Imam Ghozali, Dosen STAIN Bengkalis
Peredaran waktu terasa begitu cepat. Tanpa disadari sudah akan berganti tahun. Kenangan akhir tahun 2021 dan awal tahun 2022 masih teringat dengan baik. Ada teman saya, Komandan Darmono yang lagi panen jagung menawarkan hasil panenanya melalui WA dan FB. Saya pesan cukup banyak. Kawan-kawan waktu itu banyak pesan. Saya senang ada teman rajin bertani. Saya minta agar Jagung diantar, dan dibakar di rumah nya Kyai Rozali. Malam itu sangat banyak bakar jagungnya. Kyai Rozali juga menyiapkan masakan Ayam Bakar, dan beraneka ragam sayur persis ada acara kenduri. Tidak ada niatan apa-apa. Tidak juga untuk memulyakan tahun baru. Biasa saja. Sama seperti hari libur lainya. Tapi malam itu jadi terlihat istimewa, karena kawan-kawan banyak yang libur, sekalian kumpul-kumpul. Setelah sholat Isa berjamaah, istighosah lalu kumpul-kumpul sekitar jam 21.00-an makan-makan sambil menikmati suara Honda di pinggir jalan raya yang memang cukup padat menjelang pergantian tahun baru 2022 lalu.
Kelihatanya tahun baru ini agak sepi. Paling tidak untuk saya pribadi. Teman-teman yang biasa kumpul-kumpul sambil menikmati jagung dan rokok kretek gudang garam merah sedang melaksanakan ziarah wali sanga. Saya tidak tahu, mereka mungkin menemukan tahun baru di tengah jalan saat melakukan perjalanan antar Makam Wali satu ke Makam Wali yang lain. atau bisa jadi menikmati malam pergantian tahun baru di jalan tol yang sedang macet. Entah apapun, senantiasa pergantian selalu saja ada cerita yang selalu mengingatkan diri baik dalam situasi yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Itu sebabnya, ia menjadi sebuah kenangan bagi kita bahwa selama satu tahun sudah banyak sekali kejadian yang mewarnai kehidupan kita dengan wujud yang beragam.
Saya tidak mau berdebat pada persoalan hukum mengucapkan selamat tahun baru. Wilayah ini adalah wilayah furu’. Silahkan mana yang kita piliah dan mari belajar menghargai dalil furu’ yang memang terbuka untuk saling menghargai, bukan saling melukai. Bagi yang punya pandangan “murtad” mengucapkan Tahun Baru dan Natal karena tasyabuh dengan budaya kafir, mengakui Yesus anak Tuhan dan seambreg alasan dan dalil diajukan monggo. Tapi yang jelas, ktp dan ijazah kita yang tertulis januari, agustus dan sebagainya adalah nama-nama bukanlah nama seorang muslim. dan pada posisi ini, semua seolah-olah kehabisan dalil. Paling banter agar tidak terjerumus tuduhan “haram”, lahirlah kata “darurat”. Jika ini jadi landasan dalil, semua sudah selesai bukan?
Ada yang bilang tidak apa-apa, silahkan. Alasan logis ketika mengucapkan Selamat Tahun Baru atau Selamat Natal bukan berarti langsung protol imanya. Karena sebuah pengakuan tidak selalu bagian dari keimanan, tapi bagian dari kenyataan yang ada. Sebagaimana Tuhan telah mengajarkan dalam firman-Nya “lakum dinukum waliyadien” adalah pembelajaran bahwa pengakuan dengan adanya agama lain, dan kita tetap menyakini agama yang dianut oleh diri kita. Itu sebabnya ketika kita mengucapakn “Selamat Atas Wisuda S1 Kedokteran” kepada teman kita, bukan berarti kita pun tiba-tiba menjadi dokter, dan kemana-mana membawa alat suntik.
Kembali lagi ke persoalan pergantian tahun, bahwa banyak kenangan yang indah dan menyakitkan. Dua jenis kenangan secara garis besarnya adalah suatu kenyataan masa yang akan datang kehidupan kita hanya ada dua jenis; bahagia dan susah atau susah dan bahagia. Kita telah terlalu banyak kenangan yang bisa menjadi pembelajaran agar bisa dewasa bukan sebatas fisik tapi juga psikis, bukan sebatas dhohir, tapi juga batin, bukan sebatas jiwa, tapi juga raga. Namun lagi-lagi ini yang sering tidak disadari. Pengalaman kepahitan hidup sering sebatas ratapan harian, mingguan, bulanan bahkan tahunan. Kita tahu bahwa sesuatu yang menyedihkan tidak menyenangkan, dan ingin itu hilang dan berganti dengan kebahagiaan. Namun lagi-lagi, kita seolah-olah tidak bisa berbuat apa-apa, seperti terbelenggu seluruh badan, sedang pikiran dan suasana batin terasa gelap, tumpul dan selalu “nggersula”.
Kenapa demikian? Kenapa kita hanya selalu berkutat pada persoalan yang sama dan selalu muter-muter di daerah itu juga. Apakah kita tidak mempunyai strategi untuk melakukan suatu perubahan. Apakah juga kita ingin melakukan kebiasaan ini pada tahun 2023. Bukan kita ingin adanya perubahan yang lebih baik?
Memang persoalan kehidupan manusia sangat komplek, sama kompleknya wajah manusia. Bayangkan saja, satu bapak-ibu tidak ada yang sama dari sepuluh anaknya. Ada latarbelakang mereka yang terkadang membuat berbagai persoalan tidak sama dalam teori penyelesaianya. Buku-buku motivasi tidak serta bisa merubah mimpi-mimpi manusia dalam jagat raya yang maha luas. Mereka akan tercipta komunitas masyarakat, bangsa yang tidak bisa dihindari dalam sebutan; pejabat, dan bukan pejabat, kaya dan miskin, ganteng, cantik dan kurang genteng dan kurang cantik. Semua ini tersusun sebagai bentuk kesempurnaan tuhan yang tidak ada yang menandinginya dan tidak ada yang mampu men-syerikat kepada-Nya.
Namun Tuhan tidak begitu menggubris wujud atau status tersebut di atas pada diri manusia. Tuhan menginginkan manusia mampu bergerak dinamis dalam rangka memperbaiki kualitas hidup. Seandainya gagal dalam sebuah pergulatan kehidupan yang dicita-citakan, Tuhan tetap mencatat bahwa kita telah mempraktekan perintah-Nya bahwa Dia tidak merubah kita kecuali diri kita yang melakukan perubahan tersebut. Karena itu, konsistensi dalam melakukan perubahan secara terus-menerus ke tingkat yang lebih baik, berarti kita telah naik kelas dan patut bersyukur atas bertambahnya umur ( yang sebenarnya berkurang ). Sebab perilaku ini sudah membuktikan bahwa kita telah menghidupkan kembali tradisi peradaban manusia yang dalam bahasa Al-Qur’an nya “amalun sholihun”.