Imam Ghozali, Dosen STAIN Bengkalis
Muhamadiyah (MU-pen) mengadakan Muktamar ke-48 di Solo. Rencananya di gelar mulai hari Jum’at (18/11/2022) hingga Minggu (20/11/2022). Salah satu agenda Muktamar ini adalah memilih anggota pimpinan pusat Muhamadiyah masa jabatan 2022-2027.
Saya kira Muktamar Muhamadiyah terlihat formal dan rapi. Ukurannya bisa dilihat dari cara berpakaian. Biasanya memakai Peci hitam, Baju batik, Celana dan Sepatu hitam. Ini mengingatkan saya pada permulaan berdiri Muhamadiyah sudah mengadopsi cara berpakaian dan dakwah dengan pendekatan model Bangsa Barat. Bisa jadi karena terbawa kebiasaan berpakaian formal setiap acara (termasuk Muktamar) berpengaruh pada kurangnya selera humor di kalangan Muhamadiyah.
Berbeda dengan Muktamar NU. Peserta nya menggunakan seragam Bineka Tunggal Ika. Pecinya beragam dari Sabang-sampai Merauke; ada Peci hitam beragam bentuk, Peci putih mulai dari model para Habaib, Tarekat sampai Peci yang bisa dimasukan dalam Saku Celana, ada juga Peci model Gus Dur yang terbuat dari Rotan atau Goni dan Blangkon. Baju nya bisa berupa Baju batik, Baju koko, Baju putih plus Jas, Jubah, dan bahkan ada yang memakai Kaos Oblong. Ada juga menggunakan Sarung dan/atau Celana. Akibatnya, orang yang diluar NU akan sangat kesulitan untuk mengenal mana sejatinya ulama atau simpatisan. Kadang dianggap simpatisan karena memakai Kaos Oblong dan Sandal Jepit, ternyata seorang Ulama khos yang mempunyai ribuan santri.
Keanekaragaman warga NU dengan segala tabiat nya merupakan wujud kemerdekaan yang lahir dari keberagaman model Pesantren di Nusantara. Tradisi sawir atau bahtsul masail merupakan tradisi kajian ilmiah berkaitan dengan persoalan ibadah dan muamalah kontemporer yang sering melahirkan ketegangan diantara para peserta. Namun selalu saja keadaan ini akan berakhir dengan happy end. Itu sebab nya dalam proses pemilihan Pengurus PBNU di Muktamar NU terkadang “gegeran” dan berakhir dengan “ger-geran” atau guyonan.
Sebenarnya baik tokoh Muhamadiyah dan NU mempunyai bakat bergurau. Tokoh-tokoh Muhamadiyah seperti Kahar Muzakir, Malik Fajar, Syafi’i Ma’arif, Abdul Munir Mulkan dan Abdul Mu’ti sangat suka bergurau atau bercanda-ria. Tokoh NU sudah tidak terhitung jumlahnya. Ini semua karena kedua ormas mempunyai sanad guru yang sama, baik Ahmad Dahlan maupun Hasyim Asy’ari sama-sama mempunyai darah keilmuan dari satu guru yaitu K.H. Hasan Besari. Meminjam istilah Abdul Mu’ti Muhamadiyah sebagai saudara tua, dan NU sebagai adik bongsor, sampai-sampai mahasiswa di Universitas Muhamadiyah pun isinya anak-anak NU.
Hanya saja penulis artikel ini melihat ada indikasi kader-kader baik Muhamadiyah dan NU sudah sedikit mulai bergeser tradisi berguraunya. Muhamadiyah yang memang sedikit bergurau semakin hari semakin kurang bergurau. NU yang biasa bergurau terkena penyakit baru yaitu semakin panjang selera marah nya, dan semakin kurang silaturahimnya. Padahal kunci keberkahan hidup pada silaturahim. Melalui tradisi ini mampu melahirkan tradisi gurauan berkualitas bisa terjaga dengan baik.
Sangat ideal sekali jika Muktamar Muhamadiyah bisa menemukan titik temu pada Muktamar NU yang telah dilakukan beberapa waktu lau, yaitu hidup kembali tradisi silaturahim dan kebiasaan bergurau di antara mereka. Sebab kualitas tertinggi bagi umat Islam bukan karena banyak nya Perguruan Tinggi dan “mblarah” nya orang-orang yang bergelar Professor atau Doktor, atau juga banyak Pesantren-pesantren tahfidz bermunculan bak tumbuhnya Jamur di musim Hujan. Kualitas umat Islam Indonesia terletak pada terbangunya silaturahim dan adanya kualitas kebahagian dan mampu mentertawakan diri sendiri. Ketika sama-sama mampu mentertawakan diri sendiri, maka sangat mudah pesan-pesan langit diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai jalan untuk mewujudkan keselamatan, kemakmuran, keadilan dan kebersamaan dalam keberagaman. Wallahu a’lam.