Imam Ghozali, Dosen STAIN Bengkalis
Piala Dunia 2022 telah membuat kejutan, paling tidak dua peristiwa dalam catatan saya; pertama, Qatar sebagai Tim Sepak Bola yang kalah di awal pertandingan ketika melawan Equador dengan skor 0-2. Ini merupakan catatan terburuk laga awal sepanjang sejarah Piala Dunia. Kedua, kemenangan Arab Saudi atas Argentina dengan skor 2-1. Ini diluar prediksi para pengamat dan penggemar Sepak Bola. Saking bahagia, Raja Salman mengumumkan Hari Libur Nasional untuk karyawan seluruh sektor publik maupun swasta, serta semua pelajar.
Kemenangan Arab Saudi selain fenomenal, juga menjadi lelucon terutama di Media Sosial. Di Twitter cukup ramai. Ada lelucon karena sebatas iseng, ada juga dikaitkan dengan persoalan politik Indonesia akibat dampak dari Pemilihan Presiden 2019 muncul istilah Kadrun dan Cebong. Contoh Twitter “Khasanah GNH” yang tidak lain adalah Gus Nadir yang punya nama lengkap H. Nadirsyah Hosen seorang professor muda dari Universitas Monash, sekaligus kader NU sebagai Syuriah di PCINU Australia. Ada beberapa komentar atas dukungan Gus Nadir kepada Tim Argentina.
Ahmad Sarifuddin bercanda model santri dikaitkan dengan Gus Nadir yang ahli dalam bidang hukum Islam, sehingg candaannya pun berkaitan dengannya, tapi lebih disesuaikan dengan istimbat hukum Islam model Wahabi yang gampang mengatakan bid’ah, kafir dan sejenisnya. Sedikit mendekati sama adalah komentar dari Paijo mawon dikaitkan dengan kebiasaan sholat berjamaah ketika imam nya menyuruh meluruskan dan merapatkan saff atau barisan. Ini kalimatnya:
Sarifoden@Ahmadsarifuddi8: “Tidak mendukung Negara kelahiran Kanjeng Nabi apakah termasuk kafir sirri yai?”
Paidjo Mawon@billamustain99 : “Argentina kalah sama Arab yang nerapin taktik lurusan shof dan rapatkan barisan, kikikik”
Ada juga komenter netizen yang belum move on dari persoalan kadrun dan cebong. Pertandingan Argentina dan Arab Saudi pun jadikan sebagai pertandingan antara non-muslim dan muslim dalam politik. Padahal kedua kesebelasan tersebut tidak berpikir sejauh itu. Namun karena istilah kadrun sudah merasuk alam bawah sadar baik yang benci ataupun yang dituduh, sehingga terkadang mereka bangga dengan ledekan tersebut saat Arab Saudi menang 2-1 atas Argentina. Namun ada juga sebagai bentuk sindiran kebencian yang mendalam terhadap Politik Identitas yang diidentikan dengan kadrun. Berikut ini kalimatnya:
Man in black@AriefMaarifll: “ The power of Kadruns Arg 1- Kadruns 2,kikikik”
Armen M N @armenaslim: “ Gara-gara panitianya bersyariah jadi Argentina keok, wk….wk…”
Agi Subagio@subagio: “Kalah nih ye sama kadrun,kkkk”
Namun ada juga yang memberi komentar secara wajar dan netral dari urusan politik. Para komentator di bagian ini lebih berbicara tentang realita seseorang yang berbahagia ketika mendapatkan kemenangan tim yang didukung, dan sedih ketika kalah. Berikut ini kalimatnya:
Punto bagus@mas_poentatwit: “Hapus twit ga? Sedih pakai sambel dobel”
SantriNjoso@bungdedy: “La Tahzan Gus”
Wajah Baru Arab Saudi
Belakangan ini Arab Saudi memang sedang berusaha menampilkan diri sebagai sebuah Negara yang egaliter dan tidak eklusif. Arab Saudi yang lahir dari kontrak Politik Raja Suud dan Muhammad Abdul Wahab yang kemudian melahirkan paham wahabi sebagai paham resmi Negara tersebut, ternyata dalam perkembanganya selalu mengalami pertentangan antara Raja dan para ulama. Beberapa catatan sejarah ketika pertama ditemukan minyak tanah, Syeikh Bin Baz dengan tegas berfatwa bahwa haram menggunakan produk-produk Barat seperti Mobil, Lemari Es, Radio dan sejenisnya. Juga haram bekerjasama dengan bangsa Barat. Akibatnya Bin Baz dilarang untuk menyampaikan fatwa-fatwa yang aneh-aneh tersebut oleh Raja Abdul Aziz.
Kini pemerintah Arab Saudi pun sedang bersih-bersih paham radikalisme di internal Negara tersebut. Para Imam dan Penceramah yang memprofokasi masyarakat untuk membenci pemerintah ditangkap dihukum. Mentri Luar Negeri Arab Saudi Adel Al-Jubeir mengatakan pemerintah telah memecat ribuan Imam berpaham radikal dari kegiatan Masjid karena menyebarkan ekstremisme. Sikap ini merupakan bukti konkrit bahwa pemerintah Arab Saudi tidak mau lagi dicap sebagai Negara puritan dan sumber produk kelompok radikalisme. Negara ini ingin menunjukan kepada dunia luar bahwa Arab Saudi sama sebagaimana Negara-negara lain ingin hidup damai berdampingan antara sesama manusia yang beragam suku, etnis, budaya, agama dan keyakinan.
Dampak dari kebijakan ini, Arab Saudi terus berbenar diri dan melakukan berbagai terobosan untuk menyamakan kedudukan Negara nya sebagai Negara modern yang tidak kalah dengan Negara-Negara di Barat. Salah satu yang bisa dilihat saat ini yaitu melakukan modernisasi terhadap olah raga seperti Sepak Bola yang dulunya dianggap sebagaii olah raga tidak sesuai dengan syariah Islam dan tidak sesuai sunnah sebagaimana berkuda dan memanah. Kini pemikiran-pemikiran wahabisme yang puritan ini semakin tenggelam di Negara tersebut.
Jika Arab Saudi begitu kuat sekali membangun modernisasi dalam segala sektor kehidupan dan ingin melepaskan diri dari pandangan wahabisme, apakah bangsa Indonesia sedang menuju sebaliknya, yaitu dari modernisasi menuju puritisasi? Tidak hilang nya ucapan “kadrun” dan “cebong” jangan-jangan memang realita masyarakat Indonesia sudah meletakan status kedua belah pihak yang masing-masing sedang mempertahankan untuk bisa eksis. Salah satu kegiatan untuk bisa mempertahankan diri tentu saja melalui kegiatan politik. Mereka akan berlindung dari berbagai kepentingan-kepentingan politik, dan dari situ mereka bisa eksis untuk mendedikasikan diri sebagai kelompok puritan dengan ide-ide eklusif seperti pemberlakuan syariah Islam termasuk pendirian khilafah islamiyah, atau kelompok nasionalis yang ingin tetap mempertahankan eksistensi Negara Kesatuan Repubik Indonesia.
Terlepas dari semua di atas, perjalanan masih panjang bagi Tim Arab Saudi untuk memenangkan Piala Dunia. Mungkin mereka sudah lega dalam artian bahwa seandainya menang itu yang diharapkan, seandainya pun kalah mereka telah mencatat bahwa Tim Arab Saudi yang tadinya dipandang sebelah mata telah berhasil menaklukan tim raksasa. Lagi-lagi yang menjadi persoalan justru para Netizen Twitter Indonesia yang masih belum naik derajatnya. Mereka masih hidup dalam alam kadrun dan cebong sebuah istilah dari jenis hewan yang memiliki kasta rendah. Semoga saja, mereka semua sadar bahwa mereka, kita dan kami sebenarnya bukan kadrun dan cebong, tapi manusia yang sedang membangun peradaban yang agung.