gender yang berarti jenis kelamin.[4] Di dalam Woman Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.[5] Selain itu, Nasaruddin Umar menyatakan, bahwa gender adalah suatu konsep ynag digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi social budaya. Gender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis.[6] Gender juga bisa dipahami sebagai karakteristik individual dan perangai seseorang, serta peran sosial seseorang dalam sebuah konstruk budaya. Namun demikian, hal terpenting adalah bagaimana pemahaman tentang gender ini dapat membentuk pembagian peran yang adil bagi seluruh manusia dari latar belakang gender, kelas dan ras yang berbeda.[7]
Ilmuan Muslim kontemporer seperti Muhammad Quraish Shihab, memandang Islam sebagai agama yang sangat menjunjung tinggi harkat martabat manusia dalam kehidupan sosialnya. Dalam Islam, perempuan dan laki-laki memiliki derajat yang sama baik sebagai makhluk sosial maupun sebagai makhluk spiritual. Hal ini diketahui dari ayat-ayat yang menjelaskan tentang indikasi hal tersebut.[8] Dengan tidak diberikan pembagian peran bagi laki-laki dan perempuan secara rinci di dalam Al-Qur’an adalah sebagai isyarat Al-Qur’an mempersilahkan kepada kecerdesan manusia dalam membagi peran dan tanggungjawab kepada laki-laki dan perempuan sesuai kondisi masing-masing individu yang saling menguntungkan.[9]
Selajutnya, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, berkembang pula teori-teori tentang gender. Dari perkembangan berbagai aliran, lahir golongan feminis yang menamakan alirannya dengan nama ekofeminis.
Ekofeminisme adalah sebuah istilah baru untuk gagasan lama yang tumbuh dari berbagai gerakan sosial yakni gerakan feminis, perdamaian dan ekologi.[10] tujuan ekofeminisme adalah sekaligus mengkritisi pilar-pilar modernisme yakni antroposentrisme dan androsentrisme.[11]
Sosiologi Lingkungan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm.120. Krisis lingkungan tidak hanya disebabkan pola pikir dan perilaku yang berpusat pada kepentingan manusia (antroposentris), namun juga disebabkan pola pikir dan perilaku yang mengutamakan dominasi, manipulasi, dan eksploitasi terhadap alam (androsentris).
Prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam merupakan prinsip yang paling ditekankan oleh ekofeminisme. Sebagai sesama anggota komunitas ekologis yang setara, manusia digugah untuk mencintai, menyayangi dan peduli kepada alam dan seluruh isinya, tanpa diskriminasi dan tanpa dominasi. Kasih sayang dan kepedulian ini juga muncul dari kenyataan bahwa sebagai sesama anggota komunitas ekologis, semua makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara, dirawat, dan tidak disakiti. Dalam perspektif DE bahwa semakin mencintai alam, manusia menjadi semakin kaya dan semakin merealisasikan dirinya sebagai pribadi ekologis. Manusia semakin tumbuh berkembang bersama alam, dengan segala watak dan kepribadian yang tenang, damai, penuh kasih sayang, luas wawasannya seluas alam, demokratis seperti alam yang menerima dan mengakomodasi perbedaan dan keragamaan.[12] Namun sebagaimana diungkapkan di atas, bahwa karakter feminim yang dapat menjadi upaya manusia dalam konservasi lingkungan tentu saja bukan hanya milik perempuan. Manusia secara umum digambarkan Al-Qur’an memiliki keseimbangan karakter feminim dan maskulin dalam dirinya. Hal ini menjastifikasi peran sosial yang seimbang, bagi laki-laki dan perempuan termasuk dalam usaha konservasi alam. Dengan demikian, ekofeminisme secara lebih kuat mampu menerangkan mengapa kesetaraan gender pada akhirnya bukan hanya menguntungkan kaum perempuan, tetapi juga laki-laki. Bila alam lingkungan rusak, semua manusia baik laki-laki maupun perempuan pada akhirnya akan menderita. Sebaliknya, bila alam-lingkungan lestari dan terjaga manusia akan lebih sejahtera.
- Hubungan manusia dengan lingkungan
Semenjak manusia purba hingga zaman modern sekarang ini, pada prinsipnya hanya ada tiga pola hubungan manusia, yaitu: pertama, hubungan manusia dengan Tuhan sepenuhnya diatur oleh ajaran agama. Kedua, hubungan manusia dengan sesama manusia sebagian diatur agama dan sebagian diatur manusia sendiri sesuai dengan keperluan dan kemashlahatan yang ingin dicapai. Ketiga, hubungan manusia dengan alam, sepenuhnya diatur oleh alam karena alam memiliki aturan-aturan tertentu yang disebut qadar atau sunnatullah; hubungan ini baru memerlukan aturan Tuhan jika sudah menyentuh hubungan manusia dengan manusia.[13] Hubungan antara manusia dengan alam bukan merupakan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukan atau antara yang menundukkan dan yang ditundukkan, tetapi hubungan tersebut merupakan hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah Swt. Sebagai khalifah, manusia ditugaskan membangun dan memakmurkan. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam. Interaksi ini bersifat harmonis sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi yang tertera dalam ayat-ayat-Nya, dan yang harus ditemukan kandungannya oleh manusia dengan mempertimbangkan perkembangan dan situasi lingkungannya.[14]
M.Quraish Shihab mengatakan bahwa alam raya ini telah diciptakan Allah dalam satu sistem yang sangat serasi dan sesuai dengan kehidupan manusia. Tetapi manusia melakukan kegiatan buruk yang merusak, sehingga terjadi kepincangan dan ketidak seimbangan dalam sistem kerja alam. Dia menegaskan bahwa kerusakan-kerusakan yang ada di bumi karena perbuatan manusia yang durhaka. Akibatnya Allah memberikan balasan kepada sebagian manusia akibat dari perbuatan dan pelanggaran mereka sebagai khalifah, agar kembali ke jalan yang benar. [15] Berbicara tentang amanat yang diemban oleh manusia sebagai makhluk Tuhan yang diberikan tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan alam, Hamka mengatakan bahwa Allah telah mengirim manusia ke bumi adalah semata-mata untuk menjadi khalifah Allah. Oleh karena itu menjadi khalifah fi al-ard hendaklah menjadi muslih yakni suka memperbaiki dan memperindah. Bukan melakukan kerusakan dan pencemaran, karena dalam Al-Qur’an telah jelas Allah melarang manusia berbuat kerusakan dan ketidak seimbangan terhadap alam. Sebagaimana firman Allah Qs al-baqarah 11
وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ لَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ قَالُوٓاْ إِنَّمَا نَحۡنُ مُصۡلِحُونَ
Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”
Dalam menjelaskan pengertian fasad dalam ayat ini, Muhammad Abdul Qadir al-Faqqi mengutip beberapa pendapat ulama dari tafsir Al-Jami’ li ahkam Al-Qur’an karya Al-Qurthubi. Diantara mereka ada yang menafsirkan fasad dengan syirik, ada juga yang menafsirkannya dengan kekeringan dan kurangnya tumbuh-tumbuhan serta hilangnya berkat, meningkatkan harga dan sedikitnya sumber penghidupan. Namun maknanya semua hampir sama, berkisar pada melakukan maksiat dan kezhaliman. Menurut Al-Faqqi, makna al-fasad juga dapat mengungkapkan perusakan yang terjadi di lingkungan akibat campur tangan manusia sendiri.[16]
Allah menganugerahkan kuasa atas ciptaan pada manusia, bukan sebagai hak absolut untuk bertindak sesukanya, melainkan sebagai ujian akan ketaatan, kesetiaan, dan syukur mereka kepada Allah. Manusia hanya diberi kekuasaan atas alam sebagai pengelola, pemelihara dan pemakmur. Merusak alam berarti melanggar kehendak Allah, memperhatikannya berarti memenuhi kehendak Allah.[17] Dari perspektif ini kedudukan manusia sebagai wakil berarti melaksanakan perhatian yang bertanggung jawab atas lingkungan, tidak dengan merusak atau mengeksploitasinya
- Korelasi gender dan lingkungan dalam Perspektif Al-Qur’an
Wawasan gender dalam pelestarian alam dapat diidentifikasikan dari isyarat berpasangan berbagai makhluk ciptaan Allah. Contoh pasangan yang menjadi representator dari alam raya ini adalah langit dan bumi. Langit diupamakan suami yang menyimpan air dan bumi yang diumpamakan istri yang menerima limpahan air yang nantinya melahirkan janin atau berbagai tumbuh-tumbuhan. Mengingat ekologi alam adalah cakupan ilmu yang sangat luas, maka perlu diberikan suatu pengertian tentang makna gender dalam ekologi alam itu sendiri. Secara umum indikasi adanya identitas gender bagi ekologi alam di dalam Al-Qur’an dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a) Identitas gender dalam keberpasangan secara biologis.
Salah satu contoh tentang keberpasangan tiap makhluk ciptaan Allah terdapat dalam surat Yasin ayat 36:
سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡأَزۡوَٰجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنۢبِتُ ٱلۡأَرۡضُ وَمِنۡ أَنفُسِهِمۡ وَمِمَّا لَا يَعۡلَمُونَ ٣٦
“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya,
baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa seluruh makhluk diciptakan berpasang-pasangan. Penunjukan keberpasangan seluruh makhluk di alam raya ini diantaranya dapat diketahui dari isyarat Al-Qur’an yang menggunakan kata zawj S(pasangan). Arti zawj dalam Al-Qur’an sangat luas, mencakup berbagai jenis pasangan yang ada di alam raya. Pada jenis manusia Allah menciptakan laki-laki dan perempuan, begitu juga pada seluruh makhluk ciptaan Allah yang belum diketahui manusia.[18]
b) Identitas gender dengan karakter maskulin dan feminim pada suatu makhluk.
Dalam penunjukkan identitas gender berdasarkan segi karakter feminim dan maskulin yang dimiliki, ada lima jenis pasangan makhluk yang diungkapkan Al-Qur’an, yaitu pasangan: langit dan bumi, daratan dan lautan, matahari dan bulan, awan dan angin, api dan air. Keseluruhan pasangan yang dijadikan contoh ini pada umumya menunjukkan identitas gender dalam hal keberpasangan dalam karakter yang kooperatif dan komplementer.
Di sini akan dipaparkan salah contoh pasangan yang sering disandingkan secara bersamaan dalam penyebutannya sebagai suatu indikasi keberpasangan, sekaligus indikasi adanya wawasan gender yang diisyaratkan Al-Qur’an, yaitu langit dan bumi. Al-Qur’an mengisyaratkan langit memiliki keseimbangan karakter feminim dan maskulin. Karakter maskulin pada langit terlacak dari karakter dari posisinya yang di atas serta potensi informatifnya sebagai sumber sains, serta produktifitas langit yang merupakan ciri maskulin. Namun selain itu, langit juga memiliki karakter feminim seperti lemah dan senantiasa dijaga, dibina dan patuh terhadap ketentuan Allah yang merupakan indikasi dari karakter feminim.[19] Isyarat bumi yang memiliki karakter feminim banyak didapati di dalam Al-Qur’an. seperti, bumi diidentikkan dengan ibu karena bumi dinilai memiliki sifat kasih sayang, memberikan kehidupan bagi manusia tanpa meminta balasan, lemah lembut karena memperbolehkan manusia menggunakan berbagai fasilitas yang ada padanya, bumi menyenangkan karena berbagai makhluk dapat bernaung dengan tenang di dalamnya, manusia di buat dari bumi/tanah.[20] Berbagai ciri khas tersebut merupakan ciri khas dari karakter feminim. Selain itu Al-Qur’an juga konsisten menggunakan kata gantid damir mu’annas pada ayat yang membicarakan tentang bumi. Namun, bumi juga memiliki karakter maskulin karena bumi menjadi salah satu sumber sains bagi manusia. Bumi juga produktif dalam menghasilkan berbagai kebutuhan hidup manusia. Bumi juga dikatakan sebagai informan sejarah bagi manusia lewat berbagai benda bersejarah yang masih dapat diteliti dan dipelajari manusia. Dari sini dapat diketahui bahwa bumi memiliki keseimbangan karakter feminim dan maskulin dalam dirinya.
Allah mengisyaratkan hal ini dengan berfirman Qs ar-ra’d 4
وَفِي ٱلۡأَرۡضِ قِطَعٞ مُّتَجَٰوِرَٰتٞ وَجَنَّٰتٞ مِّنۡ أَعۡنَٰبٖ وَزَرۡعٞ وَنَخِيلٞ صِنۡوَانٞ وَغَيۡرُ صِنۡوَانٖ يُسۡقَىٰ بِمَآءٖ وَٰحِدٖ وَنُفَضِّلُ بَعۡضَهَا عَلَىٰ بَعۡضٖ فِي ٱلۡأُكُلِۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَعۡقِلُونَ
“ dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.”
Ayat di atas mengindikasikan tentang potensi bumi yang sangat produktif dalam menghasilkan berbagai macam jenis tumbuhan, baik yang hasilnya dapat digunakan untuk bahan makanan ataupun jenis tumbuhan yang bermanfaat untuk menopang kebutuhan hidup manusia yang lain.
Dari sini dapat dipahami bahwa langit dan bumi memiliki keseimbangan karakter feminim dan maskulin. Dikatakan memiliki karakter feminim karena keduanya adalah makhluk ciptaan Allah yang tunduk (pasif) dan senantiasa memberikan kebahagiaan dengan berbagai macam kenikmatan yang bisa didapati manusia darinya (empati). Sedangkan karakter maskulin keduanya adalah bahwa langit dan bumi sama-sama memiliki karakter aktif, sebagai sumber sains dan pusat kehidupan dan perekonomian manusia.[21]
c) Identitas gender dengan kata ganti (damir) yang berhubungan dengan jenis kelamin.
Ada dua jenis isim dalam kaidah bahasa arab yang berhubungan dengan jenis kelamin bagi ekologi alam, yaitu isim mudhakkar dan isim mu’annath. Kata ganti (damir) yang digunakan Al-Qur’an dalam pembahasan identitas gender bagi ekologi alam adalah muzakkar majazi dan mu’annas majazi. Seperti kelima contoh pasangan dari sampel ekologi alam yang terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu: al-sama’ dan al-ard (langit dan bumi), al-barr dan al-bahr (daratan dan lautan), al-shams dan al-qamar (matahari dan bulan), al-rih dan al-sahab (awan dan angin), al-nar dan al-ma’ (api dan air). Kelima pasangan ini memiliki identitas gender dalam segi kata ganti d{amir (pronoun) yang berhubungan dengan jenis kelamin (mudhakkar dan mu’annath).[22]
Dari sini dapat dipahami bahwa fungsi dan tugas dari setiap makhluk bersifat koperatif dan komplementer. Baik manusia dan alam, memiliki keseimbangan karakter feminim dan maskulin dalam diri masing-masing. Bagi manusia, karakter feminim dan maskulin masih merupakan konstruk sosial yang sebenarnya dapat dibentuk melalui pendidikan dan pergaulan dalam lingkungan sosialnya. Namun bagi alam, keseimbangan karakter adalah sebuah konstruk universal, tentang keseimbangan dalam segala hal dan selamanya konstan, karena alam senantiasa patuh dan tidak akan memiliki pretense menyalahi ketentuan ynag telah diciptakan Tuhan.[23]
- Pandangan Al-Qur’an Mengenai Kesetaraan Gender dalam Pemeliharaan Lingkungan
Terkait pola pikir dan perilaku dominan manusia yang keliru tentang dirinya, alam, dan tempat manusia dalam alam, Islam juga mengharuskan manusia baik laki-laki maupun perempuan untuk memelihara dan mengelola lingkungan secara bersama-sama. Hal tersebut diharuskan karena pada hakikatnya manusia dan alam saling berelasi, sehingga kaum perempuan memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan laki-laki untuk memenuhi kepentingan bersama. Secara prinsip dasar, Al-Qur’an sangat egaliter dan universal terhadap segala persoalan yang terjadi dalam masyarakat.[24] Motivasi Al-Qur’an kepada umat Islam baik laki-laki dan perempuan untuk hidup harmonis, sekaligus menjadi pribadi yang aktif dan progresif banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Keduanya dideskripsikan sebagai pribadi yang masing-masing memiliki kualitas/karakter feminim dan maskulin dalam dirinya. dengan keseimbangan karakter dan Diantaranya terdapat pada berbagai potensi yang sama-sama dimiliki laki-laki dan perempuan, keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk meraih prestasi dan kesuksesan di dunia dan akhirat. Allah mengisyaratkan tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam berbuat amal yang terbaik demi menunjang kehidupannya baik di dunia bahkan sampai di akhirat QS an-nahl 97
مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Dorongan untuk seorang mukmin baik laki-laki dan perempuan untuk secara kontinu berusaha melakukan usaha terbaik dalam hubungan vertikal dan horizontalnya, sangat ditekankan dalam ayat ini. Hubungan harmonis secara vertikal dengan Allah akan menambah rasa iman dan ketenangan dalam kehidupannya. Sedang hubungan secara horizontalnya kepada sesama manusia dan sesama makhluk Allah lainnya, akan menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera bagi manusia dan alam lingkungannya. Menurut Nasharuddin Umar, dalam konteks kehidupan sosial ayat di atas mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karier profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal. Meskipun kenyataannya dalam masyarakat konsep ideal ini masih membutuhkan proses dan sosialisasi.[25]
Islam menghormati semangat kebersamaan dalam usaha manusia memperbaiki tatanan lingkungan yang rusak. Rekomendasi pemeliharaan lingkungan berwawasan gender ini dapat di temukan dalam sejumlah ayat seperti :
وَلَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ بَعۡدَ إِصۡلَٰحِهَا وَٱدۡعُوهُ خَوۡفٗا وَطَمَعًاۚ إِنَّ رَحۡمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٞ مِّنَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-A’rof : 56)
Sebagai kitab pedoman hidup Alquran telah memberi perhatian yang besar terhadap masalah lingkungan hidup. Kecaman terhadap tindakan fasad di bumi dikemukan dengan berbagai ungkapan diantaranya ( لا تفسدوا) “janganlah kamu merusak” (لاتبغ الفساد ( “janganlah mencari kerusakan” (ولا تعثوافي الأرض مفسد ين) “janganlah kamu berkeliaran di bumi dengan berbuat kerusakan”[26]
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa Allah sangat melarang manusia baik laki-laki maupun perempuan berbuat serikat kepada Allah dan merusak bumi, melarang berbuat kerusakan dalam bentuk sedikit maupun banyak.[27]
Selain ayat diatas, Al-Qur’an juga memberikan inspirasi bagi alaki-laki dan perempuan yang beriman untuk melakukan perbuatan yang baik. Allah berfirman dalam Surah An-Nisa’ ayat 124 yang berbunyi :
وَمَن يَعۡمَلۡ مِنَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ مِن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَأُوْلَٰٓئِكَ يَدۡخُلُونَ ٱلۡجَنَّةَ وَلَا يُظۡلَمُونَ نَقِيرٗا
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (An-Nisa’ : 124)
Amal sholeh laki-laki dan perempuan pada ayat diatas, menekankan dimensi iman yang menjadi landasan segala tindakan manusia. Dikarenakan keimanan merupakan titik tolak kebaikan dan keberuntungan di dunia dan ahirat, dan dengan hilangnya iman berarti hilang pula segala kebaikan di dunia dan ahirat.[28] Hal ini juga untuk memberikan direksi kepada manusia yang beriman, baik laki-laki dan perempuan untuk menjadi hamba yang sukses dalam kehidupannya yang sementara di dunia dengan tanpa berbuat kerusakan.
- KESIMPULAN
Memelihara lingkungan hidup merupakan tanggung jawab semua penduduk di bumi ini. Al-Qur’an tidak membedakan potensi laki-laki dan perempuan, keduanya memiliki fungsi dan potensi yang sama dalam mengamalkan apa yang diajarkan di dalam Al-Qur’an termasuk dalam usaha pelestarian lingkungan. Laki-laki dan perempuan seharusnya dapat menjalin usaha melindungi lingkungan secara koperatif dan harmonis, sebagaimana keduanya diciptakan untuk saling melengkapi, menyayangi, mencintai, memberi ketenangan dan kebahagiaan satu sama lain.
Dorongan untuk seorang mukmin baik laki-laki dan perempuan untuk secara kontinu berusaha melakukan usaha terbaik dalam hubungan vertikal dan horizontalnya, sangat ditekankan dalam ayat ini. Hubungan harmonis secara vertikal dengan Allah akan menambah rasa iman dan ketenangan dalam kehidupannya. Sedang hubungan secara horizontalnya kepada sesama manusia dan sesama makhluk Allah lainnya, akan menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera bagi manusia dan alam lingkungannya. Menurut Nasharuddin Umar, dalam konteks kehidupan sosial ayat di atas mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karier profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja.
Daftar Pustaka
Astuti, TM. (2013). Ekofeminisme dan Peran Perempuan dalam Lingkungan. Indonesian Journal of Conservation, Vol. 1 No.1.
Febriani, NA. (2011). Ekologi Berwawasan Gender Dalam Perspektif Al-Qur’an. Tangerang: YPM.
Husain, M. (2001). Fiqh Perempuan:Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKiS.
Keraf, S. (2010). Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Kompas.
Mufid, SA. (2010). Islam dan Ekologi Manusia. Bandung: Nuansa.
Nurjanah, S. (1999). Konsep Al-Qur’an tentang Lingkungan Hidup dan Kaitannya dengan Perundang-Undangan Indonesia. Tesis. Jakarta: UIN Syarifhidayatullah.
Shihab, Q. (2002). Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Volume XI. Jakarta: Lentera Hati.
Suwito. (2010). Eko-Sufisme. Disertasi. Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah.
Tucker, ME dan John AG. (2003). Agama, Filsafat dan Lingkungan, terj. Hardono Hadi. Yogyakarta: Kanisius.
Umar, N. (2001). Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina.
[1] Ali Syariati. (1989). On The Sociology of Islam. Mcc: Millan Press, 82. dalam Mujiyono. (2001). “Teologi Lingkungan Islam” Disertasi (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, hlm.
[2] Sonny Keraf. (2010). Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Kompas, hlm. 2.
[3] Sonny Keraf. Etika Lingkungan Hidup. hlm.144.
[4] John Ecol dan Hasan Sadily. (2001). Kamus Inggris Indonesia. Cet IV. Jakarta: PT.Gramedia, hlm. 176
[5] Helen Tiemey. (T.th). Women Studies Encyclopedya. Vol 1. New York : Green Wood Press, hlm. 153.
[6] Nasaruddin Umar. (2001). Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina, hlm. 33-35.
[7] Sandra Harding. (1993). The Science Question in Feminism. Ithaca and London : Cornell University Press, hlm. 80-81
[8] Nur Arfiah Febriani. (2011). Ekologi Berwawasan Gender Dalam Perspektif Al-Qur’an. Tangerang: YPM. hlm. 116
[9] Nasaruddin Umar. (2001). Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina, hlm. 305
[10] Sonny Keraf. Etika Lingkungan Hidup. hlm. 47.
[11] Lihat Sofyan Anwar Mufid. (2010). Islam dan Ekologi Manusia. Bandung: Nuansa. hlm. 278.
[12] Sonny Keraf. Etika Lingkungan Hidup. hlm.172.
[13] Nur Arfiyah Febriani. Ekologi Berwawasan Gender dalam Perspektif Al-Qur’an. hlm. 8.
[14] Siti Nurjanah. (1999). Konsep Al-Qur’an tentang Lingkungan Hidup dan Kaitannya dengan Perundang-Undangan Indonesia. Tesis UIN Jakarta. hlm.10.
[15] Tim. (1994). Tema-Tema Pokok Al-Qur’an II. Jakarta: Biro mental Spritual DKI&Proyek Peningkatan LBIQ DKI. hlm. 5.
[16] Tim. Tema-Tema Pokok Al-Qur’an II. hlm. 145.
[17] Mary Evelyn Tucker dan John A. Grim. (2003). Agama, Filsafat dan Lingkungan, terj. Hardono Hadi. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 110.
[18] Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawasan Gender Dalam Perspektif Al-Qur’an. hlm.178.
[19] Nur Arfiyah Febriani. Ekologi Berwawasan Gender. hlm. 182-184
[20] Q.S Hud: 11/61
[21] Nur Arfiyah Febriani. Ekologi Berwawasan Gender. hlm. 189.
[22] Nur Arfiyah Febriani. Ekologi Berwawasan Gender. hlm. 204-217
[23] Nur Arfiyah Febriani. Ekologi Berwawasan Gender. hlm. 221.
[24] Muhammad Husain. (2001). Fiqh Perempuan:Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKiS Bekerjasama dengan Fahmina Institute. hlm. 20.
[25] Nur Arfiyah Febriani. Ekologi Berwawasan Gender. Hlm.231
[26] Tim.Tema-Tema Pokok Al-Qur’an.Hlm.146
[27] Siti Nurjannah.Konsep Al-Qur’an Tentang Lingkungan Hidup.hlm.89
[28] Nur Arfiyah Febriyani.Ekologi berwawasan Gender.hlm.236-237.