Imam Ghozali [Dosen STAIN Bengkalis]
Sayid Zainal Abidin cicit Rasulullah s.a.w suatu hari berada di Padang Arafah di musim haji bersama santri nya. Sangat ramai, ada ratusan ribu jamaah haji. Saat Sayid Zainal mengajukan pertanyaan tentang jumlah jamaah haji yang ada di padang arafan. Sepontan sang santri menjawab :” sekitar 500 ribu orang, syeikh.”
Sayid Zainal Abidin tersenyum mendengar jawaban tersebut. Lalu tangan nya mengusap muka sang santri yang berada di sampingnya. Tiba-tiba sang santri menjadi ketakutan. Pandangan matanya terbuka hijabnya. Padang Arafah yang tadinya berisi orang yang sedang memuji Allah s.w.t tiba-tiba berubah seperti kebun binatang; ada Kambing, Monyet, Babi, Anjing, dan binatang-binatang lainya. Sedangkan yang benar-benar berupa manusia asli hanya sedikit, dan sangat sedikit.
Kemudian diusap lagi wajahnya. Tiba-tiba suasana yang menakutkan berubah semula. Kini padang arafah pun kembali berisi lautan manusia. Sayid pun menjelaskan hakikat orang yang pergi haji kepada santrinya: “Anaku, apa yang kamu lihat barusan saja seolah-olah Padang Arafah ini seperti Kebun Binatang aalah hakikat batin manusia dalam beribadah. Mereka pergi ke Baitullah dengan mengumpulkan harta sedikit-demi sedikit dan bisa sampai ke tempat ini mempunyai berbagai macam tujuan: ada yang ingin menjadi pejabat, perusahaannya maju, musuhnya mati, bertambah istri lagi dan istri pertama tidak marah mau di madu, ingin harta nya melimpah, pertaniannya melimpah hasilnya, kaya tanpa bekerja, mendapatkan mertua yang kaya dan baik hati serta istrinya cantik, cerdas tidak perlu belajar dan lain-lain. Sedangkan yang benar-benar beribadah dengan konsep sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah sangat sedikit dan bisa dihitung dengan jari.”
Kisah dari Sayid Zainal Abidin berada dalam kajian orang-orang sufi yang mungkin akan ditolak oleh ahli syariat. Namun itulah kita ini. Sebagai seorang manusia yang menginginkan diri sebagai insan al-kamil atau manusia paripurna yang sempurna dhohir dan batin, yang sholeh luar dan dalam, yang telah “terkaparnya” nafsu syayiah dan merdeka nya nafsu mutmainah pada diri kita bukanklah sebatas pembahasan syariat semata. Ukuran-ukuran syariat mungkin kita bisa menghitung secara kuantitas dengan rajin sholat berjamaah, sholat tahajud, dan selalu menggunakan baju yang sering disimbolkan dengan kata-kata “syar’i” yang kemudian melahirkan presepsi atau dipresepsikan diri sebagai kelompok “Mutaqin” yang seolah-olah kehidupannya sudah tidak tersentuh oleh kebanyakan manusia. Benar-benar telah menjadi manusia paripurna, pinilih dan suci. Kita bisa membuat diri sedemikian rupa dengan ibadah dan asesoris baju dengan waktu yang singkat bisa disebut dengan “ahli ibadah”.
Apakah juga bagian dari ahli hakikat? Apakah juga sudah memahami ahli hakikatnya ibadah? Mengapa Tuhan mengancam orang-orang yang Sholat? Mengapa Tuhan juga dengan sangat “keras” menuduh orang-orang yang menyembah-Nya sebagai pendusta agama? Mengapa orang-orang yang secara syariat sudah memenuhi persyaratan disebut orang yang berpuasa tetapi dianggap oleh-Nya hanya mendapatkan lapar dan dahaga? Apakah mereka telah melanggar syariat?
Tentu saja tidak. Secara regulasi ibadah sudah perfect. Nilai 100, tapi subtansinya bisa jadi “zonk”. Sehingga kanjeng Nabi mengatakan bahwa pada saat seseorang tidak meluruskan hati hanya kepada-Nya, maka ibadah dan amalnya dianggap sebagai bagian dari hal-hal yang mubazir. Jangan-jangan kita masih pada level ini dan kalah oleh seorang perempuan Tunasusila yang setiap malam melayani tamu-tamu nya, dicatat ahli surga karena rintihan tangisanya dan amal sholeh sebatas memberi minum Anak Anjing yang terperosok di selokan sehingga anjing tersebut tidak mati kelaparan.
Kisah ini bukan sebagai pembenar atas perbuatan maksiatnya. Kisah ini menjadi cermin diri bahwa ada persoalan yang serius saat ini, bukan pada resesi yang melanda dunia, bukan karena persoalan tunjangan, gaji dan sejenisnya, bukan juga sebatas karena belum mendapatkan jodoh, tetapi pada kegesitan diri mampu melihat diri sendiri dalam segala kekurangan dan keterbatasan dhohir dan batin yang masih terperangkap oleh hijab-hijab maksiat ; sombong, takabur, dan merasa paling hebat. Jika ini masih ada, kita harus bersabar untuk mengikis “kerak-kerak” tersebut sedikit-demi sedikit, sehingga kita benar-benar bersih. Mungkin tidak sempurna, tapi bergerak terus-menerus untuk perbaikan merupakan jalan untuk bisa mengenal diri sendiri semakin baik.