Imam Ghozali, Dosen STAIN Bengkalis
Diantara tulisan yang menyentuh hati saya yaitu karya Daisaku Ikeda, Presiden Osaka Gakkai Internasional. Saat berdialog dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Dia menceritakan betapa berharganya arti sebuah waktu. Sebagai seorang Penulis, Ikeda pernah mengalami suatu masa di hari tuanya dengan fisik yang sudah mulai melemah, mata mulai kabur. Pernah pada suatu hari, dia memanggil Istri nya untuk mencatat kata-kata atau kalimat karena Ikeda waktu itu terserang demam berat, badan panas, dan tangan tidak bisa memegang Pena. Istri nya dengan setia menulis setiap kata, setiap kalimat agar hari itu bisa menghasilkan karya harian untuk dikirim ke sebuah Media Massa di Jepang. Setelah selesai, istrinya pun mengantar tulisan tersebut ke Penerbit dengan kendaraan umum.
Teman Ikeda, Gus Dur pun demikian. Saat pandangan mata mulai kabur sehingga Kacamata harus ditebalkan Lensa Kacamata nya, senantiasa menulis pemikiran-pemikirannya di berbagai Media Massa. Gus Dur menulis apa saja, multidissiplin kajian; budaya, politik, olah raga, agama dan lain-lain. Sebagai seorang Penulis sebagaimana mungkin para Penulis lainya, Gus Dur tidak begitu memusingkan apakah ada yang membaca tulisannya atau tidak. Baginya, Tulisan adalah catatan kehidupan yang direfleksikan pada diri nya sebagai seorang individu dan bagian dari komunitas beragam. Semua ini membutuhkan suatu media agar bisa menjadi bagian dialog imanajiner atau pun realita kehidupan yang terkadang bisa memberi manfaat pada masa saat sekarang ini atau bisa jadi pada masa-masa akan datang. Tulisan selalu saja akan menemukan momentum yang tepat pada perjalanan sejarah. Hal ini karena sifat dari sejarah yang sering terulang dengan wujud yang berbeda-beda dengan kesamaan subtansinya. Itulah kenyataan manusia, dulu sampai kapanpun juga sama secara mendasar pada nalurinya; ingin makan, minum, mendapat jodoh, keturunan, membutuhkan prestasi dan prestise, keselamatan jiwa, dan menyalurkan keinginan-keinginan dalam kehidupannya. Naluri ini yang membuat sejarah sebagai siklus kehidupan yang akan bertemu kembali pada titik tertentu berupa kebaikan dan kejahatan sebagai cermin dari nafsu pada diri manusia; nafsul syayiah dan mutmainah. Kedua nya berebut ingin menguasi diri manusia.
Apa yang dilakukan oleh Ikeda dan Gus Dur adalah pilihan hidup dalam mengisi perjalanan waktu yang disadari atau tidak sebenarnya sedang menggilas tulang-tulang, otot-otot dan seluruh tubuh kita dengan situasi semakin hari semakin lemah dan tidak perdaya. Semua sama. Namun keduanya telah mengajarkan kepada kita ( wabil khusus kepada Penulis Artikel ini) bahwa perjalanan waktu adalah catatan sejarah kehidupan manusia yang beragam kualitas hidupnya; baik dan tidak baik. Ada seseorang dengan waktu yang singkat bisa mendapatkan Tinta Emas kehidupan, ada yang berumur panjang tetapi laksana butir-butir Pasir di lautan.
Manusia mempunyai kemerdekaan untuk memahami nya dan tidak ada paksaan sama sekali untuk untuk melakukan suatu amal atau apa-apapun sebagaimana yang telah dilakukan oleh para tokoh-tokoh seperti Ikeda, Gus Dur dan ulama-ulama terdahulu yang telah mengukir sejarah hidupnya dengan karya-karya terbaiknya seperti : Imam Hadist dengan Kutubusitahnya, Imam Malik dengan Muwatha nya, Imam Syafi’i dengan Al-Um nya, Imam Al-Ghozali dengan Ihya Ulumuddinya dan puluhan ribu ulama dan ilmuwan Islam yang telah mewarnai setes kehidupan kita. Memang kita tidak bisa seperti mereka, tapi paling tidak kita pernah merangkai kalimat yang bisa memberi manfaat untuk diri dan orang lain. bukankah esensi kalimat bukan pada sebatas indah susunannya, tapi juga terletak pada kemanfaatanya?
Dumai Line, 16 September 2022