Tugimin tertunduk lesu. Seharian dia hanya duduk menunggu penumpang. Namun Becak tua miliknya belum ada yang menyapanya. Padahal hari sudah siang. Matahari sudah di atas ubun-ubun, panasnya sangat menyengat. Untungnya, ada Surau di sampingnya. Dia pun duduk-duduk diteras sambil menunggu masuk sholat Dhuhur.
Sekitar 5 menit dia duduk, terdengar suara adzan bersahut-sahutan. Tugimin pun segera berwudhu. Setelah itu, dia duduk dan bersandar di Tiang Mushola yang terbuat dari Kayu tua, coklat dan berkilat. Dia tidak Sholat Sunnah, hanya melihat-lihat saja para jamaah yang sedang melaksanakanya. Sesekali dia pun melihat Kaos Oblong yang ada gambar calon Anggota Dewan, dan sudah mulai memudar warnanya. Celana kusamnya yang sudah mulai terurai benang di ujung celanya.
Setelah Sholat Dhuhur Tugimin masih tetap berada di dalam Mushola. Rasanya malas ingin keluar tempat tersebut. Mungkin dia merasa lebih nyaman berada di dalamnya, tidak panas dan bisa istirahat. Namun belum sempat istirahat, terdengar suara seorang ustadz muda memberi ceramah singkat. Entah kenapa tugimin hari itu sangat menikmat tausiah dari penceramah tadi. Beberapa kalimat yang diingat adalah cerita tentang Ali bin Abi Thalib.
“ Para Jamaah…ada kisah yang sangat indah. Saat Fatimah putri Rasulullah tercinta jatuh sakit, dia ingin sekali makan buah apel. Lalu dia memanggil Ali suaminya untuk mencarikan buah Apel ke Pasar.
Ali bin Abi Thalib segera ke Pasar. Dia memanggul seikat Kayu Bakar untuk dijual ke Pasar. Setelah terjual, dia pun membeli dua buah Apel. Saat dalam perjalanan, ali bertemu seorang Pengemis. Pada saat yang sama, sang pengemis pun menceritakan bahwa dirinya sudah berhari-hari tidak makan. Ali mendengarnya tidak kuat menahan air matanya. Lalu kedua Apel pun diberikan kepadanya.
Ali berjalan pulang. sampai di depan pintu, Fatimah bertanya kepadanya pesanan buah Apel. Ali menjelaskan bahwa Apel yang telah dibeli telah diberikan kepada pengemis tua yang ditemui di jalan. Fatimah tersenyum mendengar keagungan suaminya.”
Tugimin menunduk malu. Matanya tidak terasa meneteskan air mata. Dia berfikir, Putri Nabi yang mulia dan menantu sekaligus sahabat Nabi agung, tapi untuk mendapat sudah satu buah Apel sangat susah luarbiasa. Dia harus bersusah payah pergi ke Hutan dan mengumpulkan uang untuk membeli Apel. Namun setelah mendapatkan, dia masih juga memikirkan orang lain. Ya Allah betapa agungnya Putri rasulullah dan menantunya Ali bin Abi Thalib.
Tukang Becak yang rambutnya mulai memutih ini pun mulai menghitung-hitung kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah swt. Jika berkaitan dengan persoalan makan, sesulit apapun dia dan keluarganya masih bisa makan satu hari tiga kali. Jika hanya untuk membeli satu atau dua buah apel, rasanya tidaklah begitu sulit. Namun hari ini dia merasa berdosa karena telah menggugat tuhan hanya gara-gara hati itu belum mendapatkan penumpang. Padahal orang yang paling agung pun sering perutnya kosong gara-gara tidak mempunyai makanan untuk dimakan di hari itu.
Tugimin pun berdiri tegak dan melangkah menuju Becak tuanya. Dia mulai merasa bahagia dan bisa bersyukur mendapatkan ilmu arti sebuah kemuliaan. Bahwa kemuliaan seseorang bisa didapat darimanapun baik sebagai pejabat, penguasaha, pedagang dan buruh sekalipun. Namun hakikat kemuliaan dalam pandangan Allah sebagaimana yang diajarkan oleh Ali bin Abi Thalib yaitu senantiasa berorientasi pada karya kebaikan untuk orang lain dengan berbuat hanya mencari ridha Allah S.W.T.
Dia menyadari, betapa susahnya mendapatkan ilmu ikhlas yang demikian mendalam. Pertarungan antara “nafsu mutmainah” dan “nafsu syaiyah” begitu kuat terus terjadi, saat melihat “gebyar” dunia. Namun dia juga yakin bahwa berlatih secara terus menerus untuk mendapatkan status nafsu mutmainah bukan sesuatu yang mustahil bagi orang-orang yang semangat mengejarnya. Bukankah demikian janji Allah ?